curhatibu.com

Perlukah Hukum Pidana Bagi Pelaku Kumpul Kebo?



Malam ini saya menyimak sebuah diskusi menarik di salah satu stasiun televisi. Saya kurang tahu apa judul pastinya. Yang jelas, mereka sedang membahas sebuah produk (atau calon produk) undang-undang terkait “kumpul Kebo”. Dalam diskusi, yang bisa dikatakan sebagai debat itu ada empat orang tokoh; 2 orang dari DPR, 1 orang pakar hukum, dan juga 1 orang aktivis perempuan.

Kurang lebih, pembahasan di dalamnya  bahwa ada hukum yang melarang adanya kumpul kebo. Kumpul kebo sendiri, dalam definisi di dalamnya adalah tinggal bersama laki-laki dan perempuan, dan melakukan hubungan suami istri; tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah (menurut agama masing-masing). Di dalamnya juga diatur ancaman hukuman bagi pelaku.

Ada dua pendapat di dalam diskusi tersebut; mendukung Undang-Undang itu, atau menolaknya. Kubu yang mendukung; dalam hal ini (menurut pengamatan saya) di’peran’kan oleh pakar hukum, dan 1 orang fraksi partai keadilan sejahtera DPR; keduanya laki-laki. Sedang pihak yang menolak adalah kubu dari DPR juga, dari fraksi PDIP; serta aktivis perempuan; keduanya adalah wanita.

Menarik. Pendapat para Bapak; kumpul kebo harus dihukumi dengan pidana. Mengapa? Karena hal ini jelas merupakan perzinaan, yang dilarang oleh semua agama. Selain itu, adanya kumpul kebo itu sangat meresahkan masyarakat. Sadar atau tidak sadar, demikianlah fakta yang terjadi di masyarakat kita; yang berbudaya. Kumpul kebo tidak masuk dalam budaya kita. Budaya kita itu ya, menikah. Dan selama ini, masyarakat  memang tidak nyaman jika ada warganya yang melakukan hubungan suami istri di luar ikatan pernikahan. Hal ini bahkan menjadi aib keluarga tersebut. Maka, wajar sekali jika ini sepatutnya masuk ke dalam ranah hukum pidana. Tak perlu ada aduan dari korban; toh syarat hukum pidana adalah adanya tindakan melawan hukum.

Nah, kalau pendapat para Ibu; sebaliknya. Mereka merasa, tidak perlulah sampai hal seperti ini masuk ke ranah pidana. Cukuplah orang-orang yang dirugikan yang melapor jika ada kumpul kebo. Misalnya, si wanita merasa dikhianati oleh pasangan kumpul kebonya; maka ia melapor, dan barulah ditindak. Atau kita sebagai keluarga atau tetangga merasa tidak nyaman, dilaporkan. Jika tidak ada laporan, ya tidak perlu ditindak. Dan masalahnya, saat ini, untuk mengurus pencatatan saja susah. Bahkan KTP-pun banyak yang tidak punya karena sulitnya prosedur. Maka jika undang-undang ini jadi; bakal ada banyak orang yang tertangkap. Apalagi orang-orang yang tidak mampu mengurus KTP. Dan lagi, banyak orang-orang yang di bawah jembatan, atau di pelosok, mereka tinggal bersama, dan mereka juga tidak melakukan apa-apa, itu fine-fine aja tuh. Jika peraturan ini disahkan, bukankah mereka itu yang akan menjadi korban penangkapan.

Hehe… mendengar sekilas penjelasan di atas; sepertinya biasa-biasa saja. Tapi; tetiba saya merasa ada yang aneh. Ada pernyataan menarik dari sang pakar hukum, yang kira-kira menyampaikan jika beliau tinggal serumah bersama seorang wanita, tidak dalam ikatan pernikahan, tapi koq tidak melakukan hubungan suami istri, koq ya rugi. Begitu. Sudut pandang sang pakar; oke masuk akal juga. Tentunya, ini di luar konteks agama.

