Kita ingat kisah petualangan Nabi
Khidir dan Nabi Musa. Di antara penggalan kisah tersebut adalah apa yang Allah
sebutkan dalam surat Al Kahfi. Yaitu ketika mereka berdua masuk ke suatu
kampung. Rupanya, penduduk kampung tersebut pelit/bakhil; yaitu sama sekali tidak
menjamu Nabi Khidir dan Nabi Musa. Saat mereka akan meninggalkan kampung
tersebut, Nabi Khidir melihat ada sebuah rumah yang hamper ambruk. Kemudian
Nabi Khidir memiliki inisiatif membetulkan tembok rumah tersebut dengan
sukarela sebagai wujud perhatian sosial Nabi Khidir. Nah, saat melihat hal
tersebut, Nabi Musa heran lalu bertanya, “Wahai Khidir, kenapa Anda memperbaiki
rumah tersebut, padahal mereka tidak menjamu kita sama sekali?”. Nabi Musa
bertanya-tanya, padahal sebelumnya sudah diwanti-wanti Nabi Khidir untuk tidak
banyak bertanya.
Lalu Nabi Khidir bercerita bahwa
beliau mendapat wahyu dari Allah, rumah tersebut adalah milik 2 anak yatim,
yang di bawah tembok rumah tersebut tersimpan harta milik orang tua mereka
berdua. Yang seandainya rumah tersebut roboh, terlihatlah harta simpanan
tersebut. Orang tua mereka sengaja menyimpan di sana dengan maksud supaya
anaknya bisa mengambil manfaat dari harta tersebut. Allah menjaga harta orang tua
tersebut, yang ternyata adalah orang tua yang sholeh/sholehah. Berarti, Allah
juga akan menjaga keturunan-keturunan kita lantaran kesholehan kita, meskipun
sudah meninggal dunia. Dampak positif kesholehan orang tua masih dirasakan oleh
keturunan-keturunannya, saat telah meninggal, apalagi saat masih hidup.
Setiap kita, orang tua, pasti
menginginkan dikaruniai anak-anak yang sholeh/sholehah; bahkan orang tua yang
berprofesi sebagai perampok pun tidak akan pernah ingin anaknya mewarisi
pekerjaannya itu. Setiap orang tua pasti sama cita-cita memiliki anak
sholeh/ah; tapi sayangnya kebanyakan dari kita lupa dengan modal utama meraih
hal itu. Apa modal utamanya? Kesholehan Orang Tua
Kesholehan orang tua memiliki
andil yang besar untuk menjadikan anak-anaknya sholeh/ah. Mengapa?
Karena pertama kali yang dilihat oleh sang anak adalah ibu dan ayahnya. Jika
anak melihat anak rajin mengaji, rajin shalat, rajin belajar; pastilah yang
terekam di hati sang anak adalah kebaikan. Hal ini berbeda kasusnya jika yang
dilihat adalah ayah sedang bermain judi, ibu nonton infotainment, kakak main
game; pasti demikian pula yang terekam.
Itulah mengapa, Rasul bersabda, “Setiap
bayi lahir dalam keadaan suci, orang tuanya yang menjadikannya yahudi, nasrani,
atau majusi”. Orang tualah yang mengubah anak. Jika kita menjadi orang tua yang
sholeh dan sholehah, insyaAllah anak-anak kita pun akan menjadi sholeh/ah. Buah
yang jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.
Contoh Penerapan Kesholehan Orang Tua Supaya Berdampak kepada Sang
Anak:
Ingin anak sholat 5 waktu, maka
orang tuanya harus mencontohkan terlebih dahulu. Menyuruh anak ke masjid, ayah
juga sholat di masjid; ibu sholat di rumah.
Ingin anak rajin membaca Al
Quran, maka orang tua harus siap menyediakan media/kondisi rumah yang mendukung
hal tersebut. Kita harus meramaikan rumah kita dengan ayat-ayat suci Al Qur’an.
Orang tua harus mencontohkan ngaji. Suara yang ada di rumah adalah lantunan
ayat suci Al Quran. Ada orang tua yang punya cita-cita mulia tersebut, tapi
sehari-harinya malah diisi dengan membaca Koran, mendengarkan senandung2
sia-sia, dan sebagainya.
Ingin anak kita jujur, maka kita
harus jujur. Jangan berbohong sekecil apapun. Tidak sedikit orang tua yang
justru sering berbohong kepada anaknya karena menghindari keinginan anak.
Misalnya anak minta uang karena ada penjual es lewat; lalu si ibu bilang, “Tidak
ada uangnya!”. Baru saja mengatakan hal itu, ada tamu datang, rupanya tukang
kredit nagih hutang, “Iya pak, sebentar saya ambilkan uangnya dulu!”. Nah, anak
akan melihat hal ini. Tadi kan katanya tidak punya uang, tapi ternyata bisa
membayar tukang kredit. Anak akan tau bahwa orang tua telah berbohong pada si
anak. Ini yang akan ditiru. Makanya, kita semestinya bisa menjelaskan kepada
anak,”Ibu memang punya uang, tapi ini mau dipakai untuk membayar hutang. Kalau
dipakai untuk membeli jajan, ibu tidak bisa membayar hutang”. Banyak kita yang
meragukan, apakah anak paham penjelasan kita? Itulah kesalahan sebagian orang;
tidak mencoba memahamkan karena merasa anak tidak bisa paham. Padahal anak itu
akan paham jika kita berikan penjelasan-penjelasan.
Renungan penutup : Tidak ada
salahnya kita memutar ingatan kita beberapa puluh tahun lalu saat sarana
informasi masih sangat terbatas; listrik belum terlalu masuk, televisi hanya 1
se-RT, dsb. Nah, saat dulu itu masih sangat banyak ibu yang mengajari anak
mengaji membaca Al Qur’an. Ayah masih rajin mendongengi anak sebelum tidur.
Sekarang? Bisa jadi lebih banyak yang sibuk nonton sinetron, facebook-an,
nonton bola, dan lain-lain ketimbang mengajari anak sendiri mengaji. Maka, mari
kita mulai dari keluarga kita; memperbaiki diri menjadi sholeh/ah, lalu
mendidik anak menjadi sholeh/ah.
Sumber : di sini
Post a Comment