curhatibu.com

Ini Tulisan Abi Super!




Dedek : Ini Tulisan Abi Super :')




-------------------------------------------------

Judul: COACHING IN BIRTHING

Pembicaraan ini bukan antara Cristiano Ronaldo dengan Carlo Ancelotti, bukan antara Lionel Messi dengan Tito Vilanova, walaupun sebetulnya mereka terlibat dalam aktivitas ‘coaching’ antara pelatih dengan pemainnya. Pembicaraan ini bukan pula yang direkam di dalam black-box pesawat, antara pilot dengan co-pilotnya, walaupun sebetulnya mereka terlibat dalam upaya penyelamatan besar. 
 
Pembicaraan ini bahkan lebih besar dari contoh-contoh tadi. Levelnya bukan seperti kelihatannya –mikro-, melainkan makro. Karena di dalamnya terlibat hubungan horizontal-vertikal. Hubungan mitsaqan ghalizha dua insan plus satu calon-insan, juga hubungan hamba dengan Tuhannya. Hubungan duniawi, juga hubungan ukhrawi. Inilah dia secuplik coaching, yang semoga bermanfaat. Diunggah bukan untuk dijadikan ajang keangkuhan, dibumbui bukan untuk dijadikan ajang kedustaan. Menggunakan sudut pandang orang ketiga, hm... Yang penting; menginspirasi.

***

“Lihat mata Abi! Lihat”, Coaching dimulai di kamar bersalin yang tampak angker. “Sakit mas, Ouuuhhh oohhh!” Umi mengangkat-angkat kaki kesakitan. 

“Jangan diejanin dulu ya Bu”, sesosok bidan memberi wejangan. “Pembukaannya belum lengkap. Ikuti saja prosesnya secara alami. Yang penting jangan diejanin dulu.”

“Lihat mata Abi”, Dua pasang mata pun tajam bersorotan. “Visualisasikan dalam pikiranmu, sayang! Gemerincing pahala sedang turun menyambut tubuh lunglaimu. Pundi-pundi itu sedang mencari siapa yang layak mendapatkannya. Inilah keistimewaan perempuan yang takkan pernah direngkuhi para lelaki. Pahala akan rasa sakit kelahiran normal. Normal sayang, normal. Sabarlah sayang! Sebentar lagi kau akan berada dalam kemuliaan yang hanya dimiliki wanita-wanita pilihan. Kuatkanlah, sayang! Kuatkan!”

Bukan supaya uang tak terbuang, mereka ingin kelahiran normal. Bukan pula agar sang bayi beroleh bakteri-baik di liang muara keluar, Lebih karena pahala besar akan kesakitan. Dan bila dua insan sudah paham akan motivasi ukhrawi yang tak tergantikan ini, maka kunci mati motivasi itu, segala aral rintangan takkan pernah mampu menghentikan. Coaching tahap kedua siap dilesakkan…

“Mas, sakit mas!” Jambakan tangan melingkar mendekatkan dua insan. “Iya, terus kuatkan niat sayang, kuatkan jambakan! Tak masalah akan segala hal yang bisa kau lampiaskan. Asal engkau penuhi takdir Allah demi merengkuh kemuliaan tak tergantikan! Kuatkan sayang, kuatkan!”

“Ingat, sayang!” Pembicaraan itu membisik, mengalihkan lagi memfokuskan, mempraktekkan ilmu coaching skill. “Ingat bahwa ada dua wanita yang bisa menemui takdir normal kelahirannya. Pertama; ia berani. Berani menghantam rasa sakit yang bertaburan. Kedua; ia beruntung. Karena masih banyak wanita yang belum dipilih Allah untuk melalui proses mulia ini. Kuatkan sayang! Kuatkan!”

