curhatibu.com

Al Ikhlas


-Yang kami maksud dengan al ikhlas adalah : Seluruh ucapan, perbuatan, dan perjuangan seorang aktifis muslim selalu ditunjukkan dan dimaksudkan hanya kepada Allah Ta'ala saja, serta memohon ridha-Nya semata, juga kebaikan ganjaran-Nya. Tidak ingin mengharap imbalan apapun, baik berupa harta, tahta, martabat dan kedudukan, tanpa melihat maju mundurnya perkembangan dakwahnya. Dengan demikian, ia telah menjadi seorang "jundi" (prajurit) baik secara intelektual maupun aqidah, bukan seorang jundi yang mencari imbalan dan manfaat, seperti yang difirmankan Allah Swt dalam Al Qur'an : "Katakanlah : "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam" (Q.S Al An'am 162). Dengan demikian, seorang aktifis muslim selalu memahami doktrin "Allah tujuan kami" dan "Allah Maha Besar dan bagi-Nya segala puja dan puji" - (Hasan Al Banna)

"Tak dan sampai kepada Allah daging dan darah qurban itu, akan tetapi yang akan sampai kepada-Nya ialah taqwa dari kamu" (Q.S 22:37)

Banyak orang berharta dengan banyak hutang. Banya lagi orang miskin dengan banyak hutang. ada orang aya amal dengan banyak tuntutan yang harus dilunasinya di hari pembalasan. Ada orang yang sangat sederhana dalam beramalm dengan ketulusan tiada tara. Pujian tak membuatnya bertambah gairah dan celaan tak menghambatnya dari meningkatkan amal kebajikan. Ia ada di tengah keramaian dan jiwanya sendiri menghadap Khaliqnya, tanpa berharap dan peduli terhadap penilaian manusia. 

Tiga hal yang tak patut hati mu'min kering; 1. Ikhlas beramal karena Allah, 2. Tulus terhadap para pemimpin (dengan nasihat dan koreksi), 3. Setia kepada jamaah muslimin, karena do'a mereka meliput dari belakang mereka (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Hakim, Abu Dawud & Tirmidzi)

Banyak hal yang nampak sederhana, tetapi terabaikan, sementara obsesi besar sering menjadi simbol kebersamaan yang tak pernah terwujud atau takkan pernah terwujud, karena para pendukungnya tak pernah memperjuangkannya dengan sunguh-sungguh, kecuali sebagai simbol status. 

Hasan Al Bashri mencurahkan kebeningan hatinya di zaman yang rasanya begitu perlu penjernihan : "Tak ada lagi yang tersisa dari kenikmatan hidup, kecuali tiga hal"1.Saudara yang kau selalu dapatkan kebaikannya; bila engkau menyimpang ia akan meluruskanmu, 2. Shalat dalam keterhimpunan (jasad, hati dan fikiran), kau terlindungi dari melupakannya dan penuh meliput ganjarannya, 3. Cukuplah kebahagiaan hidup dicapai, bila kelak tak seorangpun punya celah menuntutmu di hari kiamat."

Ketika seseorang berusaha keras untuk beramal, tanpa berfikir apa keuntungan yang bakal didapatnya, ia disebut mukhlis, artinya orang yang menyerahkan amalnya kepada Allah dengan sepenuh hati tanpa pamrih duniawi. Pada saat ia mendapatkan dorongan beramal tanpa ingat apapun kecuali ridha Allah, ia menjadi mukhlas, artinya orang yang dijadikan mukhlis. ada orang yang hanya dengan melihatnya, itu cukup membuatmu ingat kepada Allah, bicaranya cukup menambah amalmu dan amalnya ckup membuatmu rindu akhirat.

HATI TANPA JELAGA

Hati bening seorang alim penaka gelas Kristal yang bening dan bersih, akan memancarkan cahaya ilmunya. Sementara ada orang yang detik demi detik tutur kata, karya dan kehadirannya menjerumuskanmu ke jurang sengsara.

Sulit untuk mendapatkan hati yang bening dan amal yang ikhlas tanpa kejujuran. Kejujuran yang sering diartikan dengan sekedar bicara benar, ternyata lebih dari itu. Ia adalah kejujuran terhadap Al Khaliq. Ia adalah kejujuran terhadap bisikan hati nurani. Para akhirnya bukti kebenaran itu akan Nampak dalam sikap kejujuran mereka kepada Allah atas semua janji yang mereka buat. “Sedikitpun tidak mengubah pendirian mereka, apakah mereka itu gugur terlebih dahulu atau menunggu.”(Q.S 33:23)

Hakekat shidq bahwa engkau tetap jujur dalam berbagai kondisi (sulit dan bahaya), padahal engkau hanya dapat selamat dari hal tersebut hanya dengan berdusta, demikian prinsip Junaid Al Baghdadi. Tentu saja ini tidak boleh bertentangan dengan penghapusan hukum dusta dalam kondisi penyelamatan saudara beriman dari kedzaliman orang lain, mendamaikan dua saudara yang berseteru dan dusta dalam taktik bertempur.

