curhatibu.com

Ini tentang PERSAHABATAN kita


Dianya dulu pernah bercakap bersamaku di suatu lapang terbuka, dengan saksi putihnya awan menaungi. Kita bersama menjalin satu jalinan persaudaraan, persahabatan. Tak lama kudapati proses itu memang, di mana satu sama lain mulai mampu saling berbagi dan memberi. Tak ada sungkan tuk meminta, karena kau dan aku tahu, bahwa ‘jika mampu pastilah ku bantu’. Saling berkunjung, menjadi satu rutinitas yang menyenangkan hati. Meski sering tanpa alasan pasti. Semoga tak lain, itu terjadi karena kecintaan pada Illahi. Bukankah demikian yang diajarkan para Nabi?

Aku, dan kau dulu sering berbagi. Tak perlu dengan kata, memang. Hanya sekedar berbagi senyum, cukup membuat hati lega karena tau kau tak ada apa-apa. Atau ketika sedih itu berhadir pada ku, tak perlulah ku berkata gundah padamu, karena pastinya, kau telah paham bahwa ada resah yang sedang menggelayut hati ini. Cukuplah kau meletakkan tanganmu pada pundakku. Kau rangkul dengan hangat. Tak perlu kata, cukup hati yang sama merasa. Dan itu sangat meredakan. Atau cukuplah kau eratkan genggaman tanganmu padaku, sebagai penanda bahwa kita mampu berjalan bersama mengatasi persoalan itu…

Tak terhitung lagi kali ke berapa kita jalan berdua. Berdua saja. Sekedar menapak di jalan yang tak tentu mulus semua. Meski tak juga seindah pemandangan pantai atau gunung perbukitan layaknya kampung halamanmu, tak mengapa buatku, buat kita. Karena tiap perjalanan itu, kau selalu berkisah. Tak sering memang aku menimpali. Aku selalu menikmati kisahmu, dan tutur critamu. Banyak hikmah terbagi, banyak syukur pula yang terharui.

Sesekali, kau mengajakku mengunjungi rumah makan. Tak mahal, setidaknya, untuk ukuran seorang yang masih sekolah seperti kita ini, cukuplah mengenyangkan. Membekali energy untuk kembali beraktivitas nanti. Dan saat itu, sesekali kisah pun berhadir di antara kita. Mungkin dari ku, atau darimu. Aku menyukai hal itu.

Pertemuan, tak harus selalu saling menatap. Maka, cukuplah kudapati pesan-pesan singkatmu yang memenuhi kotak masuk hp ku. Sederhana. Bukan membahas hal yang penting, namun sesuatu yang penting untuk diterima. Pesan tausyah, sering mampir. Pun pesan tanya kabar lebih sering. Sesekali, kita saling ungkapkan rasa cinta kita melalui pesan-pesan singkat itu.

Ini bukan rentetan kisahku dengan seorang kekasih. Bukan. Ini tentang kisahku dengan seorang sahabat. Sahabat hati. Terlalu banyak nama untuk disebutkan. Namun, demikianlah adanya mereka. Tak perlu banyak tanya, karena mereka paham saat kapan kita tak ingin ditanyai. Tak perlu banyak kata, karena dia tahu saat kapan kita ingin terdiam. Tak perlu selalu bersama, karena dia tau kapan kita ingin sendiri. Tak perlu punya banyak kata cinta sayang terucap di antara kami, karena sepertinya, kami sudah saling mengerti bahwa kami saling menyayangi.

Sayang itu, cinta itu, kami harap bukan dengan alasan apapun selain kecintaan kami pada Allah. Itu saja, cukup bagi kami. Proyek-proyek kebaikan selalu kami nikmati bersama. Nasehat motivasi selalu kami bagikan satu sama lain. Ku rasa, kami sempurna. Sempurna dalam bersahabat.

Ku rasa, kami telah menjalani satu masa sempurna dalam bersahabat. Ku rasa, waktu itu, demikian. Namun, ternyata, ujian itu tak datang nihil, melainkan akan senantiasa menghampir untuk menguji kebenaran cinta dan iman kami.

Kau tau, pagi ini, aku mendengar kajian tentang ukhuwah. Ukhuwah, persaudaraan. Ia nya hanya bisa terbangun dengan satu kata, yaitu aqidah yang benar, keimanan yang baik. Baru dengannya, persaudaraan kita terbangun dengan sempurna.

Gesekan, pastilah ada, aku yakin demikian. Kemudian, aku rasakan masa berat menghampiri kami. Masa saat sapa tak lagi terasa sebagai doa kebaikan dan keberkahan. Masa saat pertemuan justru menjadi hal yang dijauhkan. Masa saat pesan singkat hanya tersampai dingin, tanpa ruh cinta yang sebelumnya ada, biasa saja. Masa saat tak lagi peluk erat dan dekap itu menjadi penguat saat salah satu dari kami sedang rapuh. Ya, masa itu. Saat tak lagi ada nasehat meluncur tulus dari aku atau darimu. Dan yang pasti, tak ada lagi kalimat, “Ana uhibbuki fillah…”, yang dulu sering aku atau kau lontarkan singkat, dengan sedikit malu dan haru…

Aku bertanya pada diriku, sebab apa yang membuatnya demikian. Hmm..Mungkin, ini akibat kerapuhan iman yang terjadi. Entah pada salah satu dari kami, aku atau kamu, atau menimpa aku dan kamu dua-duanya. Aku tak tau pasti. Mungkin memang imanku yang sedang rapuh, dan aku yakin itu. Inginku menyapamu dengan cerianya ketulusan hati ini, namun sekali lagi, tak ada hangat, melainkan, dingin. Apa yang sedang terjadi? Aku tak paham, pun kau mungkin tak juga mengerti. Tak berani ku pertanyakan, karena tak ingin membuat kita justru lebih terjauhkan. Toh, menurutmu, tak ada apa-apa. Meski aku tak sepenuhnya percaya.

Ini hanya koreksi diri saja, muhasabah diri. Mungkin memang benar, imanku sedang rapuh, berada pada level serendah-rendahnya. Hingga kata bisa menjadi hal yang menyakit. Mungkin ada baiknya, sejenak menjauh. Bukan untuk bermusuh, tapi berharap, kita punya waktu untuk saling memperbaiki iman, membuatnya perlahan naik tingkat, dan kita berjumpa pada kondisi keimanan yang lebih baik. Maka niscaya, nikmat ukhuwah yang dulu kita rasa, akan dapat kita temukan kembali.

Rumah Para Penjaga Al Qur’an
12 November 2011; 22:46

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)