curhatibu.com

Pandangan Agama Islam mengenai Bekerja dan KKN


Bismillahirrahmanirrahim…
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang…
“Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S At Taubah:105)

Begitulah Allah telah memerintahkan kita, umat manusia untuk bekerja. Sebagaimana pula dalam sebuah hadist disebutkan,
“Jika ada seseorang yang keluar dari rumah untuk bekerja guna mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun di jalan Allah. Tetapi jika ia bekerja untuk berpamer atau bermegah-megahan, maka itulah ‘di jalan setan’ atau karena mengikuti jalan setan” (H.R Thabrani)

Bekerja merupakan wujud syukur kita pada Allah atas segala potensi yang telah diberikan Allah pada kita, yaitu akal, jasmani, dan hati. Tiga potensi yang jika kita mampu memanfaatkan dengan sebaik-baik pekerjaan, maka kita akan beruntung. Bukankah Allah telah mengingatkan kita dalam ayat Al Qur’an berikut,
“Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhan-mu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azabKu sangat pedih”

Bekerja dengan baik merupakan perwujudan syukur kepada Allah atas nikmatNya. Ya, karena memang itulah yang bisa kita, sebagai manusia, lakukan… bekerja, berikhtiar,…meskipun kita tidak tahu hasil seperti apa yang akan kita dapat nanti. Karena semua itu akan kembali kepada Allah yang memiliki hidup kita ini…

Pernahkah mendengar kisah tentang perjuangan seorang Hajar (istri Ibrahim), yang atas perintah Allah, harus ditinggalkan oleh Ibrahim bersama anak yang baru dilahirkannya. Ya,  Ibrahim meninggalkan istri dan anak yang sudah ditunggu sekian puluh tahun itu, di tengah gurun pasir yang tak juga mereka kenali. Karena perintah Allahlah, mereka ridha dengan ketetapan Allah tersebut. Dalam batin Ibrahim, “Bukankah Allah yang menyuruhnya untuk pergi, maka Allah pasti tak akan menyia-nyiakan istri dan anaknya. “

Singkat cerita, sang bayi merasakan kehausan teramat sangat, dia mulai menangis-nangis. Sang ibu kebingungan,..namun dengan segera, beliau mencari-cari apakah ada mata air. Subhanallah, dilihatnya mata air di sebuah bukit. Beliau berlari ke sana. Namun ketika sampai di sana, tak ada setetespun air ditemukan. Sang ibu mencari lagi, dan melihat ada air di bukit seberang, dikejarnya ke sana. Seperti itu,…namun tidak juga ditemukan. Begitulah, sampai 7 kali berlari-lari antara 2 bukit yang kita kenal dengan Sofa dan Marwah. Sungguh luar biasa apa yang beliau lakukan.

Satu kisah yang memiliki makna luar biasa bagi kita. Bahwa, Siti Hajar bisa saja kemudian berputus asa setelah berlari 2 sampai 3 kali karena memang yakin tidak ada air di sana. Namun, satu hal yang ada dalam pikiran Siti Hajar, bahwa “Saya hanya ingin menunjukkan kesungguhan saya pada Allah. Saya sungguh ingin anak saya mendapat air, anak saya kehausan Ya Allah..”

Seperti itulah,… sebuah kisah yang ingin mengatakan kepada kita, sebagai umat manusia untuk “Bekerjalah engkau, maka Allah, Rasul, dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu…” dalam surat At Taubah 105.

Sebait di atas bukan berarti kita bekerja tanpa tahu tujuan, atau tanpa mempunyai alas an yang pasti. Alas an kita justru bukan lah terletak pada hasil yang kita dapat secara riil dan nyata, misalnya, rumah, apartemen, mobil mewah, dan sebagainya. Bukan. Yang Allah suka adalah bagaimana ikhtiar kita. Bagaimana usaha kita dalam menjemput rizki Allah. Berapa banyak atau sedikit hasilnya, namun biarlah ikhtiar yang kita tunjukkan itu menjadi bukti bahwa kita mensyukuri nikmatNya, bahwa kita telah memanfaatkan potensi yang kita miliki. Dan yang lebih penting dari semua itu, ingatlah bahwa apa yang kita lakukan di dunia ini tidak lain hanyalah beribadah pada Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat Adz Dzariat ayat 56,

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia  melainkan supaya mereka menyembahku”

Tujuan kita bekerja bukan untuk mencari harta dunia. Bukan pula kita bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup. Bukan kita bekerja untuk jaminan hari tua. Bukan kita bekerja demi Negara. Bukan kita bekerja demi anak istri (suami). Bukan kita bekerja untuk orang tua, membalas budi baiknya. Dan bukan untuk alas an lain, melainkan hanya untuk beribadah kepada Allah. Bukankah seperti itu Allah memerintahkan kita sebagai hambaNya.

