curhatibu.com

Kajian Kewajiban Pelayanan Publik (PSO) Perkeretaapian

                Kebijakan Kewajiban Pelayanan Publik (PSO) bidang perkeretaapian berperan sebagai pelaksana fungsi pemerintah yaitu kemanfaatan umum. PSO merupakan kompensasi biaya yang dikeluarkan oleh BUMN sehingga pelayanan dapat terlaksana dengan harga yang wajar (mampu dijangkau masyarakat). Besarnya subsidi yang diberikan dihitung dari selisih antara pendapatan dan biaya operasi, yang meliputi biaya operasi langsung, tidak langsung, dan biaya kantor pusat. 
                Namun, dalam pelaksanaannya, terdapat permasalahan yang harus dihadapi BUMN, terkait penugasan PSO. Permasalahan tersebut adalah tidak cukupnya subsidi PSO untuk menutup kerugian dalam pelaksanaan tugas PSO. Selain itu, pencairan subsidi PSO nyatanya selalu terlambat. Hal ini terjadi karena pihak pemerintah (kementerian Keuangan) harus melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum dilakukan pembayaran. Permasalahan lain adalah pemanfaatan PSO yang sering salah sasaran.

                Besar PSO yang tidak memadai, lebih karena disebabkan bahwa untuk menunjang ketepatan perjalanan KRL, dibutuhkan biaya pemeliharaan yang tidak sedikit. PSO sangat dibutuhkan oleh PT KAI karena harga tiket kelas ekonomi di bawah biaya operasional. PSO yang diterima PT KAI jauh di bawah kebutuhan. Misalnya tahun 2010, PSO yang diterima 535 M, padahal realisasi biaya operasional kereta ekonomi di seluruh Indonesia mencapai 635 M.
                Kekurangan tersebut membuat tertundanya penggantian dan perawatan prasarana dan sarana perkeretaapian. Ada pengurangan stamformasi (panjang rangkaian minimal kereta) karena banyak kereta yang tidak andal. Dampaknya, penurunan penumpang KRL merosot jauh, dan tetap tidak mengurangi penumpang yang naik di atas kereta karena banyak kereta yang tidak andal juga.      Maka, PSO saat ini hanya diperuntukkan untuk peningkatan kebersihan, keamanan, dan kenyamanan. Bukan terkait peningkatan kapasitas.
                Persoalan lain adalah bahwa penetapan besaran PSO disesuaikan anggaran yang dimiliki pemerintah. Negara tidak dapat dibebaskan dari tanggung jawab hanya dengan dalih keterbatasan anggaran, lalu melemparkan tanggung jawab pemenuhan hak rakyat kepada PT KAI. Kekurangan pembayaran PSO menyebabkan kanibalisasi pemeliharaan KA dan penurunan spesifikasi. Bahkan pos pemeliharaan lintasan KA juga ikut terkorbankan. Kekurangan PSO berakibat pada mutu pemeliharaan dan prasarana KA yang menurun.
Maka, sudah semestinya, sebagaimana terjadi di Negara lain, pembangunan perkeretaapian tidak sekedar alokasi Anggaran Negara, akan tetapi dimulai dengan suatu Kebijakan Publik yang prioritas. Sehingga prioritas pula pendanaannya. Dengan begitu, KA tidak lagi menjadi anak tiri, karena sesungguhnya, KA adalah transportasi massal yang aman dan cepat. Bukan menjadi alat pembunuh masal akibat kondisi yang tidak bagus.
Namun, jika ternyata, kinerja dari PT KAI yang mendapat penugasan PSO ini tidak berjalan bagus, dalam arti subsidi PSO tidak diikuti dengan peningkatan pelayanan bagi para penumpang, atau bahkan cenderung merosot, sebaiknya dihapus saja kebijakan PSO ini. Penghapusan justru akan meningkatkan kinerja pelayanan. Pemerintah hanya perlu melakukan pengawasan dengan menetapkan tariff batas atas seperti transportasi angkutan jalan raya.
Dengan penghapusan PSO tersebut, nantinya tidak perlu lagi ada perbedaan kelas penumpang. Karena sesungguhnya, PSO memang tidak diperlukan PT KAI, tetapi subsidi itu adalah kewajiban pemerintah untuk kelompok masyarakat tak mampu, sehingga bisa menggunakan kereta api. Artinya, PSO itu untuk rakyat, bukan untuk PT KAI.
Penghapusan subsidi ini sejatinya muncul karena kinerja pelayanan penumpang kelas ekonomi yang tidak menjadi lebih baik. Sehingga, dengan penghapusan subsidi ini, akan mendorong manajemen leluasa menentukan tariff kereta api tanpa harus membedakan kelas.
Terkait konsep PSO yang ideal, maka sebaiknya PSO perlu dikorelasikan dengan program penyesuaian tariff untuk memenuhi cost recovery dengan disediakan subsidi spesifik yang diperlukan untuk keperluan pengembangan atau kegiatan yang menguntungkan.
BUMN harus melakukan restrukturisasi ulang untuk memisahkan peranan komersial dan nonkomersial mereka, di mana hal tersebut dapat memberikan fokus yang lebih jelas kepada manajemen, dan mengurangi ketidakjelasan peranan dan tujuan, dan memberikan struktur keuangan yang transparan, dengan identifikasi yang jelas terhadap pendapatan, biaya dan aset yang terkait dengan perbedaan peranan. Pemisahan tersebut juga dapat memungkinkan penggunaan struktur tariff dan metode pendanaan permodalan yang digunakan untuk segmen bisnis komersial dan non-komersial yang berbeda.
Berdasarkan gambaran di atas, maka pola subsidi melalui PSO tetap harus memenuhi beberapa azas sebagai berikut: Komersialisasi PSO memerlukan peran Pemerintah untuk “membeli” kewajiban Penyediaan  PSO dari BUMN, transaksi harus sejauh mungkin mencerminkan transaksi komersial yang normal, seluruh kegiatan BUMN harus diletakkan pada dasar komersial, agar PSO dapat berjalan secara efektif, kompensasi untuk PSO harus mencukupi untuk menutup biaya pengadaan jasa secara efisien, dan secara konseptual, berapapun jumlah yang dibayarkan kepada BUMN sebagai kompensasi atas PSO harus dikembalikan kepada Pemerintah melalui jalur penerimaan deviden.

