curhatibu.com

Why do I Love you, Jurangmangu?



Saya ingat betul tatkala baru saja menikmati euforia sebagai mahasiswa kedokteran umum, Universitas Diponegoro, ya waktu itu. Malam itu. Ketika kakak saya menghampiri ke kontrakan saya untuk memberi masukan, atau bisa dikatakan lebih ke bujukan, untuk saya melepas kuliah saya itu dan mengambil STAN sebagai tempat saya menempuh pendidikan tinggi saya. 

Sedih? Ya, waktu itu, begitulah perasaan saya. Bagaimana tidak, saya baru saja mendapatkan 1 pencapaian yang saya anggap "hebat" dalam hidup saya. Setelah sekian bulan kerja keras, Allah berikan hasil berupa "kedokteran umum". 

Dan dalam benak saya kala itu adalah "Nanti saya di STAN belajar opo?". Maklum, dalam pikiran saya hanya ada biologi, kimia, fisika, matematika, dan konco2nya. 

Qodarullah, Allah menggerakkan hati saya untuk mengubah pilihan saya : ya, saya meninggalkan UNDIP, saya kuliah di STAN JURANGMANGU - kampus yang katanya 'impian' banyak orang. Hanya dengan satu niat : "Semoga orang tua saya ridho..."

Tak banyak prestasi yang saya dapatkan di kampus ini. Bisa dikatakan, saya hanya mahasiswa biasa, yang menjadi aktivis organisasi2 keislaman kampus, dan pernah juga terpilih menjadi pengurus BEM STAN. Selebihnya, tak ada. Saya kadang merasa bahwa ini suatu pilihan yang 'sakjane' tidak sesuai dengan hati nurani; niat saya ya itu : yang penting Bapak Ibu ridho, dan bisa meringankan beban mereka, dengan tidak perlu memikirkan biaya biaya kuliah. 

Well.. 3 tahun berlalu begitu saja. Oktober adalah bulan wisuda, kelulusan. Ah, wisuda; sebenarnya saya tidak terlalu suka dengan kata ini. Momen wisuda saya bukanlah momen membahagiakan sebagaimana yang dirasakan oleh orang-orang pada umumnya. Kali ini bukan masalah "niatan di awal" yang saya kisahkan. Bukan. Tapi, ada peristiwa yang.. ah, bagi saya terlalu "tidak nyaman" di hati saya saat momen itu. Ya, makanya, saya tidak terlalu suka dengan momen wisuda. Tapi ada satu momen wisuda yang menjadi cita-cita saya; semoga saya bisa diwisuda, dan tentu saja bersama Bapak dan Ibu. 

Singkat kisah.. usai kuliah, penempatan kerja, menikah, punya anak. Semua berlalu sedemikian rupa. Semua adalah jalan yang Allah berikan untuk saya. 

Namun, akhir-akhir ini, saya kembali merenung : mengapa Allah membawa saya ke kampus ini, mengapa Allah menggerakkan saya untuk memilih tempat ini. 

Kerapkali saya merasa kecewa dengan keputusan saya : sekolah kedinasan. Sehingga saya harus mengikuti aturan2 khusus dari pemerintah, seperti masalah sekolah, kerjaan, dan aturan lainnya. Dan qodarullah, semua aturan aturan itulah yang akhirnya membuat saya berada pada kehidupan saya saat ini. 

Saya pernah bercita-cita bisa kuliah sarjana. Namun 'gagal' karena saya hanya kuliah sampai DIII. Ketika saya kuliah DIII, lulus menjadi A.Md, saya pun masih pernah bercita cita melanjutkan DIV di kampus STAN, lalu S2 ke UI atau ke luar negeri. Ya, sebagaimana kawan-kawan seangkatan. Namun, ternyata gagal juga; karena saya akhirnya resign dari PNS, menjadi ibu rumah tangga, tentu tak bisa masuk DIV. Beberapa saat saya di rumah, menjadi ibu rumah tangga, saya pernah masih bercita-cita kuliah lanjut S1 akuntansi, minimal di universitas terbuka, yang lebih fleksibel bagi seorang ibu rumah tangga. Lalu lanjut S2 manajemen dll , dan S3. Apakah gagal? Sampai saat ini, belum bisa saya katakan gagal; tapi pada saat sekarang ini saya yakinkan pada diri saya bahwa "Saya tidak akan mengambil kuliah lagi untuk meneruskan DIII saya!"

Kenapa? Dengan status saya saat ini : Istri dan Ibu, rasanya saya belum memerlukan lanjut studi untuk perkara akuntansi, manajemen dan konco konconya. Waktu yang ada terlalu sempit jika "hanya" saya habiskan untuk mempelajari ilmu-ilmu itu. Ya, terlalu sempit; karena masih ada banyak sekali ilmu yang WAJIB saya pelajari dengan status saya sekarang. 