Ketika semua hal yang kita lakukan berorientasi pada Allah, maka yang terjadi, semua yang kita kerjakan tyidak akan melenceng dari hokum yang telah Allah tetapkan. Seperti itulah.

Hakekat bekerja adalah untuk beribadah pada Allah.
Ibadah kepada Allah diwujudkan dengan niat bekerja itu sendiri, cara bekerja, dan tujuan bekerja kemudian.
Niat itu harus benar. Niat itu harus senantiasa diluruskan. Karena niat tidak hanya terletak di awal. Namun, niat itu sebelum, saat, dan setelah perbuatan dilakukan. Pun ketika sebelum dan saat melakukan perbuatan niatnya bagus, namun ketika setelah perbuatan jutsru kita ungkit-ungkit hingga niat itu melenceng, maka gugurlah niat dan per buatan baik yang telah kita lakukan.

Dalam pernyataan Ustadz Salim A. Fillah,  dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah, berjudul Awang-awang, berikut ini…
“Saat kau merasa besar, periksalah hatimu, mungkin ia sedang bengkak.
Saat kau merasa suci, periksa jiwamu, mungkin itu putihnya nanah luka nurani
Saat kau merasa tinggi, periksa batinmu, mungkin ia sedang melayang kehilangan pijakan
Saat kau merasa wangi, periksa ikhlasmu, mungkin itu asap amal shaleh yang hangus dibakar api”

Sungguh dahsyat pernyataan yang dilontarkan tersebut. Sepertinya, hati ini tidak ada baiknya. Ketika merasa baik, suci, besar, tinggi, apalagi wangi. Begitulah sulitnya kita menjaga hati terutama niat di awal.
Dalam bekerja, seperti itulah yang terjadi. Terkadang, banyak ditemukan orangtidak mau bekerja, memilih menjadi pengangguran, karena mereka merasa terlalu suci jika harus berdagang asongan di terminal-terminal. Atau banyak yang lebih memilih merampok, karena merasa besar untuk sekedar makan-makan di warteg sederhana, yang murahan. “Saya makan di restoran saja, untuk apa di warteg, bukan level!”. Untuk itu, memilih untuk merampok, karena suplai uangnya menjadi lebih banyak. Atau bahkan merasa tinggi, sehingga tidak mau mengamen di jalanan, dan lebih memilih bernyanyi sampai larut malam di diskotik-diskotik, dan akhirnya berlanjut menjadi barang jajanan laki-laki hidung belang.

 Berbeda ketika bekerja memiliki niat untuk beribadah, maka pekerjaan apapun selama halal, akan dilaksanakan. Tidak peduli bagaimana orang menilai, atau bahkan merendahkan, yang penting pekerjaan nya halal, dan akan menjadi daging bagi anak-anaknya. Dan di akhirat nanti, semoga bisa lebih mudah melenggang menuju surga. Bukankah  harta, pangkat atau jabatan tidak sedikitpun menentukan kehidupan di akhirat nanti?
“yang menjadikan hidup dan mati, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia maha Perkasa dan Pengampun” (QS Al Mulk : 2)

Hidup ini ujian,…pun juga mati kita. Sejak lahir sudah dihadapi dengan aneka permasalahan, aneka ujian dan permasalahan. Itulah ujian. Begitupun saat mati, ujian menghadapi bujukan kafir dan beriman saat sakaratul maut.  Ini juga ujian. Hidup mati.

Begitupun dengan bekerja. Orang akan diuji dengan pekerjaan. Apakah kita mendapatnya dari cara halal? Enaknya kerja ini apa ini ya..?dan sebagainya.  Hidup itu ujian. Maka, di waktu hidup yang singkat ini, jangan sampai kerja kita mengganggu niat utama kita. ,memberikan niat ibdaha, untuk menghasilkan yang lebih baik lagi.
(bersambung)
 
Kebenaran hanya milik Allah, dan keburukan hanyalah berasal dari diri yang lemah ini…

Mata Kuliah : Etika Profesi 
Dosen : Bapak Bambang Imam Pramuji
Naizza_06
Jurangmangu timur

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)