SARAN
1.       Untuk mengantisipasi keterlambatan pembayaran, maka pemerintah sebaiknya melakukan pembayaran PSO di muka secara bertahap dan memperhitungkan kemudian. Maka jika berdasarkan verifikasi terjadi kelebihan, maka BUMN yang bersangkutan harus mengembalikannya.
2.       Menciptakan mekanisme yang baik terhadap pelaksanaan penggunaan dana PSO, sehingga tidak lagi ditemukan salah sasaran penggunaan PSO
3.       Pengalihan total dana subsidi untuk memperbaiki sektor kereta api, misalnya perbaikan rel, gerbong, dan sebagainya. Hal ini selain akan membuat perjalanan kereta api semakin lancar dan aman, akan membuka peluang berkurangnya angka kemacetan arus darat, serta membengkaknya subsidi untuk BBM
4.       Memastikan pengenaan nilai PSO sesuai dengan azaz di atas, sehingga kebutuhan tercukupi, dan terjamin transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan PSO ini dalam penciptaan kemanfaatan umum



ANALISIS KEBIJAKAN PSO PERKERETAAPIAN INDONESIA
1.       Bagaimana perhitungan besar PSO Perkeretaapian Indonesia?
2.       Apakah nilai PSO perkeretaapian tidak sesuai dengan kebutuhan PT KAI dalam menyediakan layanan transportasinya?
3.       Sudahkah pengelolaan PSO oleh PT KAI telah dilaksanakan dengan 3E (ekonomi, efisien, efektif)?
4.       Adakah indikasi kecurangan dalam pelaksanaan kebijakan PSO Perkeretaapian oleh PT KAI?
5.       Apakah PSO Perkeretaapian harus dihapuskan, atau dipertahankan?
6.       Jika PSO perkeretaapian dipertahankan, apa alasannya? Dan evaluasi apa yang harus dilakukan sehingga mampu mencukupi kebutuhan pelayanan minimumnya?
7.       Jika PSO perkeretaapian dihapuskan, apa alasannya? Dan alternatif yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk tetap mempertahankan daya beli masyarakat terhadap KA Ekonomi?
8.       Apakah masyarakat memiliki daya beli yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya akan transportasi KA?