“Ouhhh… Ohhhh…”, Tiap lima menit jambakan itu menguat nyaris merontokkan. Abi pun lebih dalam memvisualisasikan, “Lihat mata Abi lagi sayang! Telah kita arungi berdua selama si dedek dalam kandungan. Kau masih ingat saat kita jalan-jalan ke pantai, ke Taman Mini, ke tempat wisata? Seperti itulah wejangan Imam Syafi’I”, ujar Abi masih meng-coach Umi. “Pergilah dari kampung halaman dan temui apapun gantinya. Semangat-kuat jalan-jalan Umi yang akan mendorong semangat merantau si dedek nantinya, mencari ilmu, meretas hikmah, menjemput takdir, memeluk berkah dan ridho-Nya. Itulah semangat kita, Umi! Kita bertiga!

“Uooohhh… Auh….”, Umi berakrobat lagi. Abi melanjutkan coach, “Ingat ketika kita ikut kajian di masjid sana-sini? Kita ingin lantunan Quran melesak secara langsung dari shalihin -sang ustad- yang tartil bacaannya menentramkan hati, kita juga ingin terciprat keshalihan para shalihin-shalihat penghadir kajian yang antusias. Kita pun ingin Allah liputi dedek dalam ketenangan, rahmat, malaikat turun menebar kebaikan, dan penyebutan Allah dalam popularitas dirinya di kalangan malaikat.”

“Uooohhh… Auh….”, Umi bermanuver lagi. Abi melesakkan coach, “Ingat ketika kita bersilaturrahim sana-sini? Kita ingin pengalaman shalihin-shalihat membendaharai pikiran, kita berusaha belajar dari mereka, mempraktikkan hikmah yang terukir menawan. Melambaikan doa para tuan rumah, membuka pintu rizki dan kemudahan urusan, menguatkan cinta kasih sesama pejuang, menginternalisasi nasehat, karena agama itu sendiri adalah nasehat.”

“Uooohhh… Auh….”, Umi makin jungkir balik, bertutur, “Mas, bacain Ath Thariq mas!” Abi pun melantunkan surat Quran yang diminta, hingga beberapa ayatnya membekas di hati, “Tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya. Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan (4-7)”, Bahkan ayat kesepuluhnya menyadarkan kita, “Maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatanpun dan tidak (pula) seorang penolong.” Abi dan Umi pun sadar.

Level berikutnya lebih mengibadahi, lebih menyatakan lemahnya diri. Sadar akan kehendak yang hanya Allah saja penguasanya. Maka, dihamparkanlah proporsi ibadah sekaliber dzikir dan doa. Dimulai dengan, “Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad! Umi, ini Jumat berkah, disunahkan bershalawat kepada Nabi.” Maka, Umi pun melantun shalawat di sela-sela rasa sakitnya.

“Hasbunallah wa ni’mal wakiil. Ni’mal maulaa wa ni’mannashiir! Lantunkan, sayang! Cukuplah Allah tempat berserah diri bagi kami, sebaik-baik pelindung kami, sebaik-baik penolong kami!”

Akhirnya pembukaan lahiran pun lengkap. Setelah melampaui rasa sakit yang tak terperi, kini Umi memasuki level sakit selanjutnya. Yakni proses bayi melampaui jalan lahir, hingga dikatakan ‘lahir’. Abi pun memompa semangat Umi, “Lihat mata Abi. Lihat!” Bidan pun memberi arahan, “Oke, sekarang buka kakinya, kalau nanti kontraksi, tarik bagian bawah kaki menggunakan tangan. Kalau jeda antar-kontraksi, rileks saja! Simpan energi saja! Oke?”

Maka, di jeda antar kontraksi itulah coaching berlangsung taktis, strategis, dan urgensif. Abi mengucap cepat lesakan motivasinya, “Dengar sayang! Dengar! Gemerincing pahala itu sudah siap mengucur deras. Dengarkan! Apakah engkau berniat membiarkannya jatuh ke tangan wanita lain? Maka, rengkuhlah dengan perjuangan kita bertiga. Abi takkan meninggalkan Umi. Abi akan tetap disini! Merasakan perjuangan bersama Umi dan dedek pintar nan shalihah yang juga berjuang untuk keluar!”

