curhatibu.com

cukuplah penghargaan dari Allah untuk kita


Aku iri kala melihat teman-temanku yang sudah melanglang buana di dunia perkuliahannya dulu. Ada yang sudah keliling Indonesia mengikuti lomba ini itu. Begitu pula orang-orang yang mempunyai banyak name tag bertuliskan, "KETUA PANITIA", dan sebagainya, banyak sekali foto-foto mereka bersama orang-orang keren, yang memberikan mereka piala lah, piagam lah. Ya, mereka orang-orang berprestasi yang luar biasa, menurut saya. 

Namun, entah mengapa rasa-rasanya koq aku lebih iri kepada teman-teman yang lain, yang sangat bertolak belakang dengan mereka. 


Pernah suatu sore, aku melihatnya berjalan seorang diri. Terlihat peluh di dahinya, belum lagi, nampaknya terik matahari membakar kulitnya. Sesekali, angin panas siang itu menggoyangkan ujung jilbab panjangnya, meniupkan debu jalanan yang mengotori bagian bawah gamisnya. Dalam hati ku bertanya, "Hendak ke mana dirimu, ukhti?"

Iseng berawal dari keingintahuan, aku membuntuti saja di belakangnya. Agak sulit sih, karena dengan begitu, aku harus bersepeda lambat. 

Oke, satu meter dua meter, seratus, dua ratus, satu kilo, dua kilo..he? Koq jauh sekali? Mau ke mana ini? Aku semakin bertanya-tanya, dan panasnya matahari tak juga mau bersahabat denganku meski sebentar saja!

Akhirnya, sampailah ia di sebuah tempat. Ku pikir, tempat ini agak kumuh, banyak sampah dan gerobaknya berserakan. Ya, dia masuk melalui gerbang yang tak layak disebut gerbang sebenarnya. Ia hanya lubang besar pada tembok sehingga bisa dilalui menuju dunia di baliknya. 

Rasanya, tak bisa lagi aku ikut masuk ke sana. Sepedaku tak cukup. Oke, ku intip saja ia. 

"Kakaaakkk!!!", aku mendengar riuhnya suara anak-anak memanggil 'kakak', dan pada akhirnya aku tahu bahwa ia datang ke sana untuk “menemani anak-anak gelandangan belajar ngaji dan baca tulis”, begitu ia bilang. 

Setelah kupaksa lagi, akhirnya, aku mendapat jawaban darinya bahwa ia mengajar di sana setiap hari, usai kuliah. Di panas yang luar biasa terik. Tak jarang dia harus pulang maghrib karena adik-adiknya tak mau ditinggal, masih ingin belajar.

Pantas saja, aku jarang melihat dia di kampus. Ku bilang, dia jarang sekali ikut kegiatan di kampus. Padahal, kampus ini banyak sekali kegiatan yang bisa diikuti. Dia bukan petinggi organisasi. Sepertinya hanya satu yang diikutinya, itupun sebagai staf. Bukan organisasi yang beken juga. Masalah prestasi, ia bukan seperti mahasiswa lain yang rajin ikut lomba pembuatan karya ilmiah dan penelitian-penelitian, mengejar prestasi di bidangnya. Ia, bukan juga orang yang pernah mendapat penghargaan dari kampus atau dari manapun.

Dia orang yang sangat sederhana. cita-citanya sederhana, ingin mengajari anak-anak membaca Al Qur’an dan baca tulis. Sederhana sekali. Tidak muluk-muluk.

"Aku senang setiap kali melihat anak-anak itu. Mereka memiliki semangat belajar tinggi. Dan yang pasti, aku selalu belajar ketulusan dan keikhlasan tatkala berhadapan dengan mereka. Sesungguhnya, bukan aku yang mengajar mereka, tetapi mereka lah yang justru mengajarkanku banyak hal", begitu yang dia katakan.

Pernah suatu saat aku menginap di tempatnya. Kamarnya rapi. Banyak buku di dalamnya. Banyak kitab juga di sana. Rasa-rasanya, dia memang orang yang taat menjalankan agamanya. 

Benarlah, malam harinya, sepertiga malam terakhir dia bangun. Dia ambil air wudhu, dan dia shalat tahajud. Kupikir, cukup lah tiga atau lima rakaat. Ternyata tidak, 11 rakaat kalau tidak salah. Dan setiap rakaatnya, dia berdiri sangat lama. Surat apa saja yang dibaca, tanyaku dalam hati.

Tidak itu saja, usai shalat, kulihat ia meneteskan air matanya. Ah, aku iri melihatnya saat itu. Dia seperti sedang bercerita pada Tuhannya, berduaan saja. Sesekali bahunya bergoncang menahan tangis. Aku tak tahu apa yang dia kisahkan pada Tuhannya. Apakah dia punya masalah? Sungguh, selama aku bertemu dan bergaul dengannya, aku tak pernah sedikitpun melihatnya murung atau nampak ada masalah. 