Pola PSO Perkereta-apian yang diberlakukan saat ini lebih menekankan pada pelayanan umum dalam menyediakan jasa angkutan massal. Tentu untuk menunjang tercapainya kinerja PSO, sebaiknya pemerintah menyediakan dana di awal tahun sebagai modal awal untuk biaya operasional PSO. Besaran anggaran dana untuk modal awal ini ditetapkan maksimal sebesar alokasi yang telah diberikan tahun sebelumnya atau menurut kebutuhan PSO tersebut. Selama tahun berjalan, pemerintah mengawasi penggunaan dana tersebut, apakah sudah tepat sasaran menurut indikator kinerja atau belum. Apabila terjadi kekurangan dana selama tahun berjalan, pemerintah dapat menambahkan dana untuk PSO menurut kemampuan ekonomi pemerintah. Jika terjadi sebaliknya, PSO harus mengembalikan kelebihannya kepada pemerintah. Ini lebih baik daripada kebijakan yang berlaku saat ini yang mengharuskan rekonsiliasi terlebih dahulu antara pemerintah dan PSO, setelah ada kesepakatan besaran nilai PSO, barulah PSO dibayarkan. Ini sangat merugikan bagi lembaga yang menjalankan PSO, karena tentunya ada pos-pos yang harus dihilangkan agar PSO tetap berjalan.
Dalam PSO ada baiknya diberlakukan pola Reward and Punishment. Jika indikator kinerja tercapai, PSO diberikan suatu insentif tertentu, sedangkan jika tidak tercapai diberikan suatu hukuman tertentu. Selain itu, budaya kerja di PSO juga harus terus dibina agar penyimpangan-penyimpangan dana yang diberikan pemerintah dapat diminimalisasi.

PENGHITUNGAN SUBSIDI PSO
                Subsidi PSO PT KAI saat ini dihitung sebesar selisih antara pendapatan dan biaya operasi. Artinya subsidi yang diberikan pemerintah termasuk komponen laba di dalamnya. Jika ditilik dari sudut pandang tujuan PSO, terjadi keanehan terhadap besaran subsidi ini. Adanya PSO untuk memberikan pelayanan umum kepada masyarakat yang sifatnya nirlaba. Seharusnya tidak ada substansi komersial dalam penyediaan layanan umum untuk masyarakat. Idealnya subsidi PSO hanya sebesar biaya operasi, karena yang dijalankan adalah untuk tujuan pelayanan umum, bukan mencari laba.
                Ada beberapa alternatif untuk menyiasati kebijakan ini. Pertama, besaran subsidi PSO tetap dengan formula selisih pendapatan dengan biaya operasi, tetapi margin laba yang ditetapkan sebesar 0% sehingga pendapatan akan sama dengan biaya operasi. Kedua, margin laba yang ditetapkan sesuai dengan margin laba wajar, tetapi pemerintah menerapkan sistem reward and punishment.  Artinya dengan kondisi saat ini, pemerintah dapat memberikan punishment berupa pemotongan besaran PSO sebesar margin laba karena kinerja PT KAI buruk. Ketiga, pemerintah membatasi PSO hanya untuk kereta kelas Ekonomi saja. Hal ini dimaksudkan agar pelayanan untuk kelas ekonomi diperbaiki.
                Ketiga alternatif tersebut merupakan suatu usulan untuk perbaikan mekanisme pemberian subsidi. Karena sesungguhnya subsidi diberikan pada lembaga yang melayani kepentingan hajat hidup orang banyak, tetapi masyarakat tidak mampu menjangkau harga untuk kebutuhan tersebut.