Apa yang membuat orang alim sekaliber Bal’am bisa kehilangan integritas diri, hanyut dalam pusaran lumpur dunia? Ada konflik yang tak disadarinya; melawan kehendak Allah yang sangat berkuasa untuk mengangkatnya tinggi-tinggi tetapi ia sendiri yang mengikuti gravitasi dunia dan hawa nafsu yang menahan laju jelajahnya kea lam tinggi (akhlada ilal ardl wal taba’a hawah), (Q.S 7:176). Betapa mengerikan kemiskinan hati bila melanda kaum berilmu. Mereka merasa rendah diri karena dunia yang tak berpihak, berseberangan dengan posisi tinggi dan jauh dari kedudukan basah. Mungkin ia telah lupa, kemiskinan itu bukanlah dosa, walau tidak menyenangkan. Mungkin karena pentingnya mengenal profil biang kerok ini, sampai-sampai Al Qur’an membuka kisahnya dengan “Bacakan kepada mereka”, dan menutupnya dengan “Maka ceritakan kisah-kisah ini, semoga mereka berfikir” (Q.S 7:175-176)

ORANG-ORANG YANG RINGKIH JIWA

Bal’am bin Baura, Walid bin Mughirah, dan Abdullah bin Ubay adalah profil kaum berilmu yang tak berfaham. Yang pertama, jelas-jelas berseberangan dengan Nabi Musa as dan perjuangannya, lalu bermanis-manis dengan kubangan dunia, Fir’aun. Adakah perbedaan yang cukup gelap antara Fir’aunisme kemarin dan Fir’aunisme hari ini, yang membuat Bal’am-Bal’am kontemporer membelanya mati-matian?

Adakah kedunguan yang melebihi kedunguan Walid yang di awal-awal laporan ilmiahnya tentang Al Qur’an terang-terang menutup semua jalan bagi penolakan Al Qur’an sebagai kalam Allah ? Kalau mantera kita sudah tahu, kalau ucapan manusia kita sudah tak asing, kalau puisi akulah pakarnya. Gemeretak gigi orang awam di Darun Nadwah rupanya lebih mengerikan baginya, sehingga di akhir sangat bertentangan dengan muqaddimah “Al Qur’an adalah sihir, lihatlah ia sudah memisahkan anak dari orang tuanya dan budak dari orang tuanya!” sergahnya.

Abdullah bin Ubay si batang balok yang tersandar (Q.S 63:4), menarik penampilannya dan manis mempesona tutur katanya. Kandidat pemimpin tertinggi Madinah prahijrah ini yang telah berbunga-bunga hatinya melihat peluang besar menjadi lupa akan prinsip Al fadlu liman shadaq(Kemuliaan untuk yang jujur) dan terobsesi berat oleh pemeo. Al fadlu liman sabaq (kemuliaan bagi yang lebih dulu), berdasarkan makna senioritas, bukan kapasitas. Ia lupa bahwa sabaqiyah (senioritas) itu menjadi bermakna dengan shidqiyah (ketulusan dan kejujuran). Tetapi penyakit nifaq merasukinya, dan loyalitas tak dimilikinya. Yang ada hanya kepentingan dan kedengkian. Jadilah ia orang yang manis di muka dan mengutuk di belakang, beriman di mulut dan kafir dalam hati.

Pada ketiga tokoh ini sangat menonjol ambisi kekayaan, jabatan, dan syuhrah (popularitas), tersurat ataupun tersirat. Dalam kamus mereka, kehormatan tak lagi punya tempat dan kejujuran hanya impian orang-orang pander. Namun madzhab langka ini sekarang jadi trend.

IKHLAS dan SHIDQ

Mengagumkan bila dicermati hubungan ikhlas dan shidq. Ikhlas artinya menjaga diri dari perhatian makhluq dan shidq artinya menjaga diri dari perhatian nafsu. Seorang mukhlis tak punya riya’ (pamer diri) dan seorang shadiq tak punya ijab nafsi (kagum diri), demikian Abu Ali Ad Daqqaq mengurai.

Ka’ab bin Malik pantas mendapatkan bintang Shidq. Hukuman berat diterimanya dengan ikhlas. Ia sadar sedang berurusan dengan Allah, bukan dengan masyarakat yang sebenarnya sangat menghormatinya. Ia yakin Rasulullah SAW pasti akan percaya bila ia membuat-buat alasan absennya dari perang Tabuk. Tak kurang dari 50 hari berlalu dalam keterasingan yang berat. Kemana ia pergi tak seorangpun menyapa atau menjawab sapaannya. Raja Ghassan menawarkan suaka politik dan posisi di kerajaannya. Bagi Ka’ab, ini juga bala. Maka ia buktikan loyalitasnya dengan kejujuran yang mengagumkan. (Q.S 9:118)

Banyak ulama yang tak henti-hentinya mengritik dan  meluruskan pemerintah sementara sang amir tak pernah jemu memenjarakannya. Namun, saat sang amir menggaungkan perintah jihad, mereka tampil di depan tanpa dendam pribadi. Jihad adalah ibadahku kepada Allah dan maksiat amir itu urusan amir dengan tuhannya. Kritik sudah kulancarkan. Demikian paradigma para mukhlisin. Khalid bin Walid tegas menjawab pertanyaan heran, mengapa mau-maunya ia bertempur di bawah komando orang lain sementara ia dimakzulkan dari posisi panglima? Ia berjihad karena Allah, bukan karena Umar.

Betapa mengerikan keterasingan pengamal yang selalu saja dihantui apa kata orang. Sunyi terdampar di gunung riya’, tersungkur di jurang ujub, segala ketakutan ada di sana, kecuali takut kepada Allah.

-Paragraf terakhir sangat mengerikan!-

Al-Adhwa, 30 Desember 2011

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)