curhatibu.com

Ini tentang Melankolis (?)


Entahlah, mungkin, aku sudah benar-benar kehilangan jiwa melankolis itu. Ah, bukankah itu yang pernah kupinta, kuharapkan, pada malam itu? Ya, malam, yang ku bilang bodoh untukku. Karena tidak semestinya perasaan seperti itu hadir. Sudahlah, sepertinya memang tak perlu lagi kuingat dan kukisahkan apa yang terjadi malam itu. Yang pasti, malam itu, aku merasa tersiksa dengan setiap rasa melankolis yang terus kupelihara selama ini. Semestinya tidak mengapa. Hanya aku yang berlebih merawatnya, hingga ia tumbuh berkembang tak tertahan. Ibarat gigantisme. Semoga tak salah ku mengambil istilah yang sudah 3 tahun tak lagi kupelajari.

Baiklah.. kembali, mungkin memang Ia mengabulkan hilang kurangnya perasaan itu. Jiwa melankolis yang berlebihan dalam hatiku. Ah, mungkin aku senang, sedikit merasa nyaman, karena tak lagi bingung dengan hal-hal kecil yang kubesar-besarkan , hingga ia melukaiku sendiri. Sementara ia, kamu, mereka, tak ada yang merasa terasai. Inilah yang tak kusuka dengan jiwa itu. Lebih menyakitiku, dan nyatanya orang lain juga turut sakit atas perasaanku. Perasaan tak bisa berbohong. Ia Nampak dari mata dan raut muka. Ia juga tergambar lewat sentuhan, dan cara bersikap. Dan aku senang, sedikit demi sedikit dapat kuhilangkan ia dariku.

Namun kadang, ada rindu atasnya. Ada rasa inginnya ia kembali membersamaiku. Bukan karena apa. Hanya merasa hilang kepekaan hati atas sesuatu. Hilang rasa atas hal yang penuh perasaan. Tak sering lagi menangis, membuat mata ini butuh dibersihkan, dan hati ini harus kulembutkan. Aku hanya takut terlampau kasar, atau keras, hingga membatu. Tak lagi peduli, tak lagi peka, tak lagi merasa.

Ada rindu juga atasnya. Karena ia, yang selama ini membuat jari jemariku menulis. Menekan huruf demi huruf pada keyboard notebook pink-ku ini. Ia, yang selama ini menuntunku berbincang pada nurani, meski selama ini seringnya tertutup oleh goda nafsu egoisme diri. Ia, yang selama ini mengajakku berpikir atas rasa. Rasa yang aku, ia, kamu, atau mereka alami, mereka rasai. Rasa yang tak akan mudah terjemahkan jika tanpa perbincangan jiwa itu dengan hati.

Ia, yang membuatku paham, bahwa ada air mata yang terkadang menanti sebuah pelukan. Ada air mata yang terkadang ia sembunyikan, padahal sesungguhnya butuh sebuah genggaman tangan. Ia, yang membuatku merasa, bahwa ada jiwa yang sedang sedih, atau merasa sepi dengan kesendirian yang entah sebenarnya, atau dibuatnya sendiri. Ia juga, yang membuatku mudah tersentuh, dan meneteslah air mata empati padanya.

Ah, entahlah.. Semestinya, dulu tidak ku pinta ia menghilang. Tidak ku pinta ia pergi dari ruangan hatiku. Karena nyatanya, ia kubutuhkan. Ada yang salah dengan pintaku waktu itu. Ada yang keliru dengan caraku meminta. Atau mungkin, saat kupinta dulu, emosi dan nafsu yang menyelimuti hatiku. Ia membuatnya penuh amarah, dendam dan kecewa, yang semestinya tak harus ada.

Kalau boleh aku minta lagi, bolehlah aku minta rasa itu datang kembali. Jiwa itu kembali menyelimut hatiku. Namun, tidak semua. Cukuplah sesuatu yang membaikkanku saja. Bukan sesuatu yang merusakku, dan menyakiti kawanku. Bukan emosi hawa nafsu yang kembali, karena ia akan sama seperti dulu, sakit dan menyakiti.

Oke… Itu saja…:):):)

22 Desember 2011

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)