curhatibu.com

Ini tentangnya,..yang kami sayangi...


Sekarang ia di sampingku.. Tertidur. Semoga lelap dalam istirahatnya.

Aku, kami harap demikian. Agar ia nya tak merasai kesakitan.

Seperti maghrib ini. Rabbi, tak tahan ku melihatnya. Ingin menderas air mata yang terus mendesak ini.

Coba ku tahan, ku katakan pada diri, “Semua baik-baik saja…”

Ingin juga ku katakan padanya, “Sebentar lagi, kemudahan akan datang, kesulitan akan terhalau, tenang saja… Banyak berdoa dan ingat Allah ya, sayang…”

Semakin tak menahan lagi sesungguhnya, kala ia menangis. Aku tak paham seberapa sakit yang dirasa. Tapi, aku tahu, pasti sakit sekujur tubuhnya.

Ku tahan tangisku, karena aku harus kuat, bukan? Yakin, pasti tangisnya semakin menjadi kalau melihatku, dan melihat kami yang turut menangisi keadaannya.

“Ini ujian, cobaan.. Semoga bisa bersabar ya..”, pesan seorang kawan. Persis seperti itu juga pesan mereka, yang berkunjung ke tempat ini tiap waktu, hampir tak berselang. Sesekali ia berjalan tertatih menemui mereka, atau mencoba menegakkan tubuh tatkala merea menghampiri ruang kecil ini.

“Makan-nya yang hati-hati ya, rawan… harus dijaga…”, kata seorang lagi.

“Alhamdulillah, setelah ke sana, saya sembuh berangsur-angsur. Memang cukup lama, sangat lama, bahkan. Butuh sabar. Mau diantar ke sana?”, tawaran kebaikan muncul dari sahabat yang katanya sudah puluhan tahun tak bertemu.

Aku tak tahu ini rahmat atau musibah, dari mereka lah, kami mencoba berikhtiar untuk ia, seseorang yang sangat kami sayangi.

Ya, hari itu, kami pergi ke salah satu kota di jawa bagian timur. Tidak jauh dari rumah, hanya 2-3 jam saja. Setelah sampai pun, tak perlu menunggu waktu lama, hingga akhirnya beliau masuk ke dalam ruang periksa. Dan tak sampai semenit, sang dokter memberikan informasi yang tak kami duga sebelumnya. Ah, tak perlu kukisahkan tentang hal itu. Yang pasti, sekali lagi, kami tak tahu ini rahmat atau musibah, hanya bisa berprasangka baik pada Allah.

Itulah yang terjadi. Tujuan kedatangan kami berikhtiar pada bagian-A, justru mempertemukan kami pada ikhtiar lanjutan untuk bagian B, bukan (belum) bagian A. dan nyatanya, memang semestinya bagian B dahulu yang diatasi. Jika bukan karena hidayah Allah, bagaimana mungkin ini terjadi.

Usai dari ruang priksa, bekal sudah didapat. Segepok obat. Eh, tiga gepok obat! Ah, tidak.. Mencium aroma obat itu, mual rasanya. Tapi, bagaimanapun, demi kesembuhannya. Semoga ia mampu bersabar dan bertahan.
Benar saja apa kata sahabat yang tadi, “Pasti akan merasakan sakit luar biasa di sekujur tubuh. Tenang saja, ini proses pembakaran sel-sel yang tidak normal itu…. Yang penting sabar, maka ia akan hilang perlahan… Insya Allah”

Malam hari menjadi malam yang menyiksa, sejak saat itu. Ya, sejak diminum satu demi satu obat dalam gepokan paket yang diberikan itu. Tak tahan aku mendengar rintihan sakitnya.

“Ringankanlah ia, kuatkanlah ia, ampuni dosanya…”, doa ku untuknya.

Aku teringat bahwa jika seseorang itu terkena duri, saja, dosanya terampuni. Berarti, kalau sampai kesakitan seperti yang kulihat darinya, semakin banyak dosa yang diampuni oleh Allah.. Ya kan, Allah? Hhe.. Sungguh, itu harapku. Apalagi?

Ku coba menyentuhnya,tangan dan punggungnya. Saat ia memintaku memijit.

Rabb… Kurus sekali. Seperti yang orang rasakan saat memegangku, mungkin. Kurus. Seperti langsung menyentuh tulang. “Mana yang dipijat ini?”. Hampir 10 kilo berat badan yang berkurang darinya. Lebih ringan dariku, yang kata teman-teman paling ringan ini.

