curhatibu.com

Refleksi Impian, cita-cita...


Sepertinya ada yang sedang kebingungan, resah, atau (sebenarnya tidak ingin menyebutnya) galau... Tentang apa? Tentang kehidupan, tentang masa depan. Hmm... Apa sebenarnya yang terjadi?

Ya, mencoba bertanya kepadanya, kepada hatinya, hati nuraninya. Tentang apa yang sebenarnya dia rasakan. 

"Aku sedang resah, sungguh...", katanya 
"Kenapa?"
"Entahlah, aku tak tahu, kawan....", sepertinya wajahnya semakin larut dalam resahnya, ah, terlihat sekali dari raut muka dan tatapannya yang terkadang kosong.

Aku menangkap ada aroma kepesimisan di sana. -Hei, kawan, setahuku, kau adalah orang yang optimis, penuh mimpi, tujuan, cita-cita. Sekarang??? Kenapa aku seolah kehilangan itu darimu?- berharap aku bisa mengatakan itu padanya, menanyakan itu pada dirinya. Supaya aku pun mendapat jawab. 

Sebentar, sebelum aku melanjutkan pertanyaanku itu, aku mau cerita sedikit tentang sore tadi. Hmm... Ya, kami tadi berkunjung ke sekolah kami, SMA. Ada acara training organisasi di sana. Yang ngadain anak-anak ROHIS. Niat kami berkunjung ke sana adalah untuk silaturahim, sekaligus memanfaatkan waktu 'penantian' kami untuk acara yang manfaat. Dan berharap dapat memberikan manfaat untuk adik-adik kelas kami. 

Ah, di acara itu, timbul lagi pertanyaanku padamu. Ke mana kepercayaan dirimu, kawan? Pikiranku kemudian terbang menuju memori zaman kita SMA dulu. Berkali aku melihat kamu tampil di depan kelas. Bukannya setiap kali bapak ibu guru bertanya, "Siapa yang mau mengerjakan terlebih dahulu?", atau "Ada yang mau maju mempresentasikan jawabannya?", kamu yang pertama gesit langsung maju. Ah, seolah kamu tak rela kalau ada orang yang mendahuluimu. Dan ku pikir, tidak cuma kelas kan? Bahkan kamu pernah maju di hadapan seluruh siswa kelas 1 sampai 3 plus ada semua bapak ibu guru SMA kita. Ngapain ya waktu itu? Ya, kamu pidato di hadapan kami. Tak kulihat sedikitpun gentar atau ragu darimu waktu itu. Tidak seperti tadi, yang kamu ragu, sungguh penuh keraguan dalam berbicara! Padahal, yang kau hadapi bukan orang yang lebih tua, bukan juga seangkatan, tapi justru adik kelas. Euh...semakin banyak pertanyaanku padamu, kawan!

"Jadi,  bagaimana? Apa yang sebenarnya kamu rasakan saat ini?", tanyaku lagi padanya, siapa tahu dia mau menjawab kemudian.

"Aku serasa kehilangan diriku.", jawabmu singkat. 

Wah,..nggak kaget sih, karena sudah banyak tanda-tanda ganjil ku rasakan. 

"Aku sering merasa iri kalau melihat profil-profil teman-temanku di facebook, atau blognya. Melihat pencapaian mereka, rasanya diri ini koq ya jadi kecil dan semakin keciiiil aja!", akhirnya ia mulai ngomong.

"Kamu minder?", tanyaku padanya, mencoba meyakinkan apa yang berputarputar di kepalaku.

"Bisa dbilang begitu... Rasa-rasanya, kuliah kemarin aku tidak bisa menyerap banyak ilmu.. Rasanya koq ya kosong aja nih kepala. Prestasi pun tak ada, sepertinya kemampuan yang ku pikir dulu aku punya, sekarang lambat laun hilang sedikit demi sedikit. Kepecayaan diri yang dulu ku pikir besar, sekarang mengecil, mengecil, dan menjadi tak ada"

"Ada semacam keraguan dengan masa depanmu nanti?", tanyaku lagi

"Ya, boleh dibilang begitu...", jawabnya.

"Memangnya, kamu mau menjadi sosok yang bagaimana?", selidikku...

"Yang sukses, membanggakan orang tua, bisa punya perusahaan, gaji besar, disegani, dikenal... Ya, seperti teman-temanku itulah. Bahkan saat masih kuliah, mereka mengikuti aneka training, sertifikat bejibun, belum lagi IPK 4 sering didapat, lalu apa lagi, mereka yang sudah keluar negeri, sering ikut lomba, membuat karya ilmiah, menang ini itu, study banding ke universitas seluruh indonesia, menjadi ketua ini dan itu, pendiri ini itu, dan sebagainya. Mereka pasti akan menjadi sosok yang semakin sukses nantinya.. Ah, bagaimana nanti kalau aku bertemu mereka, dan aku masih belum apa-apa. Gaji masih belum punya, kerjaan nggak jelas, apalagi ditanya tentang rumah, perusahaan, dan sebagainya. Aku harus bilang apa ke mereka…", jelasnya panjang lebar.