Tapi mendengar betapa kekeuh-nya pendapat para Ibu dalam menolak undang-undang ini; saya koq jadi merasa, “Ini ibu-ibu kan kepentingannya sedang diperjuangkan melalui undang-undang, koq ya malah ditolak ya?”

Bagaimana tidak; kita tahu yang namanya wanita itu, kalau dia melakukan hubungan suami istri, lalu ternyata hamil, kelihatan bukan? Sangat kelihatan. Itu adalah sebuah kabar gembira, bagi si wanita maupun sanak kerabat dan pastinya warga sekitar. Tetapi, kalau yang terjadi adalah hamil di luar ikatan pernikahan? Bukankah yang terjadi adalah malu luar biasa, mau ditaruh di mana muka ini?

Jelas! Wanita yang akan langsung menanggung malu atas perbuatan yang jelas-jelas oleh budaya kita-pun tertolak; apalagi agama. Dan siapa yang paling repot menanggung segala urusan? Wanita. Jadi kalau tiba-tiba si laki-laki tidak mengakui anak dalam kandungan wanita yang telah dihamilinya, siapa yang bisa dijadikan tersangka dalam hukum? Siapa lagi yang akan menanggung nasib wanita dan anak dalam kandungan, jika yang menghamili dipidana? Wanita sendiri juga.

Itulah mengapa saya bilang aneh. Hehe… Bukankah jelas-jelas peraturan ini ingin memuliakan kedudukan wanita. Jangan sampai ada wanita yang hamil, sedang si lelaki tak mau mengakuinya. Dan seterusnya. Sedangkan kita tidak bisa menjamin, laki-laki perempuan yang tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan sangat tipis kemungkinan tidak tergoda melakukan hubungan suami istri; apalagi tidak ada ikatan yang mewajibkan secara hukum untuk si lelaki bertanggung jawab jika nanti si wanita hamil. Sudah banyak kisah pilu tentang akibat-akibat yang terjadi atas perzinaan ini. Dan semestinya, seorang aktivis perempuan yang menjadi garda terdepan memperjuangkan hak wanita ini.

Kalau laki-laki, karena memang tidak bisa dibuktikan, bisa saja dia kabur menghilang tanpa jejak. Tak bertanggung jawab. Hmm lalu ada pertanyaan lagi; bukankah bisa tes DNA, bukankah bisa disidik kepolisian, dicari ke mana, dan seterusnya. Hehe… tidak semudah berbicara. Dan bukankah lebih baik kita ambil langkah preventif? Ya, mungkin agak susah di awal dalam menyusun dan melengkapi ini itu; tapi kan ke depannya akan baik. Status jelas; di masyarakat aman. Bisa membangun keluarga dengan bahagia, tentram dan damai.

Ternyata oh ternyata; di luar risiko sebagaimana dijelaskan beberapa paragraf sebelumnya, sepertinya ada persepsi yang berbeda, sehingga ada penolakan dan mendukung. Persepsi; antara pihak yang mendukung, dan yang menolak. Yaitu terkait definisi kumpul kebo. Pihak yang menolak memiliki pemahaman bahwa orang yang tinggal bersama itu merupakan kumpul kebo. Sedangkan yang mendukung, pemahamannya bahwa pelaku adalah laki-laki perempuan yang tinggal bersama dan melakukan hubungan suami istri. Jadi, tidak sekedar tinggal bersama; tapi juga melakukan hubungan selayaknya suami istri. Kedua; yang menjadi perbedaan persepsi terkait definisi pernikahan yang sah. Pihak yang menolak  memahami pernikahan yang sah ini adalah yang telah dicatat oleh negara. Maka, mereka mempermasalahkan terkait sulitnya mendapat KTP sebagai syarat pencatatan di KUA. Sedangkan, menurut pihak yang mendukung, memahami bahwa pernikahan yang sah adalah  pernikahan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada agamanya masing-masing. Sepanjang ia sesuai, maka pernikahan itu sah. Dan hukum mereka tinggal bersama adalah boleh, bukan termasuk kumpul kebo. 

Semoga Allah memberikan kita petunjuk untuk memahami setiap apa yang terjadi; serta mengambil hikmah dari yang tersurat atau tersirat. 

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)