curhatibu.com

Cinta dalam Proses Kehamilan dan Persalinan

Melahirkan di kampung orang bisa jadi menjadi satu pilihan yang sulit untuk pasangan yang baru akan memperoleh keturunan pertama mereka. Namun, tentunya, pilihan ini bisa jadi tidak kalah sulit jika dihadapkan dengan pilihan sebaliknya, melahirkan (menjalani proses persalinan) di kampung sendiri. Lagi-lagi ini tergantung dengan pertimbangan positif negatif yang pastinya tidak akan sama, antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. 

Sebagai pasangan baru; yang belum pernah sama sekali memiliki pengalaman melahirkan dan/atau menemani seseorang melahirkan, pastinya menjadi sesuatu yang 'seru'. Betapa tidak; ini bukanlah proses sederhana. Bukan proses yang singkat. Bukan proses yang mudah. Ada banyak hal yang harus dipikirkan dan dipersiapkan. Terutama jika kita benar-benar akan melahirkan 'sendiri'; dengan tanpa keluarga 'lain' yang menemani. 

Ya, dan inilah pilihan kami. Dengan segala risiko dan pertimbangan; kami memutuskan melakukan persalinan di sini; kota perjuangan kami - Tangerang Selatan. Dan sungguh, saya merasa sangat bersyukur dengan keputusan, yang kami ambil pada pekan-pekan terakhir kehamilan.

Ketika di awal kehamilan perbincangan tentang hal ini digulirkan, pilihan tempat menjalani persalinan adalah di Semarang, kota kelahiran Suami; yang berarti rumah mertua. Bukan tanpa alasan, atau sekedar ikut tren pulang untuk kelahiran anak pertama. Tapi, ini karena terkait akses yang lebih mudah jika dibandingkan dengan kota kelahiran saya, Blora. Apalagi fasilitas yang tersedia pastinya jauh lebih baik dibandingkan dengan fasilitas di Blora. Ya, karena anak pertama; kami berpikir akan menggunakan dokter dan perlengkapan kedokteran lain; sehingga harus mencari rumah sakit mumpuni yang menurut info sampai saat ini belum ada di Blora. Dan karena kelahiran pertama juga, yang terbayang adalah berbagai risiko yang mungkin terjadi, sehingga harus mencari lokasi yang mudah untuk mengantisipasinya. Selain itu, karena di Semarang juga ada keluarga suami, sebagian besar di Semarang; jadi kalau ada sesuatu banyak yang bisa dimintakan bantuan. 

Awalnya, kami mantap-mantap saja dengan keputusan itu; dan tidak lagi memperbincangkan lebih intens perihal ini. 

Namun, ya, atas izin Allah; Allah yang mengatur di mana kita dilahirkan, bukan? Berbolak-baliklah hati dan pikiran kami. Sempat membuat galau. :D

Bermunculanlah pertimbangan-pertimbangan lain. Jika harus lahiran di Semarang, berarti saya harus pulang maksimal 2 pekan sebelum HPL untuk check ke Rumah Sakit dan memastikan semua prosedur persalinan sesuai dengan yang kami inginkan (Pro Normal, IMD, Rooming in, PRo ASI, dll). Selain itu, kami harus mengalokasikan anggaran tambahan untuk suami pulang pergi Jakarta-Semarang setiap pekannya, sampai 3 bulan selesai cuti. Hal lain adalah bagaimana saya harus bisa dengan cepat menyesuaikan diri dengan kehidupan keluarga suami, yang selama ini belum terlalu lama tinggal bersama; termasuk keadaan di mana berjauhan dengan suami. Pertimbangan yang lain adalah belum ada penyimpanan ASIP di rumah semarang, serta nanti bagaimana ketika harus membawanya pulang ke jakarta; dan pastinya membawa bayi berusia kurang dari 3 bulan naik kereta sampai 10 jam dari Semarang ke Jakarta. Wew...

Pernah ada pilihan untuk lahiran di Blora; karena di sana rumah sendiri, jadi pastinya saya tidak lagi canggung dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Apalagi ada bapak dan mbak nita yang akan selalu siap mendampingi. Tapi, kembali, pertimbangan sebagaimana di Semarang juga menghantui. Apalagi akses ke Blora jauh lebih susah daripada Semarang. Maka jikalau nanti suami pulang pergi akan lebih menyulitkan dan lama.

Finally; setelah mempertimbangkan sana sini, dan meminta saran sana sini, kami memutuskan untuk menjalani persalinan di sini, kota perjuangan kami, Tangerang Selatan.

Dan.. kisah tak berhenti sampai di sini. Setelah keputusan ditetapkan, pastinya ada banyak konsekuensi yang harus siap diemban setelahnya. Apakah itu?

Mandiri. Ya. Benar-benar mandiri. Di sekitar sini kami ada saudara; tapi rasa-rasanya jarak terlalu jauh untuk dimintakan bantuan. Maka, kami bertekad untuk bisa mandiri, menghadapi semuanya berdua saja. Bekal kami?

