curhatibu.com

Katakan, “Saya Tidak Tahu!”


Seorang laki-laki datang mengunjungi Abdullah bin Umar dan mengajukan pertanyaan tentang bentuk kewajiban yang lebih ringan dari yang berat-berat. Ibnu Umar menjawab, “Saya tidak tahu”. Seorang laki-laki kemudian berdiri untuk mendukung orang yang bertanya dengan mendesak Ibnu Umar, “Wahai Tuan, perkenankanlah engkau menjawab pertanyaan itu.”
Ibnu Umar berkata tegas, “Bukan begitu, demi Allah saya belum tahu.”

Kisah Abdullah bin Umar ini mengingatkan saya pada Zadzan Abi Maisarah. Ia berkata, “Pernah suatu hari kami menjumpai Ali bin Abi Thalib sedang mengelus dadanya sambil berkata, ‘Alangkah sejuknya hatiku saat ada yang bertanya mengenai sesuatu yang belum kupahami lalu menjawab, ‘Saya belum tahu. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui’.”

Penuturan Zadzan Abi Maisarah ini menegaskan kepada kita tentang keutamaan bersikap jujur ketika kita tidak tahu. Memilih berkata “saya tidak tahu” jauh lebih baik daripada memaksakan diri untuk mencari-cari jawaban yang ia tidak menguasai ilmunya, semata karena takut harga dirinya jatuh di hadapan orang lain. Padahal, keberanian untuk berkata “saya tidak tahu” justru menunjukkan bahwa ia telah mengenal batas-batas kemampuannya. Ia tidak berbicara kecuali dalam batas yang mampu ia sampaikan dengan ilmu.

Para pembicara publik, ustadz, atau yang mengustadzkan diri, sering terjebak pada kecerobohan. Mereka memaksakan diri untuk menjawab apa yang mereka sama sekali tidak mempunyai ilmunya, belum memahami masalahnya, dan tidak mengerti kedudukan masalahnya. Salah satu sebabnya adalah ketakutan dianggap bodoh atau khawatir kredibilitasnya jatuh. Padahal, kredibilitasnya justru akan terjaga apabila ia tidak memaksakan diri menjawab pertanyaan yang ia tidak memiliki sedikit pun pengetahuan.

Ibnu Ajlan berkata, “Ulama yang melalaikan ucapan ‘saya tidak tahu’ berarti telah menusuk tubuhnya yang rawan kematian.”

Nasihat ini menunjukkan kepada kita bahwa memaksakan diri untuk membahas persoalan yang kita tidak mengetahui ilmunya, justru membuat kita terjatuh pada keburukan yang beruntun.

Pertama, orang yang tahu akan menertawakan kita sehingga kredibilitas kita akan lenyap sama sekali, sementara orang yang tidak tahu akan tersesat oleh ucapan kita.

Kedua, kemuliaan kita hilang disebabkan ketidakhati-hatian kita dalam membahas masalah, memberi nasihat, menjawab pertanyaan, dan lebih-lebih kalau berani memberi fatwa, sementara kita belum memiliki kelayakan sama sekali untuk memberi fatwa.

Ketiga, kita kehilangan rasa aman saat berbicara sehingga menimbulkan sikap keras kepada yang mempertanyakan, memperumit jawaban bagi yang bertanya, dan kehilangan harga diri saat berhadapan dengan orang yang kita anggap lebih hebat. Kita tunduk bukan karena tawadhu’, tetapi karena keder dan takut kalau borok kita ketahuan. Padahal, berbicara dengan orang alim sebenarnya merupakan kesempatan untuk memperoleh ilmu yang lebih luas.

Keempat, kita mudah terjebak untuk sibuk menarik perhatian sehingga lupa dengan apa yang harus kita sampaikan. Kita sibuk pada teknik berbicara, dan lupa akan penguasaan ilmu. Padahal, teknik berbicara hanyalah sarana, bukan tujuan. Sebab kunci keberhasilan dalam menyampaikan nasihat adalah penguasaan ilmu. 

[dari buku Mencari Ketenangan dalam Kesibukan]

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)