curhatibu.com

di KRL Manggarai - Serpong


“Seharusnya, mereka telah menyiapkan hati untuk berada dalam desak-desakan gerbong kereta api di sini…”.Ya, benar. Sehingga, tidak lagi ada saling cela atau teriakan-teriakan yang justru menambah ricuhnya suasana sore itu.

Bangku kereta itu sudah terisi penuh, sehingga memaksa ratusan orang lainnya harus berdiri sepanjang gerbong itu. Saya, dan seorang sahabat saya memilih berdiri dekat dengan pintu keluar. Ya, karena stasiun yang kami tuju merupakan stasiun ke-3 dari stasiun bernama Tanah Abang ini. Biar tidak kesulitan keluar, pikirku.

Well...hingga kereta rel listrik, atau biasa disingkat KRL, mulai menggeliat menyusur jajaran besi panjang itu, sudah begitu sesak suasana di dalamnya. Bahkan sahabat saya tidak bisa menapak dengan sempurna. Pun saya, hanya sedikit mampu berpegangan pada tiang-tiang dalam kereta ini.

Fiuu,..okey,.hingga beberapa saat, suasana sudah aman terkendali. Namun, ketika kereta berhenti di stasiun Kebayoran, tiba-tiba begitu banyak penumpang yang masuk, berjejal tidak karuan. Mereka memaksa masuk, semakin menambah desakan penumpang yang telah sedari tadi berdesak di dalam gerbong. Mirisnya lagi, seorang ibu dengan membawa anaknya yang berusia sekitar 2 tahun, tetap saja memaksa masuk. Padahal, di dalam gerbong telah ada beberapa ibu yang juga membawa sang anak.

Oh,..tangisan anak-anak itu langsung terdengar. Sepertinya mereka terjepit. Ah,..dalam posisi saya sekarang, meski ada di dekat pintu, tetap saja saya tak bisa bergerak untuk membantu si Ibu.

Baiklah, saya harap, semuanya bisa cepat menyesuaikan diri di dalam gerbong. Menyesuaikan tempat, posisi, dan utamanya, menyesuaikan kondisi hati. Euh,.kenapa lama sekali kereta ini berhenti di stasiun ini, kapan jalannya. Bahkan, beberapa kali pintu yang menutup otomatis, kembali membuka gara-gara masih saja ada yang mendesak masuk. ”Aduhh,..sudah tidak muat lagi, bapak, ibu...”, dalam hatiku berkata demikian.
“Ibu, saya tadi tidak sengaja mendesak ibu, ini juga terpaksa kami harus masuk ke dalamnya...“, seiring kereta yang akhirnya mulai bergerak lagi, saya mendengar sayup-sayup percakapan mereka. ”Ya, tapi nggak usah dipaksain donk, kasihan anak saya tadi terdesak! Apa ibu nggak kasian???”, jawab ibu yang lainnya sedikit berteriak.

”Sabar, bu... beginilah kondisinya...apalagi akhir pekan begini...”, ujar seorang yang lain menengahi.

Ah,..demikianlah sedikit gambaran kondisi perkeretaapian di Indonesia. Tidak terlalu sering saya naik kereta, bahkan masih bisa dihitung jari. Dan ini kesekian kali nya saya mendapati kondisi seperti ini. Riuh, sesak, panas (tapi, alhamdulillah masih ada AC), berdesakan, terinjak-injak, apalah itu. Apalagi, jika harus berdiri. Ehm,...

”Coba mereka bisa menahan emosi mereka, pasti kondisi bisa lebih tenang. Ah, setidaknya, tidak menambah riuh kacaunya kondisi di gerbong”

Begitu juga terjadi saat turun atau naik,
”Coba mereka bisa bersabar, antri, pasti lebih tenang rasanya...”
Malah sempat ada yang nyeletuk waktu kita turun,
”Waahh,..begini nih,..mau turun aja rebutan, gimana naiknya?! Tendang-tendangan kali ya. Fiuu...coba bisa lebih sabar, bisa antri. Pasti, sekian waktu untuk rebutan dan berdesakan bisa jadi lebih bisa digunakan untuk masuk dengan tertib dan nyaman.”

“Mereka kan pengen dapat tempat duduk, jadi ya, harus cepat-cepat!”, jawab yang lain.

Ah,…sedih,.. Akhir-akhir ini, tatkala saya naik kendaraan umum, entah bus atau kereta, sepertinya agak susah saya menemukan adanya sikap saling menghormati satu sama lain. Ada saja anak muda yang enak-enakan duduk di bangku bus atau kereta, padahal di hadapannya ada seorang ibu yang sedang hamil. Atau ada seorang bapak, nampaknya sih, masih usia 40 tahun-an, tidak bergeming saat melihat seorang nenek tua berdiri sambil mencari-cari pegangan di sebuah gerbong kereta. Euh…

Ya, mereka berebut masuk gerbong, atau bus, hanya untuk mendapatkan tempat duduk yang nyaman untuk mereka. Ya, untuk mereka. Tidak peduli bagaimana nasib orang lain yang lebih lemah dari mereka. Pun, mereka verdezca masuk, agar mereka bisa pulang, bisa dapat tempat. Tidak peduli orang lain. –sepertinya, kita beberapa kali preƱa atau sempat menjadi bagian dari kata ‘mereka’-.

Begitulah,… hanya sekedar gambaran, yang saya lihat saat mengunjungi tempat bernama tanah Abang. Semoga di kesempatan selanjutnya naik kendaraan-kendaraan tersebut, sudad tidak lagi menemui hal itu.

Jt,27 Juni 2011




Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)