curhatibu.com

Saya Masih Harus Belajar tentang Percaya

Dalam satu bagian kisah Dalam Dekapan Ukhuwah yang disampaikan oleh ustadz Salim A. FIllah,.. (semoga Allah memberikan balasan terbaik pada Ustadz)…

Tersebutlah kisah dua orang anak manusia menuntut seorang lelaki santun dengan wajah teduh itu,atas pembunuhan pada ayahnya.. Dan kepada ‘Umar, mereka meminta agar pemuda belia itu di-qishash. Sang ayah dibunuh, karena kuda yang ditunggangi oleh pemuda memakan tanaman rumah mereka.

Sang pemuda dengan penuh kerelaan bersedia bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuatnya. Namun, dia meminta waktu 3 hari untuk memenuhi kewajiban nafkah yang harus diserahkan pada keluarganya, serta beberapa amanah yang masih harus dipenuhinya.

Apa jaminannya?
Tidak ada. Hanya Allah yang amat keras ‘adzabnya, yang akan menjamin dirinya.
Dan kemudian, terdengar suara seorang yang penuh wibawa, “Jadikan aku sebagai penjamin anak muda ini dan biarkanlah dia menunaikan amanahnya!”.

Siapakah? Salman Al-Farisi.

Dan tiga hari pun berlalu, hingga hari yang ditunggu tiba. Penuh dengan kegalauan dan kekhawatiran, apalagi jika pemuda itu tak datang, maka seorang sahabat yang pengorbanannya kepada Islam begitu besar harus dijadikan penggantinya.

Hingga menjelang berakhirnya hari itu,..yang ditunggu pun hadir juga. Dengan wajah terengah, karena berlari-lari mengejar waktu pertemuan itu.


“Pemuda yang jujur,” ujar ‘Umar dengan mata berkaca, “Mengapa kau datang kembali padahal bagimu ada kesempatan untuk lari, dan tak harus mati menanggung qishash?”
“Sungguh jangan sampai orang mengatakan,” kata pemuda itu sambil tersenyum ikhlas, “Tak ada lagi orang yang tepat janji. Dan jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada lagi kejujuran hati di kalangan kaum Muslimin”
“Dan kau Salman,” kata ‘Umar bergetar, “Untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan dari orang yang tak kau kenal sama sekali? Bagaimana kau bisa mempercayainya?”
“Sungguh jangan sampai orang bicara,” ujar Salman dengan wajah teguh, “Bahwa tak ada lagi orang yang mau saling berbagi beban dengan saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa, tak ada lagi rasa saling percaya di antara orang-orang Muslim.”
Dan kemudian,…
“Kami memutuskan…” kata kakak beradik penggugat tiba-tiba menyeruak, “Untuk memaafkannya.
“Agar jangan sampai ada yang mengatakan,”jawab mereka, “Bahwa di kalangan kaum Muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang.”

Cukuplah kisah di atas menjadi pengingat kita, bahwa,..dalam bagian lainnya, disebutkan,…

Dalam dekapan ukhuwah, rasa saling percaya adalah juga puncak tertinggi kualitas hubungan. “Dipercaya,” kata penulis George MacDonald, “Adalah satu penghargaan yang lebih tinggi dari sekedar mencintai. Sebab kepercayaan adalah penanda puncak bagi segala hubungan yang memungkinkan di antara para insan.”


Profesor Morrie tersenyum.
“Kau lihat,” ujarnya kepada mahasiswi itu dengan mata berbinar,”Kau memejamkan mata. Itulah bedanya. Kadang-kadang kita tidak boleh percaya pada apa yang kita lihat. Kita harus percaya pada apa yang kita rasakan. Dan jika ingin agar orang lain mempercayai kita, kita juga harus merasa bahwa kita bisa mempercayai mereka, bahkan meski kita sedang berada dalam kegelapan. Bahkan ketika kita sedang jatuh.”
(Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah, Salim A.Fillah)
Hmmmm….cukuplah menjadi pelajaran dan hikmah untuk hari ini…

JurangmangutimurB16,12des,14:34
ag06naizza

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)