Ada banyak sekali ilmu yang lebih menjadi prioritas bagi seorang ibu rumah tangga macam saya ini : ilmu aqidah, tauhid, fiqih, muamalah, bahasa arab, tarbiyatul aulad, ilmu menjadi istri yang sholihah, ilmu jual beli, ilmu bertetangga, dll. Masih banyak sekali kitab yang WAJIB saya pelajari : kitab aqidah, kitab tauhid, kitab hadits, kitab ushul tsalatsah, kitab ahkamul janaiz, kitabus sunnah, minhajul muslim, matan-matan fiqih, kitab kitab bahasa arab, dan masih banyak lagi yang lain, termasuk yang paling utama adalah menghafal 30 juz al quran T.T dan ke semuanya adalah untuk bekal saya 'hidup', juga bekal saya mendidik anak-anak saya menjadi anak sholih/sholihah. 

Bisa saya katakan bahwa : waktu saya yang tinggal sedikit ini, rasa-rasanya akan semakin sempit jika saya tambah dengan pelajaran akuntansi keuangan (lagi); ah, tidak tidak. Biarlah urusan ilmu2 demikian, saya serahkan kepada suami saya, karena beliau akan punya kebutuhan terhadap sekolah-sekolah itu, atas kerjaannya di kantor, karena ia yang bertugas memberikan nafkah kepada kami. 

Sudah terlalu banyak nafkah yang diberikan suami kepada saya; akan sangat mengecewakan jika yang saya lakukan adalah juga sibuk atas sesuatu yang sebenarnya tidak (atau minimal, belum) saya butuhkan hingga saat ini. Maka, tugas saya adalah mengkhatamkan kitab-kitab itu untuk dapat maksimal mendidik anak-anak dari suami saya kelak; mencetak mereka menjadi anak-anak yang bermanfaat untuk saya dan juga pastinya suami saya, dunia dan akhirat. 

Nah, di titik inilah kemudian saya merasakan faidah besar atas apa yang pernah 'biidznillah' menjadi keputusan besar dalam kehidupan saya : hijrah ke jurangmangu; yang pada saat itu niatnya 'beroleh ridho orang tua'. 

Ya, jurangmangu. Kota yang membentuk karakter saya semenjak kuliah, hingga saat ini. Dan saat ini, saya semakin cinta dengan kota kecil ini. Adalah keinginan orang tua yang membawa saya hijrah ke sini, bertemu pasangan hidup di sini, melahirkan anak pertama di sini, tinggal di rumah kami di sini. Mungkin di sinilah Allah menunjukkan bahwa bakti pada orang tua itu selalu akan berujung manis. Menuruti keinginan mereka, meski terkadang tak kita sukai, adalah perjuangan yang akan membuahkan hasil yang sangat membahagiakan. 

Dan salah satu hasilnya adalah saat ini saya merasa sangat bersyukur pernah disuruh orang tua kuliah di kota ini; karena sekarang saya memiliki semua yang saya impikan. Semua. Suami, anak, rumah, lingkungan yang (sangat) baik, teman2 yang masya Allah, kawan-kawan yang selalu memperjuangkan agama Allah, majelis ilmu, majelis quran, majelis bahasa arab, majelis kitab, semuanya, ada di kota ini. Lalu, nikmat mana lagi yang akan saya dustakan? Nikmat mana yang lebih indah daripada Islam, sunnah, serta taman taman surga ini? AH, di sini pula saya bertemu dengan kajian sunnah yang Masya Allah; bahkan dirindukan hadirnya oleh kawan-kawan saya di pelosok-pelosok sana. Dan semuanya itu saya bebas membawa anak saya. T.T Saya belajar, anak saya pun belajar. Nikmat ga sih, bu? Kuliah mana yang boleh bawa anak bebas main di kelas? Ah, dan anak saya bebas duduk menemani saya kuliah. Ya, semua hanya di sini T.T

Thats why, "I love Jurangmangu". 

AH, kalaupun nanti harus menemani suami pindah; atau suami melanjutkan sekolah, saya hanya berharap suami pindah di tempat yang kami mudah menemui kajian-kajian sunnah, di tempat yang kami mudah menemui masjid-masjid dan lingkungan yang senantiasa menjalankan sunnah Nabi, semoga. Bahkan, yang pada waktu itu saya pernah berharap suami kuliah S2 di luar negeri; akhir akhir ini saya malah berharap suami kuliah di dalam negeri aja : jogja, bandung, depok; yang di sana melimpah kajian sunnah. Di luar negeri, pasti tidak semudah saat ini di indonesia, bukan? Etapi kalau kuliahnya lanjut ke negara Islam : seperti Arab saudi, atau Mesir mah, ayok ajah.. wkwkwkwk.. 

Terimakasih bapak, ibu, juga kakakku satu satunya yang sudah menjadi pengganti ibu sejak ibu meninggal dunia beberapa tahun lalu.. Semoga Allah senantiasa memberikan keberkahan dalam kehidupan mereka, dan keluarga serta anak keturunan mereka, di dunia dan akhirat. Semoga kita dikumpulkan lagi di surga... Aamiin...

Jurangmangu Timur, 29 Oktober 2016

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)