curhatibu.com

Adab Menasihat ala Imam Ahmad


Tiap orang punya cara untuk menyampaikan nasihat. Permata pun bisa dilempar, diulurkan, atau diselip ke saku. Ambillah permatanya. Hawa nafsu membenci nasihat. Nurani mencintai pengingat. Perhatikan kala masukan datanag; hawa atau nuranikah yang menang?

Mengertilah, terkadang, luka di hati orang yang menasihati, lebih dalam dan perih daripada yang dinasihatinya. Kesanggupan menutup aib saudara dipadu keterampilan menasihati dan ketulusan doa ialah daya agung ukhuwah yang kian langka.


Penasihat tulus; mencari 77 alasan untuk berbaik sangka. Jika semua tak masuk akal, dia berkesimpulan,

“Saudaraku punya alas an yang tidak kutahu.” Tetapi cinta, yang kadang meluruhkan tegur kata, tak boleh meruntuhkan kewajiban yang diamanahkan Tuhannya : nasihat.

Adalah Imam Ahmad, agung dalam mengamalkannya. Inilah yang dikisahkan Harun Ibn Abdillah Al-Baghdadi: Di satu larut malam pintuku diketuk orang. Aku bertanya, “Siapa?”. Suara di luar lirih menjawab, “Ahmad!” Kuselidik, “Ahmad yang mana?” Nyaris berbisik kudengar, “Ibnu Hanbal!” Subhanallah, itu Guruku!

Kubukakan pintu, dan beliau pun masuk dengan langkah berjingkat; kusilakan duduk, maka beliau menempuh hati-hati agar kursi tak berderit.

Kutanya, “Ada urusan sangat pentingkah sehingga engkau duhai Guru, berkenan mengunjungiku di malam selarut ini?” Beliau tersenyum.

“Maafkan aku duhai Harun,” ujar beliau lembut dan pelan, “aku terkenang bahwa kau biasa masih terjaga meneliti hadits di waktu semacam ini. Kuberanikan untuk datang karena ada yang mengganjal di hatiku sejak siang tadi.” Aku terperangah, “Apakah hal itu tentang diriku?” Beliau mengangguk.

“Jangan ragu,” ujarku,”sampaikanlah wahai Guru, ini aku mendengarkanmu.”

“Maaf ya Harun,” ujar beliau, “tadi siang kulihat engkau sedang mengajar murid-muridmu. Kaubacakan hadis untuk mereka catat. Kala itu mereka tersengat terik mentari, sedangkan dirimu teduh ternaungi bayangan pepohonan. Lain kali jangan begitu duhai Harun, duduklah dalam keadaan yang sama, sebagaimana muridmu duduk.”

Aku tercekat, yang sanggup menjawab. Lalu beliau berbisik lagi, pamit undur diri. Kemudian melangkah berjingkat, menutup pintu hati-hati. Masya Allah, inilah Guruku yang mulia, Ahmad bin Hanbal. Akhlak indahnya sangat terjaga dalam memberi nasihat dan meluruskan khilafku. Beliau bisa saja menegurku di depan para murid, toh beliau Guruku yang berhak untuk itu. Tetapi tak dilakukannya demi menjaga wibawaku. Beliau bisa saja datang sore, bakda Maghrib atau Isya yang mudah baginya. Itu pun tak dilakukannya, demi menjaga rahasia nasihatnya. Beliau lakukan juga agar keluargaku tak tahu , agar aku yang adalah ayah dan suami tetap terjaga sebagai imam dan teladan di hati mereka. Maka termuliakanlah Guruku sang pemberi nasihat, yang adab tingginya dalam menasihat menjadikan hatiku menerima dengan ridha dan cinta.

Adalah salah, terus saling menasihati tanpa hadirnya hasrat berbenah dan menjadikan diri lebih indah. Adalah juga keliru, tak saling bernasihat hanya sebab berselimut baik sangka pada diri dan saudara. Dan adalah galat, tak bergairah menasihati sebab diri sendiri ingin selalu nyaman berkawan kesalahan. Mari hidup dalam saling menasihati.

[sumber : kultwit ust salim a fillah]

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)