curhatibu.com

Cara Beragama Yang Benar - resume kajian ust badru

Dengan sunnah kita bisa mengetahui mana haq dan bathil, dengan sunnah kita bisa memahami islam dan quran. 

Dalam beragama, kita harus mengikuti kaidah yang telah ditetapkan ulama. Bagaimana talaqqi dan mengambil ilmu, sudah dijelaskan oleh para ulama. Kali ini kita akan belajar manhaj berdalil, mengambil ilmu dan berdalil. 

Agama kita berdasarkan quran dan hadits yang shahih, karena itu merupakan sumber yang paling utama di dalam kita beragama. Allah berfirman dalam surat an nisa 59, " Jika kalian berselisih terhadap suatu perkara, maka kembalikan pada Allah (kitabullah) dan rasulNya (sunnah)". Dalam ayat ini, tersebut bahwa jika terjadi perselisihan, maka kita harus merujuk quran dan hadits nabi. Menurut Syaikh Utsaimin, ada faedah lain dari ayat ini, bahwa selain quran dan hadist, ada 1 rujukan lagi yaitu ijma' . Di awal ayat itu disebutkan "Jika kalian berselisih" - maka jika tidak berselisih, pendapat 'kalian' bisa diterima - kesepakatan ulama (ijma'). Maka ayat ini menetapkan sekaligus 3 : alquran, hadits, dan kesepakatan ulama di seluruh dunia. 


Allah di dalam quran, mewajibkan kita semua mengikuti quran dan hadits, dan melarang kita mendahului Allah dan rasulNya. "Jangan kalian mendahului Allah dan rasul-Nya". Maka pendapat siapapun yang bertentangan dengan hadits dan quran, harus dibuang/ditolak. Karena hanya Rasul yang ma'shum, tidak dengan setiap orang lainnya. Imam malik, imam syafii, imam abu hanifah pun mewanti-wanti hal ini. 
Tidak berbangga dengan kelompok/organisasi/madzabnya, melainkan pada quran dan hadits
Maka para pengikut madzab tidak ada yang fanatik kepada imam madzabnya. Misal Imam nawawi pun sering menyelisihi pendapat imam madhabnya, seperti hukum memakan daging unta - apakah membatalkan wudhu atau tidak. 

Tatkala masing-masing membela madhabnya, bahkan sampai keluar pemikiran : kita tidak boleh banyak madhab, cukup 1 saja. Sungguh ini pendapat bathil, karena yang demikian tidak pernah diajarkan oleh imam madzab sekalipun. Imam syafii tidak pernah menyuruh kita untuk setuju 100% dengan seluruh pendapatnya. Maka tidak boleh kita fanatik kepada madzab, kelompok, atau organisasi-organisasi tertentu. 
Berhujjah dengan hadits shahih, dan meninggalkan hadist yang lemah

Imam Bukhori memberikan pendapat bahwa hadits yang lemah tidak boleh dipakai dalam permasalahan apapun juga, termasuk di dalamnya fadhoil amal. Mengapa? Karena hadits yang lemah hanya menghasilkan keraguan. Hadits lemah itu karena ada perawi yang buruk hafalannya ( yaitu apabila sisi kebenarannya tidak bisa mengalahkan sisi kebenarannya ) -- menghasilkan keraguan, sedangkan dalam islam kita disuruh meninggalkan apa yang meragukan. Imam syafii : apabila hadits telah shahih, itulah madzabku. 

Meskipun orang awam pun tidak mampu menentukan yang shahih dan tidak; maka ujungnya adalah kita bertanya kepada ustadz yang paham. Inilah tugas orang awam, "hanya sampai pada bertanya kepada yang paham".  

Imam nawawi memandang bahwa mengamalkan hadits palsu itu termasuk bid'ah dalam agama. Misal saat ditanya tentang sholat raghaib dan nisfu sya'ban, "Sesungguhnya sholat ini tidak ditunjukkan 1 puun hadits shahih, tidak juga hadits lemah, dan juga tidak diamalkan oleh seorang pun salafush shalih. Maka ini adalah bidah yang tercela". 

Maka alangkah semestinya kita sebelum melakukan suatu amal, kita periksa (tanya) dulu apakah shahih atau tidak hadits ini. Di dalam mengamalkan hadits janganlah sembarangan. Di jaman ini sangat banyak berseliweran hadits2 palsu lewat BBM, WA, dll - yang tidak pernah ada satu pun di kitab-kitab ulama. Betapa banyak di negara ini yang berasal dari hadits palsu, hadits yang sangat lemah sama sekali. Mengapa? Karena yang menjadi rujukan bukunya adalah gudangnya hadits palsu. Sedih sekali. 

Misal hadits "perselisihan itu rahmah" ini sangat bathil, tidak pernah ditemukan dalam satupun kitab hadit. Jikalau demikian, perselisihan adalah rahmah, maka kesebalikannya adalah adzab donk : persatuan adalah adzab donk? Padahal rasul mengatakan, "Persatuan itu rahmat"

Ada juga hadits yang tersebar, doa berbuka puasa yang sering disiarkan di televisi, "allahumma laka sumtu...dst". Ini hadits yang tidak pernah saya (ust Badru) ketemukan hadits selengkap ini. Yang ada hanya sebagian kalimat lengkapnya, itupun pada sanad nya terdapat perawi yang majhul. Nah, akibat hadits palsu/tidak ada asalnya ini dipakai, maka hadits yang jelas-jelas ada asalnya (shahih) itu ditinggalkan. 
Memahami ayat dan hadits dengan pemahaman salafush shalih
Tidak ada satu kelompok yang tidak mengatakan, "saya berdasar quran dan hadits", namun apakah bisa diterima pemahamannya? Orang liberal pun untuk menyebarkan pemikirannya menggunakan ayat quran; tapi sayangnya dengan pemahaman mereka sendiri, tidak dengan pemahaman para salafush shalih.

Maka dalam memahami quran dan hadits rujukannya harus jelas :
a. ada penjelasannya dari hadits lain juga. Jadi harus dilihat pula penjelasan hadits yang lain terkait hadits tertentu. Jadi bukan melihat satu dalil lalu membuang dalil lainnya. b. penting sekali merujuk pemahaman para as salaf, ini menjadi kesepakatan para ulama
-bersambung-

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)