Well, akhirnya aku tahu, mungkin, setidaknya aku lebih tahu apa yang sebenarnya terjadi...

"Sungguh menderita ya, orang yang hidup untuk orang lain!", entah kenapa kalimat itu yang keluar dariku. Kulihat dia nampak terhenyak. Lalu kucoba lanjutkan perlahan.

Betapa mengerikan keterasingan pengamal yang selalu saja dihantui apa kata orang. Sunyi terdampar di gunung riya', tersungkur di jurang ujub, segala ketakutan ada di sana, kecuali takut kepada Allah

"Kau ingat kata-kata di atas? Buka lah lagi di bukumu...!", perintahku padanya. Ku lihat dia, sedikit tertunduk. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. 

"Jadi, aku tidak boleh menjadi orang sukses? Tidak boleh iri pada kesuksesan mereka? Tidak boleh mempunyai cita-cita seperti mereka?", dia menatapku. Tatapannya semakin tidak karuan saja, tampak semakin gundah, aku jadi merasa bersalah.

Aku mendekatkan diriku padanya. Kuletakkan tanganku di bahunya, berharap itu lebih menenangkannya.

"Siapa yang bilang seperti itu, sayang? Aku tidak pernah berkata begitu! Dengar ya.. Kita itu sudah dibekali potensi luar biasa oleh Allah, maka wajib bagi kita bersyukur, dengan mengoptimalkan potensi itu. Bukankah mukmin yang kuat lebih dicintai? Maka kalau potensi bisa dioptimalkan, artinya kita menjadi seorang mukmin yang kuat, dan mendapat cinta Allah!", semoga tidak terlalu panjang untuk didengarnya.

"Ya, dengan melihat orang-orang dan teman-teman kita yang luar biasa itu, semestinya bukan menjadikan kita minder, rendah diri, melainkan harus semakin semangat untuk turut menjadi orang berprestasi. Kalaupun sekarang (kita anggap) belum bisa berprestasi, ya tidak apa-apa, evaluasi diri dan teruslah berbuat saja, lakukan apa yang bisa kita lakukan. Toh, kemampuan seseorang berbeda-beda, minat seseorang juga berbeda-beda. Ukuran kesuksesan juga berbeda, tidak melulu dilihat dari apa yang terlihat kasat mata!"

"Aku hanya khawatir kalau kamu terlampau sibuk memperhatikan kesuksesan orang lain, sehingga mengkerdillkan dirimu sendiri. Padahal, sebenarnya kamu pun sudah punya rencana-rencana besar, ya kan?", tanyaku sembari kembali mengejar tatapan matanya yang sejak tadi menghindar.

"Aku hanya khawatir kalau kamu terlalu sibuk mengejar sesuatu yang sama dengan orang lain, padahal bukan itu minatmu, bukan itu kemampuan dan kemauanmu, atau bahkan justru itu menjadi kelemahanmu. Dan itu hanya akan membuatmu semakin terpuruk dalam perasaan rendah diri, karena hasilnya nol besar!"

"Aku hanya khawatir kalau orientasi hidupmu jadi lain. Padahal, kamu sudah punya gerak, usaha, yang mungkin hanya kamu dan Allah yang tahu. Tapi, karena melihat orang-orang lain, kamu menjadi orang yang ingin juga dilihat mereka! Dilihat sebagai orang sukses, orang berhasil, dan sebagainya! "

"Aku khawatir kamu kehilangan keyakinan pada dirimu sendiri, dan pada Allah yang telah mengatur segala kehidupanmu. Aku khawatir syukur itu berubah menjadi kekufuran atas jalan hidup yang tidak kau inginkan"

"Yang pasti, aku khawatir, kau kehilangan kehidupanmu... Karena kau sibuk dengan perhatian, dengan pujian, kedudukan, dan sebagainya… Dan kau kehilangan ganjaran pahalamu karena ketidakmurnian niat dalam beramal meraih sukses.."

Kulihat dia mulai mengangguk, meski masih nampak ragu. 

"Kau tahu cita-citaku?", tanyanya tiba-tiba

"Entahlah...", jawabku singkat.

"Ya, biarlah hanya aku dan Allah yang tahu...", jawabnya, sepertinya aku melihat ada senyum kecil saat dia mengatakan hal itu. Entahlah, aku tak tahu apa yang kemudian ada di pikirannya, dan apa rencananya. Namun cukuplah senyum kecilnya itu yang membuatku lega, karena aku yakin bahwa dia punya rencana besar dengan Allah, dia sudah yakin atasnya..

“Dan biarlah kau dan Allah yang tahu, Tak peduli apa kata orang, tapi lihatlah, Allah senang, tersenyum melihatmu.., betapa cita-citamu besar di hadapanNya...”

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)