“Sakit maaas!”, Umi kembali mengadu. Abi lesakkan lagi, “Laa haulaa wa laa quwwata illaa billaah! Tiada daya dan kekuatan kecuali berasal dari Allah!” Klimaks hampir tercapai. Namun, ternyata dokter belum cukup optimis, “Ibu mengejannya fokus! Jangan ke leher, jangan ke perut, tapi seperti berak itu lho! Kalau seperti tadi, tenaganya bisa sia-sia terbuang. Kepala yang mau keluar jadi masuk kembali!”

Abi mengangguk, menatap mantap Umi dengan untaian, “Lihat Abi, Mi! Pertama; niat karena Allah. Kedua; tarik nafas dalam, gemerutukkan gigi, kelola stamina. Lalu ketiga; fokuskan arah ejanan. Siap umi! Engkau shalihahku yang akan beroleh kemuliaan di jannah nanti, insyaAllah!”

“Aaaahhh… Ahhhh…”, Umi kembali mengaduh. Abi mendapat waktu berpikir. Ia disuruh mundur dari pembaringan istrinya yang akrobatik. Dua bidan mendorong perut agar memuntahkan sang bayi. Ternyata ada prosedur ejanan eksternal seperti ini. 

Dalam kebingungannya, Abi terus berdoa, bershalawat, melantunkan kalimat thayyibah. “Ahaa!” Tiba-tiba Abi teringat akan satu doa terkenal dari Nabi yang merasa lunglai di dalam perut ikan paus.
“Umi... sadari dosa! Sadari kesalahan! Minta ampunan! Kita hanyalah hamba yang papa! Ibnu Taimiyah bilang inilah doa terbaik, mengungkap ke-Maha-Suci-nya Allah, lantas menyadari akan hina dan kotornya diri; Laaaaa ilaaha illaaaaa anta Subhaanaka Innii kuntuu minadzaalimiin - Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Bagi Engkau, Sungguh kami termasuk orang-orang dzalim!”

Maka, dua insan itu pun kembali menyibak gempita perjuangan dengan permohonan ampunan akan kesalahan, diimbangi pula dengan shalawat, dzikir kelunglaian diri, hingga surat Ath Thariq tadi. Tapi, perjuangan belum juga membuah happy ending. Tampak pula beberapa jeda pembicaraan, tatkala tiga bidan dikerahkan. Ketiganya mendorong perut kuat-kuat ke arah lubang keluar bayi. Abi sampai menggeleng, “Ya Allah, apa-apaan ini?” 

Tak bisa dibantah lagi, tak bisa ditahan lagi. Bagaimana perasaan Anda semua ketika sosok yang kita cintai didorong-dorong bergulat dengan rasa sakit kuadrat? Tentu saja, air mata keluar - menetes, kebingungan meledak, ingus pun sampai membasahi hidung, diseka berkali-kali dengan lintingan lengan baju. Keterseduan tak boleh dilihat oleh ‘man of the match’ di ruangan bersalin kali ini -Umi-. Maka, ketika jeda kontraksi itu muncul, maka Abi kembali mendekati Umi. "Tak boleh terlihat sedih! Tak boleh!"

“Umi!”, Abi kembali mengulang-ulang level coach-nya. Dari memorial perjalanan, kesenangan, kedukaan, dzikir, shalawat, penyadaran akan dosa, hingga surat Al Quran. Coaching terus saja berlangsung. Hingga Abi beralih dengan realitas dan pengharapan. 

“Lihat Umi!” Abi sempat berteriak heboh. “Shalihat keluar! Ia mengintip! Ia akan segera keluar! Shalihat yang akan menjadi generasi mujahidah penerus agama ini! Shalihat yang akan mengekalkan cinta kita bertiga ke surganya Allah.” Sembari itu, wajah Umi terlihat kembang-kempis dan merah-padam.