Kusentuh perlahan tangannya.. Ah, kenapa juga ingatanku tertuju pada hal lain… Pada hal bertahun-tahun yang lalu. Tangan yang senantiasa ku cium tatkala pamit sekolah. Ia juga yang mengusap rambutku (kala itu) dengan lembut. Juga yang memotong rambutku kala terlalu panjang. seumur hidup, rasa-rasanya aku belum pernah ke salon lain untuk itu. Lengan yang selalu kuat bekerja keras mencari tambahan uang. Tangan ini juga yang dengan trampil meracik bumbu-bumbu masakan terbaiknya, dan selalu tersedia ketika aku pulang sekolah. Tangan ini juga yang menggendongku, memandikanku, membalut lenganku kala luka dulu, mengganti plester jariku yang terkena pisau, mencuci kakiku yang sempat bernanah karena tersandung waktu bermain. 

Dan kalian tahu, tangan ini juga yang meriasku dengan dandanan sederhana saat wisuda. Ia melakukannya di atas ranjang rumah sakit kota bogor. Ia memasangkan dengan susah payah sebuah pita di atas kepalaku, dan melepasku pergi (tanpanya) menuju perayaan kelulusan yang ia telah bersusah payah juga datang ke Jakarta untuk itu.

Menuju punggungnya. Ini bagian yang cukup sakit, pegal-pegal, nyeri. Entahlah bagaimana rincian sakitnya. Seperti tangan tadi, yang aku pegang seperti langsung tulang. “Mana dagingnya ini?”

Dan lagi-lagi, terpikir masa lalu. Punggung ini kuat ya, apalagi pundaknya. Berapa tahun ya, aku tidur dalam gendongannya? Berapa tahun, kepala kecilku bersandar berjam-jam di sini? Apalagi waktu aku sakit dulu. Enam bulan pengobatan berturut-turut tak boleh berhenti. Harus digendong. Tidak boleh capek main. Padahal sering demam tinggi, yang membuat nya kebingungan malam-malam. Belum lagi saat harus dirawat di rumah sakit, sepertinya ia tak bisa terpejam barang sejenak. Punggung itu begitu kuat menopangnya, hingga tak tidur, tak bersandar, tak berbaring sekedar meluruskannya. Terkadang, punggung ini harus menggendongku, mungkin saat itu aku rewel. Minta mainan, atau makanan, yang seharusnya tidak boleh aku beli.

Beralih ke kakinya, kecil. Kurus. Kulitnya tak lagi sekuat dulu. Mungkin sudah termakan usia, atau karena sel ini? Aku tak begitu paham. Yang pasti, seringkali ia merasa kesakitan pada tulang-tulang kakinya (juga). Efek obat sampai di sini kah? Semoga iya, dan semoga menyembuhkan.

Usai semua bagian, ku usap kepalanya. Kubelai rambutnya, yang sebagian besar sudah putih. Seingatku, setiap aku tidur dengannya, ia selalu mengantar tidurku dengan belaian lembutnya pada kepalaku.

Kusentuh wajahnya juga, yang kini sudah dimakan usia. Sangat jarang kudapati tangismu. Namun, akhir-akhir ini sering. Apakah begitu sakitnya, hingga membuatmu, yang tegar, tak tahan pula dengan sakitnya? Sekali lagi, aku berharap, itu adalah besarnya ampunan Allah padamu…

Hmm.. kemarin, aku mengucapkan hari ibu padanya. Ku cium, dan ia menciumku berulang kali. Ah, aku bukanlah orang yang bisa bersikap romantic di hadapan mereka, apalagi dihadapannya. Pun bisa, itu lewat tulisan, surat, yang pernah sekali ku kirimkan. Haru itu menghangatkan.

Ada harap, dan inginku, untuk membersamainya lebih lama. Paling tidak, sebelum ketetapan kerja ku tanda tangani. Karena aku harus kerja, di kementrian keuangan (insya Allah). Dan inilah jalan Allah, yang menunda sedemikian lama pengumuman kerja itu. Agar aku bisa lebih lama dengan ibu, bapak, kakak, dan keluarga ku di sini. Selama ini, cukup “merasa” sibuk dengan kepentingan kampus, atau yang mengatasnamakan dakwah, dan sejenisnya, hingga tak pandai aku mengatur hubunganku dengan keluarga. Jarang bertemu dengan mereka. Pulang pun, hanya 3-5 hari. Setelah itu, berbulan-bulan asyik dengan rutinitas kampus. Alhamdulillah, inilah jalan Allah yang ‘memaksa’ ku untuk pulang, menikmati keluarga kecilku ini… Dan yang pasti, untuk berbuat baik pada orang tua. Ah, tak boleh aku menyebut ini adalah upaya membalas jasa mereka. Tak mungkin terbalaskan! Maka, semoga ini adalah jalan kebaikan ku. Semoga menghantarku ke surge, dan juga dengan mereka, keluargaku, dan special for my mother..

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)