curhatibu.com

Engga Usah Sekolah, Homeschooling Aja | 10 Kontroversi Homeschooling Versus Sekolah - Part 1

Jadi, apakah homeschooling itu lebih baik? Engga usah sekolah aja, gitu? Well... Kali ini kita akan membahas dua sisi (gelap dan terang) dari homeschooling versus sekolah. Apakah benar, homeschooling seharusnya menjadi solusi dari "negatifnya" sekolah? Ataukah justru sebaliknya, anak tetap harus sekolah demi terjamin masa depannya. 

Pengembangan Sosial Anak

SOSIALISASI. Sering menjadi alasan mengapa orang ANTIPATI dengan metode homeschooling. Orang banyak menganggap homeschooling itu seperti meng-anti-sosial-kan anak. Muncul kekhawatiran anak tidak bisa bergaul, bersosialisasi, dan tidak punya teman. 

Yes. Memang benar. Homeschooling, dalam hal ini, memiliki keterbatasan dalam hal interaksi sosial. Anak homeschooling bisa jadi tidak mendapatkan akses yang cukup ke lingkungan sosial yang beragam (jika orang tua tidak memfasilitasnya dengan baik) - sebagaimana mungkin banyak ditemui di sekolah. Di sekolah anak-anak bisa berinteraksi dengan teman sebaya, kakak kelas, adek kelas, bapak ibu guru dan staf sekolah, penjaga kantin, tukang parkir, hingga berinteraksi dengan supir angkot yang mengantarnya setiap pagi ke sekolah. 

Di sisi lain, ada banyak ancaman bullying di sekolah. Tidak hanya oleh kakak kelas. Bullying bisa dilakukan oleh siapapun yang berinteraksi dengan anak, selama di sekolah. Beberapa anak tidak bisa mengatasinya dengan baik - yang akhirnya berimbas pada kondisi mentalnya, serta sosialnya. 

Sementara, anak homeschooling tentu lebih aman dari hal itu. Orang tua dari anak homeschooling lebih memiliki kendali terkait interaksi anak - dengan siapa teman sebaya, dan beraktivitas apa. Orang tua bisa mengatur pertemuan dengan teman lainnya dalam suatu komunitas minat/hobi tertentu, bahkan mengikutsertakan anak dalam kegiatan ekstrakurikuler sesuai kebutuhan anak. Hal ini bisa jadi solusi yang menunjang kebutuhan sosial anak.

Kualitas Pendidikan

Mengapa sebagian besar dari orang tua memilih sekolah? Yap. Sebab sekolah dianggap sudah memiliki kualitas pendidikan yang baik, kurikulum yang telah diuji, dan pengajar profesional dengan background pendidikan yang mumpuni. Tentu hal ini baik, sebab sudah ada standar bagi semua siswa terkait apa saja yang dibutuhkan dan perlu untuk diketahui oleh siswa. Siswa mendapat keterampilan dan akses pengetahuan yang cukup. Selain itu, sekolah pun bisa menyediakan fasilitas penunjang seperti laboratorium, perpustakaan, termasuk guru-guru ahli di berbagai mata pelajaran.

Namun di sisi lain, masih ada keharusan (di sebagian sekolah) bagi para siswa untuk mengikuti seluruh pembelajaran sesuai kurikulum tanpa memperhatikan kebutuhan atau minat dari siswa. Apalagi jika masih ada sekolah yang memberikan peringkat berdasarkan penguasaan mapel tertentu saja. Sekolah yang demikian tentu tidak baik bagi siswa yang mungkin lemah di mapel tertentu, dan bisa jadi tidak bisa mengeksplorasi bakat/minatnya dengan baik. Termasuk tentang gaya belajar. Sebagian guru bisa jadi masih belum memahami perbedaan gaya belajar anak didiknya. Anggapan "anak nakal, anak malas, anak suka bikin ribut, anak tidak bisa diam" kadang masih tersemat, padahal sebenarnya yang terjadi hanya perlu pemahaman perbedaan gaya belajar saja. 

Sementara itu, homeschooling menawarkan fleksibilitas orang tua dalam menyusun kurikulum belajar yang ingin difokuskan atau ditekankan kepada anak. Bisa jadi hanya 10% akademik, 90% eksplor minat. Bisa jadi, hanya 20% ikut kurikulum diknas, selebihnya mengejar kebutuhan diniyah (agama). Semua tergantung visi misi orang tua. Orang tua pun dengan leluasa memberikan pendampingan belajar anak, tanpa tergesa dengan target waktu belajar, target capaian kurikulum, atau standar nilai tertentu. Gaya belajar tentu bisa disesuaikan - sebab orang tua harusnya bisa lebih mengenali anak (yang tidak sebanyak guru yang harus mengenali seluruh anak didik di kelasnya). 

Namun, perlu juga diperhatikan, bahwa ada kemungkinan anak homeschooling tidak mendapat akses akan fasilitas penunjang selayaknya di sekolah. Misalnya laboratorium, perpustakaan. Juga tentang kesanggupan orang tua dalam memberikan pengajaran dengan baik. Bisakah orang tua mengajar, dan bisakah orang tua mengatur tugas ini dengan domestik dan urusan pekerjaan? 

Fleksibilas Waktu

Poin positif dengan sekolah adalah anak mendapatkan latihan kedisplinan lewat keteraturan rutinitas sehari-harinya. Anak memiliki jadwal yang telah terstruktur. Siswa harus hadir tepat waktu di sekolah dan mengikuti kegiatan/jadwal belajar yang sudah ditetapkan oleh sekolah. Anak jadi terkondisikan dengan kebiasaan belajar dan mengajar sehari-hari dari pagi hingga siang - sore hari. 

