curhatibu.com

Norma-Norma Saat Mengkritik Kesalahan Saudara Kita

Dalam sebuah risalah berjudul "Risalah untuk Generasi Muda" karangan Syaikh Ibrahim bin 'Amir Ar Ruhaili, ada 6 norma yang harus diperhatikan tatkala mengingkari orang yang melakukan kesalahan/ahlul bid'ah, dan mengingkari kesalahan tersebut :

Pertama, pengingkaran tersebut harus dilakukan dengan ikhlas, dan niat tulus semata membela kebenaran, bukan untuk kepentingan pribadi. di antara konsekuensi ikhlas dalam masalah ini adalah kita mengharapkan orang yang terjatuh dalam kesalahan mendapatkan hidayah dan kembali kepada al-haq; bukan malah bertepuk tangan kala melihat orang tersebut makin jauh dari kebenaran. Maka, di antara bentuk ikhlas itu adalah diiringi dengan doa, supaya orang tersebut mendapat hidayah. Jika kita tanya kepada diri kita masing-masing, tatkala menasehati saudara kita yang terjerumus ke dalam kesalahan; apakah sempat kita mendoakan saudara kita tersebut dalam sepertiga malam terakhir kita? Nabi Saw dahulu mendoakan orang kafir agar mendapat hidayah; tentunya orang muslim lebih berhak juga untuk mendapat doa.

Kedua, bantahan tersebut hendaknya dilakukan oleh orang alim; yaitu orang yang telah mumpuni ilmunya. Ia mengetahui secara detail segala sudut pandang dalam materi tersebut; entah terkait dalil, perkataan ulama, atau kesalahan dari orang tersebut, dan tau cara membantahnya. Di antara kriterianya juga adalah mempunyai kemampuan mengungkapkan dalil-dalil yang kuat saat menyampaikan kebenaran, supaya yang dibantah itu puas. Ungkapannya harus cermat; supaya pemahamannya tidak berbeda dengan yang dimaksud. Kata Syaikh, jika orang yang membantah tidak mempunyai kriteria tersebut, yang timbul hanyalah kerusakan.

Ketiga. Orang yang membantah harus memperhatikan 3 macam perbedaan : tingkat kesalahan, kedudukan orang yang bersalah, dan motivasi melakukan kesalahan. Beda membantah orang yang terjerumus ke dalam persoalan aqidah, atau sekedar ijtihadiyah. Beda cara menerangkan pemerintah dan rakyat karena kedudukan sosial beda. BEda juga jika beda motivasinya saat melanggar : tidak tau atau karena hawa nafsu. Bisa jadi juga karena dia salah ucap saja, atau terpengaruh. Barangsiapa yang tidak memperdulikan perbedaan yang telah disebutkan tadi, niscaya dia akan terjerumus ke dalam salah satu dari 2 penyimpangan : sikap ghulluw (berlebihan) atau sikap kelalaian. Yang keduanya akan mengakibatkan perkataannya tidak bermanfaat atau sedikit manfaatnya.

Keempat, hendaknya berusaha mewujudkan maslahat dari bantahan tersebut. Jika bantahan tersebut justru mengakibatkan kerusakan yang lebih besar daripada kerusakan kesalahan yang akan dibantah, maka tidak disyariatkan membantah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan kaidah : tidak boleh menghindari kerusakan yang kecil dengan melakukan kerusakan yang lebih besar. Islam datang untuk merealisasikan kebaikan dan menghilangkan mafsadah. Jika ada 2 kebaikan yang sama-sama baik dan tidak bisa dipadukan, dipilih kebaikan yang lebih besar. JIka ada 2 kerusakan yang sama; dahulukan kerusakan yang lebih besar. 

Kelima, hendaknya bantahan tersebut disesuaikan dengan tingkat tersebarnya kesalahan tersebut. Contoh : jika satu kesalahan hanya muncul di suatu daerah/sekelompok masyarakat saja, tidak layak bantahannya disebarkan ke daerah lain atau ke kelompok lain yang tidak tau dengan kesalahan tersebut; dalam bentuk apapun. mengapa? karena menyebarluaskan bantahan itu secara tidak langsung menyebarkan kesalahan tersebut. Bisa jadi, ada orang yang tatkala mendengar kesalahan tersebut, syubhat masih melekat dan tidak merasa puas dengan bantahan yang disebutkan. Menghindarkan masyarakan dari mendengarkan kebatilan lebih baik daripada memperdengarkan kesalahan dan bantahan atas hal tersebut. 

Keenam, hendaknya diketahui bahwasanya membantah pelaku suatu kesalahan hukumnya fardhu kifayah. Seandainya ada seorang ulama yang sudah melakukan bantahan tersebut, maka tanggung jawab ulama yang lain sudah gugur. Di antara kesalahan yang kerap terjadi tatkala ada seorang ulama yang membantah/mengeluarkan tahdzir (fatwa untuk memperingatkan seseorang), banyak para penuntut ilmu yang menisbahkan diri pada sunnah menuntut ulama dan penuntut ilmu lain agar menyatakan sikap terhadap ulama yang dibantah, perkara yang dibantah. Sampai-sampai ada yang meminta kalangan pemula dari penuntut ilmu atau para pemula untuk bersikap juga.Sebagian bahkan ada yang menjadikan hal itu sebagai dasar al wala dan bara. Yang akhirnya terjadi adalah saling meng-hajr atas permasalahan tersebut. Terkadang, seorang penuntut ilmu meng-hajr syeikhnya hanya karena permasalahan ini. Ada anak yang bersikap tidak sopan, atau istri dicerai, karena permasalahan ini. Dan bila kita melihat fenomena yang menimpa umat ini, niscaya mereka akan terpecah, yang setiap kelompok melempar tuduhan kepada yang lain, yang saling meng-hajr. Fenomena ini bersumber dari kebodohan yang akut pada manhaj ahlul sunnah dan kaedah mengingkari dari suatu kemungkaran; atau bersumber dari hawa nafsu. 

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)