Banyak bekal yang harus dipersiapkan jika memutuskan untuk mandiri. Pertama : Ilmu. Ilmu tentang apa? Tentang kehamilan, persalinan, merawat bayi, dll. Kalau ada keluarga, misalnya orang tua; pastilah mereka sudah ada pengalaman. Nah, ketika tidak ada, ya kita harus mencari ilmu itu. Banyak sumber. Dari internet, hampir setiap hari mengakses youtube untuk mengetahui bagaimana proses melahirkan itu, apa itu ketuban, bagaimana jika ketuban pecah, mengapa harus normal, rooming in, apa itu IMD, mengapa harus induksi, mengapa bisa caesar, bagaimana memilih rumah sakit/nakes, apa yang dilakukan setelah melahirkan, termasuk mengakses video senam hamil. Belum lagi ilmu tentang bayi. Setelah lahir harus seperti apa, berapa berat ideal, kebutuhannya apa saja, mengapa harus ASI, jika ASI belum keluar, bagaimana kebutuhan bayi baru lahir terhadap ASI. Banyak sekali. Youtube, grup di fb, googling sana sini, blog ini itu, web. Kita juga harus belajar dari buku; banyak sekali panduan-panduan melahirkan, dan seterusnya. Dari televisi, radio, majalah, manapun itu. Yang penting ILMU, kita harus punya.

Bekal berikutnya adalah dana. Maka, penting bagi kita mempunyai ilmu tentang pemilihan nakes/rumah sakit. Jika kita menginginkan normal, pilih dokter yang pro normal; bukan dokter yang relatif lebih mudah memvonis si ibu tidak bisa normal dan harus caesar. Berdasarkan pengalaman teman-teman; banyak yang mengalami hal demikian. Terkait tenaga kesehatan ini, yang harus diperhatikan adalah bagaimana proses penanganan persalinannya, berapa biayanya; jikapun harus caesar, ke rumah sakit mana rujukannya; paket operasinya apa saja; perkiraan waktu akses ke tempat bersalin; anggaran yang tersedia. Nasehat kawan, pastikan kita menyediakan dana untuk ukuran operasi sesar; meskipun kita dan nakes sudah yakin dan merencanakan persalinan normal.

Bekal selanjutnya adalah persiapan mental. Nah, ini yang penting sekali dibangun. Bukan hanya oleh calon Ibu, melainkan juga untuk calon ayah. Mengapa? Karena kita berdua yang akan bersama-sama menghadapi proses besar tersebut. Jalinan komunikasi yang bagus antara keduanya, ilmu yang 'sama' sehingga bisa menghadapi dengan tepat bersama, dan yang paling penting dukungan calon ayah kepada calon ibu.

Dalam persalinan kemarin, saya sangat merasakan pentingnya bekal nomor 3 ini. Betapa ketika hamil, apalagi hamil trisemester akhir, rasa berat kehamilan lebih terasa; termasuk rasa was-was bercampur aduk menghadapi persalinan. Namun, syukur Alhamdulillah, Allah mengaruniakan seorang suami yang luar biasa pada saya. :')

Suami yang selalu ada mendampingi di setiap rasa berat yang ada; menyemangati. Suami yang membelikan buku ini itu untuk persiapan kelahiran dan mendidik anak. Suami yang dengan senang hati menuruti apa yang saya minta, meski harus keluar tengah malam. Suami yang dengan penuh semangat menjadi mentor senam hamil setiap pagi sebelum beliau berangkat kantor. Suami yang selalu lebih semangat menemani setiap sore putar-putar bunderan STAN sekian banyak putaran supaya istrinya banyak gerak dan jalan. Suami yang selalu tak lupa membacakan al quran untuk dedek di dalam perut, saat ibunya tertidur. Suami yang selalu mengajak istrinya ikut kajian ilmu di mana mana supaya beroleh keberkahan dari majelis ilmu. Suami yang selalu datang di tiap waktu istirahat siang, untuk menghabiskan makan siang buatan istrinya; dengan masakan seadanya. Suami yang meluangkan waktu untuk mengajak sang istri bersilaturahim ke sana kemari guna mendapat curahan pengalaman dan doa dari yang disinggahi. Suami yang pada saat istri berkata ada sesuatu, langsung datang. Suami yang mengantar bolak balik entah berapa kali dari rumah ke klinik untuk mengecek pembukaan. Suami yang menyediakan dan membelikan semua perlengkapan lahiran dan perlengkapan bayi, meski dalam kondisi kelelahan sangat. Suami yang selalu menemani tanpa absen pada setiap kontrol rutin, serta menemani dari awal sampai akhir proses kelahiran dengan begitu luar biasanya. Suami yang selalu ada menenangkan sang istri yang panik dan kesakitan. Suami yang mengurus semuanya sendiri pasca persalinan; meski harus tidak tidur 24 jam.

Saya bersyukur sekali, Allah memberikan kami berdua kesempatan ini. Inilah salah satu yang sangat luar biasa dari melahirkan di luar kampung halaman; hanya berdua saja dengan suami. Bagaimana kita belajar mengambil keputusan berdua, bagaimana kita saling merasakan benar-benar sepenanggungan, bagaimana kita saling menopang satu sama lain karena tak ada orang lain. Dan sungguh, saat-saat seperti itu, kita bisa merasakan betapa besarnya cinta dan sayang suami kepada kita dan anak kita.

Oke.. itu dulu. Heum.. maaf, tulisannya acak sekali. Tidak jelas ini kisah pengalaman deskripsi atau semacam panduan. Yang pasti, selalu yakin bahwa setiap apa yang Allah anugrahkan adalah yang terbaik untuk kita. Jangan pernah membandingkan nikmat yang tidak kita terima dengan nikmat yang diterima orang lain. Tapi bandingkanlah nikmat yang kita terima dengan apa yang mungkin tidak diterima orang lain. Karena Allah tau yang terbaik untuk kita. :)

(Tuh, kesimpulannya juga kayaknya ga nyambung dengan cerita atasnya. Hehe.. maaf, baru ngeblog lagi; di sela-sela menjaga di kecil yang sedang tertidur pulas)


Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)