Sesi pendorongan berlangsung lagi. Tiga bidan mendorong. Abi mundur dari posisi motivasinya. Ia pun melepaskan senjata pamungkas, “tawassul”. Dalam hati ia berujar mengangkat-angkat tangan, “Ya Allah, aku bertawassul atas semua shalat Dhuhaku sejak SMP sampai sekarang. Kiranya Engkau menganggapnya sebagai amal kebaikan yang ikhlas dan sesuai syariat Nabi, maka izinkan agar Engkau perkenankan; kelahiran normal yang Engkau berkahi dan ridhai.”

Tiba-tiba sebongkah bulatan menyembul berambut. Itu kepala sang bayi, bongkahan itu tak bisa kembali masuk. Dan dalam waktu sekejap, keluar bongkahan berikut tubuh bayi. Cairan merah dan bening bercampur jadi satu, tumpah ruah keluar membasahi kasur pembaringan. Semuanya lengkap mengakhiri perjuangan mereka bertiga. Selesaikah ini? Belum, bahkan mereka revisi, “Ini bukan akhir perjuangan. Ini justru awal perjuangan kami!”

Wanita itu lunglai di meja pembaringan. Keringat sudah berapa liter keluar? Tenaga sudah berapa ATP lepas? Alhamdulillah semuanya tergantikan dengan rasa puas. Abi dan Umi pun berpelukan melepas tangis. Perasaan campur aduk jadi satu; sedih, senang, puas, bangga, lega, dan syukur. 

“Mas, adzani mas!”, usul Umi dalam pelukan Abi. Maka Abi pun segera menghampiri makhluk kecil yang baru tiba ke dunia nan fana. Ia sedang disedot dengan alat penyedot cairan. Tentunya supaya paru-paru dapat segera berfungsi, supaya semua lubang sudah nihil dari cairan ketuban. Tanpa disuruh, tangis pun keluar menyedak-nyedak. Tapi, itu wajar.

Ia baru saja keluar dari “rahim” (ruangan penuh kasih-sayang Allah) menuju dunia (ruangan penuh permainan dan senda-gurau). Ianya menangis, akan tetapi disambut dengan kebahagian menggelegak dari para keluarga.  Aneh jika disandingkan dengan peralihan dunia menuju akhirat (ruangan kekal yang tak berujung). Boleh jadi pelakunya tersenyum, akan tetapi disambut dengan kesedihan meraung-raung dari para peninggalnya.

Apapun itu, adzan dan iqamat harus segera dilakukan. Begitu kedua telinga dilantun dengan berharu-biru, sang bayi hendak ditahnik, akan tetapi kurma di tangan tak tahu tingkat otentitasnya. Maka, Abi Umi pun sepakat untuk melompatinya, menuju tahap selanjutnya; IMD - inisiasi menyusui dini.

Di sinilah mereka bertiga bisa berkumpul untuk pertama kali. Umi di pembaringan, Abi di samping Umi, sang bayi di atas tubuh Umi. Abi pun melesakkan ending perjuangan, syarat akan kemenangan yang membuah indah. Ada di surat An Nashr ayat 3 “maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” Maka, tasbih  diuntai, istighfar pun dihayati dalam-dalam.

Belum selesai disini, karena dari isi rahim keluar, masih ada Ar-Rahman yang memberikan jalan hidayah. Maka, surat Ar Rahman pun menjadi penyejuk hati mereka bertiga, “Fa bi ayyi aalaaaaa’irabbikumaa tukadzdzibaan - Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” 

***tamat***

tak peduli ini kisah nyata atau tidak,
melanjutkan titah jin djarum 76, "yang penting hepi" dengan ungkapan, "yang penting menginspirasi!"

cerpen ini teruntuk putri pertamaku yang belum diberi nama,
yang masih kami panggil dengan doa, "Shalihah"
-lahir pkl 09.09, tgl 04-04-2014,
-berat 2,8 kg, panjang 48 cm,

-----------------------
Dedek : Umi, abi keren kan Umi! ^_^ 

Link :  Blog Abi

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)