curhatibu.com

Love Money???

Ini, ada kisah singkat. Semoga ada pelajaran yang diambil --------------------------------------------------------------------
Sudah diatur oleh Allah, saat semalam saya tengah menanti suami usai menunaikan shalat maghrib di Al Amin, seorang ibu menghampiri. Sepertinya, juga sedang menunggu suaminya. 

Si Ibu : Mbak, nunggu siapa di sini?
Saya : Nunggu suami, Bu
Si Ibu : Oh.. Kerja di sini juga mbak? Udah berapa lama di sini?
Saya : Iya, Bu. Di anggaran. Belum ada setahun kerja di sini.
Si Ibu : Saya dulu juga di sini lho mbak. Di Itjen. Tapi saya udah resign, ikut suami saya. 
Saya : Oh iya, Bu? Udah lama tho resignnya?
Si Ibu : Iya, Mbak, udah lama.. Penghasilan dari suami sudah cukup, ya udah, mending saya resign saja.
Saya : Oh, gitu bu..

Saya mengangguk-angguk saja mendengar Si Ibu berbincang ringan. Kemudian, percakapan sampai kepada....

Si Ibu : Saya koq suka Kementerian Keuangan jaman dulu ya, Mbak. 
Saya : Lhoh, kenapa, Bu?
Si Ibu :  Iyaaa... Dulu itu serba mudah! Semuaaanya bisa jadi uang!

"Semuaaaaanya bisa jadi uang!"

Dan saya terhenti dari menyimak tenang, beralih pada "keingintahuan" atas pernyataan itu. Ada rasa aneh saja mendengar itu.

Si Ibu : Ah, apalagi di waktu-waktu kayak gini, Mbak. Waktu penelaahan. Semua kementerian, dari daerah datang kemari. Dan saya sangat sukaaaa banget! Banyak lahan di sana sini, Mbak!

"Banyak lahan di sana sini, Mbak!"

Saya semakin terdiam saja. Mencoba berekspresi biasa, dan tidak menampakkan ekspresi ketidaknyamanan saya, agar beliau menyelesaikan apa yang ingin disampaikannya. 
Si Ibu : Banyak itu dapat uangnya, Mbak!  Kalau sekarang mah, mana bisaaaa! Ah, jadi ribet semuanya. Lahan-lahan itu ngga ada lagi. Kering, Mbak.

Si Ibu berhenti sejenak, lalu melanjutkan lagi pertanyaan, "Eh, Mbak masuknya ke Kemenkeu, ujian ya?"
Saya langsung menjawab bahwa saya dari STAN, yang tidak perlu ujian, dan bisa langsung masuk.

Si Ibu : Ah, sekarang mah juga susah buat masuk sini. Mana ada itu uang sogokan. Anak orang kaya, yang punya banyak uang pun, susah bisa keterima. 

Susah, masuk sini. Nggak ada lagi bisa nyogok

Dan sepersekian detik kemudian, padahal belum sempat mengomentari apa yang disampaikan Si Ibu, beliau pamit, "Pamit dulu ya, Mbak!"

Lalu suami datang. Saya, masih antara 'takjub' mendengar langsung dari seorang yang lebih suka dengan kondisi dulu, daripada sekarang.

-------------------------------------------------------------

Sesungguhnya, saya memang sering mendengar perihal ini. Korupsi yang merajalela, mengambil kesempatan beroleh uang halal sekaligus haram, memanfaatkan setiap momen untuk menghasilkan uang. Tapi, saya cukup bersyukur mendapati kejadian di atas. 

Koq Syukur?
Ya. Karena saya jadi bisa cerita, bahwa memang ada mental orang-orang yang sedemikian. Ingin beroleh uang dengan banyak cara. Dan malah membenci perbaikan yang dilakukan oleh para pelopor kebaikan. 

Saya bilang, memang benar sih. Kemenkeu sekarang bersih, susah menemukan lahan-lahan sedemikian. Alhamdulillah, reformasi birokrasinya lumayan berjalan. Paling tidak, saya bisa masuk ke sini dengan tidak mengeluarkan uang sepeserpun sebagai penjamin, sebagaimana beberapa instansi masih demikian. 

