curhatibu.com

Pembuka Jalan Pernikahan Islami?


Kata kawanku, ”selamat ya, menjadi pembuka jalan…!” di siang itu, tatkala perbincangan kami mengarah pada topik yang hangat dibicarakan oleh mahasiswa yang mau lulus. Ya, apalagi jika bukan tentang pernikahan. Apalagi dengan rumor yang sering beredar di kampus kami, bahwa setelah tamat, maka akad nikah pun langsung diselenggarakan. Maklum, sekolah kedinasan, yang membuat perjanjian pada kami, mahasiswanya, untuk tidak menikah saat menjalani perkuliahan. Akibatnya, ’kebelet nikah’ nya langsung diresmikan tatkala palu kelulusan diketokkan, dan tali ’topi’ wisuda dipindah sisinya.

Lalu, apa maksud statement sebagai pembuka jalan? Nikah pertama se-angkatan? Bukan itu. Inilah yang menjadi garis bawah untuk dibahas kali ini. Hmm...

Pembuka jalan pernikahan Islami, maksudnya. Ya, saat ini memang hal ini sudah tidak lagi asing terdengar di masyarakat. Meskipun tidak  bisa dibilang tidak ada yang tidak mengenalnya. Ya, paling tidak, media sudah banyak mempublikasikan hal ini.

Sekali lagi, bahwa istilah ini sudah tidak asing, tapi di sisi lain memang tidak sedikit yang belum mengetahuinya.

Islam, sebagaimana kita ketahui, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Bahkan mulai dari hal terkecil, misalnya bagaimana cara bersuci, hingga hal rumit seperti tentang perdagangan dan warisan. Pernikahan, merupakan salah satu yang menjadi hal yang penting diatur oleh agama kita. Bagaimana tidak? Dari pernikahan inilah akan lahir generasi-generasi baru, yang diharapkan lebih baik. Generasi yang islami, yang nantinya akan menjadi sosok-sosok pejuang bangsa dan agama. Generasi yang mampu menjadi sangu jariyah kedua orang tuanya. Nah, inilah beberapa yang menjadikan Islam mengatur betul mengenai pernikahan.

Terwujudnya rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Hal yang sungguh pasti menjadi impian sepasang lelaki dan wanita yang melangsungkan ikatan suci pernikahan. Dari referensi yang pernah didapatkan, sekaligus dari pengalaman yang dapat dilihat selama ini, sebenarnya dapat ’dengan mudah’ diraihnya pernikahan tersebut. Yang pasti, bahwa sesuatu yang dilakukan dengan cara yang diberkahi oleh Allah, yang telah diatur oleh Allah, maka ke belakang akan menghadirkan barakah dari setiap aktivitas yang dilakukan di dalamnya.

Maka dari itulah, sangat penting untuk kita mengupayakan tata cara pernikahan islami sebagaimana telah diatur oleh Allah. Bagaimana caranya? Pastinya harus dengan awalan yang baik, niat yang lurus, proses yang terencana, dan keakhiran yang istiqamah dalam kebaikan. Awal yang baik dalam sebuah pernikahan bukanlah didapat melalui tata cara pacaran, hubungan tanpa status, teman tapi mesra, atau apalah itu namanya. Bukan karena apa, hal-hal tersebut adalah menuju kepada zina, yang dilarang oleh Allah. Maka awalilah dengan tata cara islam, tanpa pacaran, melalui proses ta’aruf, khitbah, hingga akhirnya akad, walimah, dan sebagainya. Proses pernikahan juga harus islami. Bukan hal-hal yang membuang-buang uang. Bukan pula hal yang mengandung kesyirikan. Menghindari percampuran antara undangan laki-laki dan perempuan. Pastinya, menutup aurat.

Ya, begitulah kiranya. Namun, terkadang, hal tersebut masih sangat aneh di mata masyarakat sekitar kita, apalagi orang daerah. Sering terdengar selentingan pertanyaan pada satu dua orang aktivis yang anti pacaran, ”Kamu sudah punya pacar, Nduk?”. Lalu ketika aktivis menjawab, ”Tidak ada, Bulek...”. dan apa jawabnya, ”Ah, tenane?Mosok gak dhuwe pacar?”.

Lain lagi dengan kisah seorang aktivis, yang juga sama-sama tidak akan melakukan prosesi bernama pacaran. Dia berkata pada orang tuanya di suatu waktu, ”Pak, Bu... Nanti kalau tiba-tiba ada orang yang melamar ke sini, jangan kaget ya...”. Mendengar itu, sang ayah dan ibunda menjawab, ”Lhoh? Emange kowe wis dhuwe pacar, piye?”. Aktivis pun bilang, ”Wah, saya ndak pacaran, pak...”. ”Lha mau nikah sama siapa?” atau ”Ya tapi jangan mendadak ya, Le..”

Kalau yang satu lagi, sudah berada dalam perbincangan prosesi pernikahannya. “Saya ndak mau pakai adat-adat Jawa begitu, Bu… Mau biasa saja….”. Apa jawab sang Ibu, “Lho piye tho? Nanti kalau dirasani (digunjing) sama tetangga gimana? Nanti kalau ada apa-apa sama perkawinan kalian, disalahkan Ibu yang tidak mematuhi adat!”. Atau satu lagi yang mengatakan, “Pak, nanti saya kalau walimah, tamu laki-laki dan perempuannya dipisah ya… pengantinnya juga, nanti suami saya di panggung depan, saya di dalam saja. Nanti biar tamu perempuan masuk ke dalam rumah.”. Responnya, “Kalian kan udah nikah, kenapa masih dipisah begitu? Nanti malah pada bertanya-tanya ini mempelainya koq cuma satu, gitu gimana?”

Jadi, bagaimana? Sudah siapkah kita menjadi pembuka jalan tersebut? Pembuka jalan kebaikan pernikahan sebagaimana telah diatur oleh Allah Swt. Memang sih, nampaknya begitu asing. Mungkin orang akan mengatakan aneh, atau bahkan mengira ini aliran yang tidak jelas. Namun yang pasti, bukankah memang Islam datang dalam keadaan yang asing, dan akan pergi demikian juga? Hal yang asing, jika itu membawa kebaikan, tak masalah kan jika kita coba populerkan kepada khalayak umum. Siapa tahu, dengan contoh kita, menjadikan pernikahan-pernikahan pasangan yang awalnya menganggap ini asing, menjadi berkah, dan lahir dari mereka keturunan terbaik dan generasi pejuang? Semoga bermanfaat.

Jeruk, 28 September 2011
WindyAnitaSari, berdasarkan perbincangan sore itu....


Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)