curhatibu.com

Kesholihan Orang Tua, Modal Utama (Silsilah Fiqih Pendidikan Anak, Bab 5)


Kita ingat kisah petualangan Nabi Khidir dan Nabi Musa. Di antara penggalan kisah tersebut adalah apa yang Allah sebutkan dalam surat Al Kahfi. Yaitu ketika mereka berdua masuk ke suatu kampung. Rupanya, penduduk kampung tersebut pelit/bakhil; yaitu sama sekali tidak menjamu Nabi Khidir dan Nabi Musa. Saat mereka akan meninggalkan kampung tersebut, Nabi Khidir melihat ada sebuah rumah yang hamper ambruk. Kemudian Nabi Khidir memiliki inisiatif membetulkan tembok rumah tersebut dengan sukarela sebagai wujud perhatian sosial Nabi Khidir. Nah, saat melihat hal tersebut, Nabi Musa heran lalu bertanya, “Wahai Khidir, kenapa Anda memperbaiki rumah tersebut, padahal mereka tidak menjamu kita sama sekali?”. Nabi Musa bertanya-tanya, padahal sebelumnya sudah diwanti-wanti Nabi Khidir untuk tidak banyak bertanya.

Lalu Nabi Khidir bercerita bahwa beliau mendapat wahyu dari Allah, rumah tersebut adalah milik 2 anak yatim, yang di bawah tembok rumah tersebut tersimpan harta milik orang tua mereka berdua. Yang seandainya rumah tersebut roboh, terlihatlah harta simpanan tersebut. Orang tua mereka sengaja menyimpan di sana dengan maksud supaya anaknya bisa mengambil manfaat dari harta tersebut. Allah menjaga harta orang tua tersebut, yang ternyata adalah orang tua yang sholeh/sholehah. Berarti, Allah juga akan menjaga keturunan-keturunan kita lantaran kesholehan kita, meskipun sudah meninggal dunia. Dampak positif kesholehan orang tua masih dirasakan oleh keturunan-keturunannya, saat telah meninggal, apalagi saat masih hidup.

Setiap kita, orang tua, pasti menginginkan dikaruniai anak-anak yang sholeh/sholehah; bahkan orang tua yang berprofesi sebagai perampok pun tidak akan pernah ingin anaknya mewarisi pekerjaannya itu. Setiap orang tua pasti sama cita-cita memiliki anak sholeh/ah; tapi sayangnya kebanyakan dari kita lupa dengan modal utama meraih hal itu. Apa modal utamanya? Kesholehan Orang Tua

Kesholehan orang tua memiliki andil yang besar untuk menjadikan anak-anaknya sholeh/ah. Mengapa? Karena pertama kali yang dilihat oleh sang anak adalah ibu dan ayahnya. Jika anak melihat anak rajin mengaji, rajin shalat, rajin belajar; pastilah yang terekam di hati sang anak adalah kebaikan. Hal ini berbeda kasusnya jika yang dilihat adalah ayah sedang bermain judi, ibu nonton infotainment, kakak main game; pasti demikian pula yang terekam.
Itulah mengapa, Rasul bersabda, “Setiap bayi lahir dalam keadaan suci, orang tuanya yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi”. Orang tualah yang mengubah anak. Jika kita menjadi orang tua yang sholeh dan sholehah, insyaAllah anak-anak kita pun akan menjadi sholeh/ah. Buah yang jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.

Contoh Penerapan Kesholehan Orang Tua Supaya Berdampak kepada Sang Anak:
Ingin anak sholat 5 waktu, maka orang tuanya harus mencontohkan terlebih dahulu. Menyuruh anak ke masjid, ayah juga sholat di masjid; ibu sholat di rumah.

Ingin anak rajin membaca Al Quran, maka orang tua harus siap menyediakan media/kondisi rumah yang mendukung hal tersebut. Kita harus meramaikan rumah kita dengan ayat-ayat suci Al Qur’an. Orang tua harus mencontohkan ngaji. Suara yang ada di rumah adalah lantunan ayat suci Al Quran. Ada orang tua yang punya cita-cita mulia tersebut, tapi sehari-harinya malah diisi dengan membaca Koran, mendengarkan senandung2 sia-sia, dan sebagainya.

Ingin anak kita jujur, maka kita harus jujur. Jangan berbohong sekecil apapun. Tidak sedikit orang tua yang justru sering berbohong kepada anaknya karena menghindari keinginan anak. Misalnya anak minta uang karena ada penjual es lewat; lalu si ibu bilang, “Tidak ada uangnya!”. Baru saja mengatakan hal itu, ada tamu datang, rupanya tukang kredit nagih hutang, “Iya pak, sebentar saya ambilkan uangnya dulu!”. Nah, anak akan melihat hal ini. Tadi kan katanya tidak punya uang, tapi ternyata bisa membayar tukang kredit. Anak akan tau bahwa orang tua telah berbohong pada si anak. Ini yang akan ditiru. Makanya, kita semestinya bisa menjelaskan kepada anak,”Ibu memang punya uang, tapi ini mau dipakai untuk membayar hutang. Kalau dipakai untuk membeli jajan, ibu tidak bisa membayar hutang”. Banyak kita yang meragukan, apakah anak paham penjelasan kita? Itulah kesalahan sebagian orang; tidak mencoba memahamkan karena merasa anak tidak bisa paham. Padahal anak itu akan paham jika kita berikan penjelasan-penjelasan.

Renungan penutup : Tidak ada salahnya kita memutar ingatan kita beberapa puluh tahun lalu saat sarana informasi masih sangat terbatas; listrik belum terlalu masuk, televisi hanya 1 se-RT, dsb. Nah, saat dulu itu masih sangat banyak ibu yang mengajari anak mengaji membaca Al Qur’an. Ayah masih rajin mendongengi anak sebelum tidur. Sekarang? Bisa jadi lebih banyak yang sibuk nonton sinetron, facebook-an, nonton bola, dan lain-lain ketimbang mengajari anak sendiri mengaji. Maka, mari kita mulai dari keluarga kita; memperbaiki diri menjadi sholeh/ah, lalu mendidik anak menjadi sholeh/ah.


Sumber : di sini

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)