BESARAN SUBSIDI PSO
                Berdasarkan data yang kami peroleh, besaran PSO yang diberikan pemerintah dengan biaya yang dikeluarkan PT KAI selalu kurang. Pemerintah selalu membayar besaran PSO jauh dibawah biaya yang dikeluarkan. Timbul suatu pertanyaan mengapa pemerintah tidak membayar seluruh biaya yang dikeluarkan PT KAI. Ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, pemerintah memang terbatas dalam hal ketersediaan anggaran untuk PSO. Anggaran subsidi yang ada dalam APBN memang sebagian besar dipergunakan untuk subsidi BBM sehingga subsidi non energi mendapat porsi yang lebih sedikit. Kereta juga masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah, efeknya subsidi yang diberikan pun semakin sedikit. Kedua, ada indikasi biaya-biaya yang diajukan tidak valid dan ada unsur fraud didalamnya sehingga pemerintah hanya membayar biaya-biaya yang didukung oleh bukti-bukti yang andal. Untuk membuktikan kemungkinan kedua, pemerintah dapat menugaskan BPKP guna menyelidiki dan melaporkan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di PT KAI.
                Kondisi pelayanan kereta kelas ekonomi sangat memprihatinkan, penumpang yang naik di atas gerbong kereta menjadi pemandangan tiap hari. Ditambah lagi kondisi gerbong-gerbong kelas ekonomi yang masih jauh dari nyaman. Jika PT KAI berdalih dana subsidi PSO yang diberikan tidak cukup untuk membayar biaya operasi kereta ekonomi. Mari kita simulasikan hal ini dengan data penumpang kereta kelas ekonomi pada tahun 2010. Penumpang kelas ekonomi sebanyak 69 juta orang, dengan tarif Rp 2.000 per orang, artinya PT KAI memperoleh Rp 138 miliar dari penumpang kelas ekonomi. PT KAI menyebutkan biaya operasi kelas ekonomi sebesar Rp 635 miliar. Jika dihitung, selisih biaya yang terjadi dengan pendapatan yang dihasilkan sebesar Rp 497 miliar. Bandingkan dengan PSO yang diterima PT KAI sebesar Rp 535 miliar. Berdasarkan hitungan sederhana ini seharusnya PT KAI masih memiliki kelebihan dana. Suatu hal yang aneh jika PT Kai menganggap jumlah yang diberikan pemerintah masih kurang. Hal ini perlu ditelusuri lebih mendalam apakah besarnya biaya yang diajukan PT KAI benar-benar valid atau ada faktor-faktor lain yang menyebabkan biaya operasi menjadi membengkak.

KEBERLANGSUNGAN HIDUP PSO
                Berbagai polemik yang terjadi pada PT KAI menimbulkan suatu keraguan apakah PSO Perkereta-apian tetap dilanjutkan atau dihentikan. Menurut hemat kami, PSO harus tetap dilanjutkan karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Terlebih ini merupakan amanat UU. Setidaknya ada 350.000 penumpang yang diangkut oleh kereta tiap  harinya. Bayangkan apa yang akan terjadi jika PSO dihentikan, migrasi besar-besaran penumpang kereta akan memenuhi sarana transportasi lain, misalnya bus kota, angkot, dan sebagainya. Jika ini terjadi, kemacetan akan semakin parah.
                Ketika PSO tetap dipertahankan tentu ada konsekuensi yang harus ditanggung, terutama beban subsidi PSO yang harus ditanggung pemerintah. Penghitungan besaran subsidi harus direvisi, terutama elemen margin laba. Hal ini menjadi perhatian serius karena tujuan PSO adalah untuk pelayanan umum yang bersifat nirlaba. Manajemen PT KAI juga perlu dibenahi agar kinerja pelayanan jasa kereta kelas ekonomi lebih baik.
                Sebagai perseroan, PT KAI seharusnya menerapkan prinsip-prinsip pelayanan prima dan kinerja optimal untuk menghasilkan laba. Kondisi PT KAI yang selalu menganggap subsidi PSO yang diberikan pemerintah selalu kurang menjadi suatu hal yang ironis jika dikaitkan dengan status perseroan yang disandang PT KAI. Restrukturisasi manajemen PT KAI perlu dilakukan untuk mewujudkan lembaga yang profesional, transparan, dan akuntabel dalam penyediaan jasa angkutan massal.
                Andaikan kelas ekonomi akan disetarakan harganya untuk menunjang pelayanan angkutan yang lebih baik, tentu awalnya akan terjadi shock pada penumpang kelas ekonomi. Mungkin sebagian akan beralih ke sarana angkutan lain yang lebih murah. Tapi, jika penyetaraan harga dapat mengubah citra buruk kereta kelas ekonomi menjadi lebih baik, tentu secara jangka panjang efek penyetaraan harga lebih menguntungkan. Kalau kondisi kelas ekonomi setelah penyetaraan tetap sama, artinya manajemen PT KAI yang harus dibenahi.

Isnen H.A.G
Windy A.S
@Magang lt.19 

SUMBER:

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)