Seorang laki-laki datang
mengunjungi Abdullah bin Umar dan mengajukan pertanyaan tentang bentuk
kewajiban yang lebih ringan dari yang berat-berat. Ibnu Umar menjawab, “Saya
tidak tahu”. Seorang laki-laki kemudian berdiri untuk mendukung orang yang
bertanya dengan mendesak Ibnu Umar, “Wahai Tuan, perkenankanlah engkau menjawab
pertanyaan itu.”
Ibnu Umar berkata tegas,
“Bukan begitu, demi Allah saya belum tahu.”
Kisah Abdullah bin Umar ini
mengingatkan saya pada Zadzan Abi Maisarah. Ia berkata, “Pernah suatu hari kami
menjumpai Ali bin Abi Thalib sedang mengelus dadanya sambil berkata, ‘Alangkah
sejuknya hatiku saat ada yang bertanya mengenai sesuatu yang belum kupahami
lalu menjawab, ‘Saya belum tahu. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui’.”
Penuturan Zadzan Abi Maisarah
ini menegaskan kepada kita tentang keutamaan bersikap jujur ketika kita tidak
tahu. Memilih berkata “saya tidak tahu” jauh lebih baik daripada memaksakan
diri untuk mencari-cari jawaban yang ia tidak menguasai ilmunya, semata karena
takut harga dirinya jatuh di hadapan orang lain. Padahal, keberanian untuk
berkata “saya tidak tahu” justru menunjukkan bahwa ia telah mengenal
batas-batas kemampuannya. Ia tidak berbicara kecuali dalam batas yang mampu ia
sampaikan dengan ilmu.
Para pembicara publik, ustadz,
atau yang mengustadzkan diri, sering terjebak pada kecerobohan. Mereka memaksakan
diri untuk menjawab apa yang mereka sama sekali tidak mempunyai ilmunya, belum
memahami masalahnya, dan tidak mengerti kedudukan masalahnya. Salah satu
sebabnya adalah ketakutan dianggap bodoh atau khawatir kredibilitasnya jatuh.
Padahal, kredibilitasnya justru akan terjaga apabila ia tidak memaksakan diri
menjawab pertanyaan yang ia tidak memiliki sedikit pun pengetahuan.
Ibnu Ajlan berkata, “Ulama
yang melalaikan ucapan ‘saya tidak tahu’ berarti telah menusuk tubuhnya yang
rawan kematian.”
Nasihat ini menunjukkan kepada
kita bahwa memaksakan diri untuk membahas persoalan yang kita tidak mengetahui
ilmunya, justru membuat kita terjatuh pada keburukan yang beruntun.
Pertama, orang yang tahu akan menertawakan kita sehingga
kredibilitas kita akan lenyap sama sekali, sementara orang yang tidak tahu akan
tersesat oleh ucapan kita.
Kedua, kemuliaan kita hilang disebabkan ketidakhati-hatian kita dalam
membahas masalah, memberi nasihat, menjawab pertanyaan, dan lebih-lebih kalau
berani memberi fatwa, sementara kita belum memiliki kelayakan sama sekali untuk
memberi fatwa.
Ketiga, kita kehilangan rasa aman saat berbicara sehingga
menimbulkan sikap keras kepada yang mempertanyakan, memperumit jawaban bagi
yang bertanya, dan kehilangan harga diri saat berhadapan dengan orang yang kita
anggap lebih hebat. Kita tunduk bukan karena tawadhu’, tetapi karena keder
dan takut kalau borok kita ketahuan. Padahal, berbicara dengan orang alim
sebenarnya merupakan kesempatan untuk memperoleh ilmu yang lebih luas.
Keempat, kita mudah terjebak untuk sibuk menarik perhatian sehingga
lupa dengan apa yang harus kita sampaikan. Kita sibuk pada teknik berbicara,
dan lupa akan penguasaan ilmu. Padahal, teknik berbicara hanyalah sarana, bukan
tujuan. Sebab kunci keberhasilan dalam menyampaikan nasihat adalah penguasaan
ilmu.
[dari buku Mencari Ketenangan dalam Kesibukan]
Post a Comment