Namun di sisi lain, jadwal berpotensi menekan siswa. Siswa jadi merasa tidak leluasa mengelola kebutuhan dirinya, mengeksplor kreativitas dan minatnya, atau mungkin ingin melakukan kegiatan lain di luar jadwal pelajaran di sekolah. Apalagi ada sekolah yang "full day", pulang hingga hampir maghrib, masih diberikan beban PR di rumah. Kadang ada yang kurang jam tidurnya karena beratnya beban tugas sekolah. 

Sementara anak homeschool sangat berpeluang untuk mengembangkan minatnya - sebab waktunya cukup leluasa. Orang tua dan anak bisa menyepakati jadwal belajar sesuai kebutuhan dan kondisi anak. Jadwal pun tidak fix - bisa sewaktu waktu berubah. 

Sayangnya, ada ancaman dari fleksibilitas ini adalah anak jadi kesulitan melatih disiplin dirinya. Anak kurang bisa fokus dalam jangka lama, dan produktivitas jadi berkurang karena tidak memiliki rutinitas. Tentu menjadi PR orang tua tentang bagaimana menanamkan kedisiplinan dan komitmen pada anak - terutama atas apa yang sudah disepakati bersama orang tua. 

Pemilihan Kurikulum

Di sekolah, kurikulum sudah dirancang oleh para profesional pendidikan - yang teruji - dengan mempertimbangkan standa nasional atau regional. Hal ini (semestinya) memberikan jaminan anak akan memperoleh pemahaman yang cukup tentang berbagai mata pelajaran yang diberikan. Kurikulum ini juga menetapkan standar capaian siswa, yang pada akhirnya dapat membantu penilaian kemajuan siswa secara objektif. 

Namun terkadang, standar ini jadi kurang cocok untuk semua individu (siswa). Bisa jadi, 1 standar pengukuran tidak cocok untuk siswa tertentu. Misalnya ada siswa yang bagus di sisi non-akademis, menjadi dinomorduakan ketimbang mereka yang juara di sisi akademis. Juga dengan adanya penetapan kurikulum ini, siswa tidak memiliki kontrol atas apa yang mereka pelajari, dan bagaimana mereka belajar. 

Di homeschool, ada kebebasan dari orang tua untuk memilih dan menyesuaikan kurikulum untuk anak-anaknya. Kurikulum bisa disesuaikan sesuai kebutuhan, minat, kondisi, dan  kesanggupan orang tua - dengan tetap berpatokan pada tujuan visi misi pendidikan keluarga. Orang tua bisa memilihkan mapel yang lebih personal - tidak terburu dengan target capaian tertentu, serta menyesuaikan kecepatan belajar anak. 

Namun, orang tua harus menyadari keterbatasannya dalam menyusun kurikulum. Apalagi, jika orang tua tidak punya background pendidikan (sama sekali), maka perlu PR belajar lebih tentang perkembangan anak, penyusunan kurikulum belajar, dan pastinya konsistensi orang tua dalam menjaga proses pemenuhan kurikulum yang telah disusun. Selain itu, biasanya kurikulum yang dipilih di rumah tidak bisa sekomprehensif apa yang telah disusun di sekolah. 

Penyiapan Anak Ke Dunia Nyata

Sekolah memiliki banyak peluang untuk melatih anak agar siap terjun ke dunia nyata. Misalnya latihan disiplin yang diterapkan, ragam interaksi sosial yang dilatih setiap hari, serta pengalaman bekerja dengan tim saat kerja kelompok yang bisa dilakukan hampir setiap hari. Namun, ada kemungkinan terjadi bullying yang membuat anak terganggu mentalnya, atau target akademis berlebihan yang membuat anak tidak bisa mengeksplor dengan optimal kapasitas dirinya. 

Homeschooling memiliki peluang untuk mengeksplor minat bakat anak menjadi skill yang siap untuk terjun ke dunia nyata. Ada waktu yang cukup luang untuk anak fokus mengembangkan hal itu. Termasuk melatihkan kemampuan hidup sehari-hari seperti urusan memasak, domestik, dsb. Keterampilan praktis untuk hidup bisa dimiliki oleh anak homeschooling karena sudah dipraktekkan setiap saat - setiap hari - dari bangun tidur hingga tidur kembali.

Namun, perlu diingat tentang urusan interaksi sosial anak pun butuh dilatih. Peran orang tua menjadi sangat besar untuk memaparkan anak pada lingkungan sosial beragam. Jika tidak, tentu anak akan kesulitan saat nantinya dihadapkan pada kebutuhan bersosialisasi dan berinteraksi dengan beragam lingkungan di dunia nyata. 

Yap. Itulah 5 kontroversi yang sering diperselisihkan antara sekolah dan homeschooling. Ini masih part 1, masih ada 5 lagi hal menarik yang perlu diketahui para orang tua tentang 2 metode belajar ini. 

Share di kolom komentar tanggapan Ayah Ibu tentang artikel kali ini. Terimakasih














"Dan itulah sebagian besar pertimbangan tentang sekolah versus homeschooling yang telah kita bahas dalam episode ini. Tetapi tunggu, di episode berikutnya, kita akan membuka kotak Pandora yang lebih dalam lagi. Kita akan menjawab pertanyaan-pertanyaan kunci seperti, 'Bagaimana kesiapan akademis memengaruhi pilihan ini?' dan 'Apakah ada tren baru dalam pendidikan yang perlu kita pertimbangkan?' Jadi, pastikan Anda kembali untuk mendengarkan episode kedua yang akan mengungkapkan lebih banyak wawasan dan pemahaman yang menarik. Sampai jumpa di sana!"

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)