"Apa kau sedang ada masalah?", tanyaku padanya usai shalat subuh. 
"Masalah?", wajahnya masih terlihat sembab, tapi ia tetap memperlihatkan senyumnya yang begitu tulus

"Aku melihatmu menangis semalam, ku pikir, kamu sedang punya masalah. Kalau tidak keberatan, kamu bisa membaginya denganku...", kataku

Dia lalu menepuk pundakku beberapa kali, jadi berasa aku yang lagi punya masalah. 
"Sahabatku, Allah begitu menyayangiku, sehingga Dia mengujiku. Ujian demi ujian datang bergantian. Bukan untuk melemahkanku, tapi justru untuk menguatkanku. Bukan untuk menyusahkanku, tapi untuk menyenangkanku karena balasan cintaNya atas sebuah kesabaran. Bukan untuk membuatku menderita, melainkan untuk menjagaku dari derita api neraka yang bisa saja melumatku jika tak ada pengingat ujian. Bukan untuk membuatku lari menghindar dengan ketakutan dan ketidaktenangan, melainkan untukku semakin lari dalam ketenangan dengan lebih dekat padaNya. Aku merasakan cinta luar biasa atas setiap ujian yang diberikanNya padaku. Apakah aku pantas mengeluh untuk hal ini?", jelasnya.

Aku terdiam, tak bisa berkata lagi. 

Sahabatku itu kemudian melanjutkan, 
"Apakah ada hal yang lebih indah dari pertemuan dengan Allah, Rabb kita..?", aku menggeleng spontan, "Apakah ada hal yang lebih membahagiakan selain melihat yang kita cintai bahagia kala berjumpa dengan kita? Apakah ada yang lebih melegakan selain memberikan hadiah cantik pada mereka, orang yang kita cintai, hingga mereka tersenyum senang dan kemudian memeluk kita karena bangga?”

"Tidak ada, bukan? Dan aku merindukan orang-orang yang kucintai."
"Siapa maksudmu?", tanyaku, "Allah, rasulNya, para nabi dan syuhada?"

"Ya... Aku merindukan pertemuan itu, apalagi sekapling, dan di surga lagi...!", jelasnya, "dan aku merindukan mereka juga...."

"Juga?"
"Ya, aku merindukan mereka, aku rindu. Aku berharap, akan berkumpul bersama mereka nanti di sana. Sudah lama kita tak bersua. Aku ingin memberikan hadiah itu...."

"Siapa?", tanyaku lagi.
"Ayah dan ibuku... Mereka berdua meninggal dalam kecelakaan sore itu. Sungguh mengejutkanku. Padahal, baru saja kami merayakan hari raya bersama. Tapi...", terhenti sejenak, kulihat sudut matanya membasah, "Allah lebih mencintai mereka daripada cintaku pada mereka. Dan Allah juga sangat mencintaiku, lebih dan lebih daripada cintaku padaNya. Maka aku ingin bertemu dengan mereka, memberikan mahkota cahaya itu.. jubah cahaya itu.. Dan ku ingin kita tinggal bersama di surgaNya..."

Dan kali ini, aku baru tahu kondisinya. Ia berjuang seorang diri sekarang, menghidupi dirinya, dan bertahan untuk menyelesaikan kuliahnya. Namun, sesungguhnya, ia tidak sendiri. Ia punya Allah. Itu yang selalu dibilang padaku. Ia punya adik-adik di balik gerbang tembok yang selalu mampu membuatnya tersenyum. Ia punya mereka untuk asset jariyah yang akan membantu bertemu RabbNya. Dan satu lagi hal yang luar biasa darinya, ia ‘punya’ Al Qur'an. Belakangan, aku baru tahu bahwa hafalan 30 juz nya hampir diselesaikan, dan sepertinya Allah telah menyiapkan penghargaan yang lebih dan lebih besar dari dunia seisinya. Ya, Allah telah bersiap dengan piala tercantik yang pernah ada, berupa mahkota dan jubah cahaya. Dan Allah pun sepertinya telah menyiapkan tempat terindah untuknya, dan orang tuanya, di surga tertinggiNya, ya atas prestasinya yang luar biasa selama hidup di dunia, dia lulus dengan tulus, atas setiap ujian kehidupan fana, hingga akhirnya dia bersiap wisuda dengan IPK 4,00. Sempurna untuk pencapaian prestasi.

Itulah kisahnya. Prestasi tak selamanya identik dengan simbol penghargaan dan piala dari manusia, atau keberhasilan kita melanglangbuana ke seluruh negeri. Jadikanlah setiap apa yang kita lakukan, entah hal yang kecil atau besar, menjadi satu dua tiga prestasi kita di hadapan Allah. Prestasi keikhlasan, ketulusan, kemandirian, kesabaran, tekad, dan prestasi keimanan kita pada Allah yang akan menyelamatkan. 

Maka, cukuplah Allah yang akan membalas setiap amal kita, dengan penghargaan dan piala yang lebih indah daripada dunia seisinya. 

Kalau boleh, aku ingin mengutip tulisan Aisyah Nurul Fithri, mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, 

"Ketika engkau seorang diri yang berdiam dalam hiruk pikuk aktivitas, Allah tahu hatimu sibuk menyebutNya untuk mengusir kesepian. Ketika engkau merasai dirimu tak memberi arti kehidupan, Allah tahu tangis dalam do'amu ketika banyak dari mereka terlelap. Ketika engkau berpikir hanya engkaulah seorang yang tak mampu memberi manfaat, Allah tahu amal-amal rahasiamu yang tersimpan begitu rapi, sedang tak seorangpun mengetahui. Ketika kau menangis dalam tatih langkahmu, Allah tahu, lisanmu senantiasa bersabar menahan keluh. Allah tahu segalanya, bahkan amal shalih yang tak kau sadari, yang menjadi rahasia dari dirimu sendiri, sebagai buah keikhlasan dari hati yang selamat"

-cukuplah, penghargaan dari Allah untuk kita.... 

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)