Saya bilang, memang benar sih. Kemenkeu sekarang memang sudah berubah sistemnya, terutama bagaimana pengawasan diciptakan dengan begitu eratnya. Ya, paling tidak, laporan-laporan keuangan yang dihasilkanpun dinilai "okelah", meski belum sempurna.


Jadi, apakah sudah tidak ada lagi korupsi? Sudah tidak ada lagi keinginan beroleh uang dengan "cara apa saja"?

Entahlah. Saya tidak tahu. Apalagi saya adalah newbie di sini. Mungkin juga belum layak memberi penilaian kinerja apalagi terkait integritas. 

Ya, paling tidak, bagaimana kita mengupayakan diri bersih. Diri ini aja, bersih. Orang lain, entarlah. Ada masanya di mana (semoga) kita bisa turut andil menjadi pembuat keputusan, termasuk pengaturan kebijakan-kebijakan di sini. 

Bagaimana mengupayakan diri bersih?
Hmm.. koreksi diri saja deh. Misalnya:
  • Apakah dalam sehari-harinya kita telah melaksanakan kewajiban kita sebagai pegawai (bagi penulis : honorer) dengan baik? 
  • Layakkah kita menerima uang 850ribu tiap bulannya, dengan beban kerja yang kita dapati. Kelebihan, atau kurang?
  • Pantaskah jika waktu kantor kita lebih banyak gunakan untuk kepentingan pribadi, sementara kertas kerjaan masih numpuk di meja kita?
  • Beranikah kita menerima uang konsinyering, uang rapat, uang surat tugas, yang memang sudah ditetapkan aturan, padahal kita tidak melakukan 'apa-apa' dalam penugasan-penugasan itu. Bahkan, rapat pun tak hadir, cukuplah tanda tangan lembar absensi yang diedarkan sehari kemudian. 
  • Haruskah kita berani mengangkat wajah kita, sedang dalam harta kita tercampur harta milik rakyat, anak-anak yatim, terlantar, orang-orang fakir itu?
Pertanyaan-pertanyaan di atas, cukuplah untuk diri sendiri. Lalu, untuk instansi? Apa ya kira-kira pertanyaan untuk evaluasi? Mungkin begini...


  • Perlukah kita menggunakan hotel, jika tempat rapat di dalam kantor adalah cukup layak digunakan?
  • Perlukah menginap di kamar mewah, jika rapat selalu dipastikan selesai sebelum jam malam
  • Perlukah memesan kamar hotel, jika sudah bisa dipastikan bahwa peserta rapat tidak akan ada yang menginap karena memilih pulang?
  • Perlukah memesan makanan yang mahal dan mewah?
  • Perlukah melakukan perjalanan dinas ke sini dan ke sana, jika itu hanya dibuat-buat untuk penghabisan anggaran?
  • Perlukah mengadakan konsinyering jika sebenarnya, pembicaraan biasa saja cukup?
  • Perlukah dan perlukah?
Semua itu, saya tidak paham pasti. Toh, yang tau apa niat sebenarnya adalah si pembuat acara tersebut. Bisa jadi memang dibutuhkan, bisa jadi hanya alibi. Korupsi dulu korupsi sekarang. Niat sama, mencari karena (semata) dapat uang, tak peduli sesuai kerja, atau tidak.

Hehe.. Mungkin hanya prasangkaan. Tapi, Entah untuk kementerian ini, atau kementerian yang lain. Saya juga tidak tahu. Kita hanya bisa bertanya pada hati nurani, pada kejujuran masing-masing.

Lalu, kalau sistemnya begitu, uang yang saya terima harus diapain?
Kembalikan saja kepada kas negara. jika kesulitan, maka pastikan, uang itu kita belanjakan untuk kepentingan rakyat yang tidak mampu. Toh, sebenarnya, negara yang punya tanggung jawab pemeliharaan. Jadi, sama aja kan. Yang penting, kita mengupayakan diri bersih. 

Apakah saya sudah bersih? Wallahu alam. Semoga Allah mengampuni kita, atas dosa yang kita sadari, maupun dosa yang tidak kita sadari. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk

Wallahu alam

[sekedar kicauan. udah lama ingin terluapkan, tapi baru terealisasikan sekarang. semoga yang merasa, segera tersadar. lebih penting adalah untuk evaluasi diri saya saja]

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)