curhatibu.com

Ini tentang UJIAN

Bismillahirrahmanirrahim…

Semoga tak pernah putus pujian yang kita ucapkan, dan wujudkan dalam hati dan perbuatan kita, atas setiap anugrah nikmat yang diberikan Allah pada kita. Shalawat dan salam pun tak lupa kita kirimkan, kepada Rasul teladan kita semua.

Berkisah tentang episode kehidupan manusia, saya selalu memiliki keyakinan bahwa memang, Allah telah membuat scenario yang cukup panjang, atau sebaliknya, pendek, atas kehidupan yang akan kita lalui. Ya, yakin itu ada. Pasti ada. Skenario perjalanan hidup yang pasti telah dibuat semenjak kita belum memulai kehidupan di dunia ini. Namun, sayangnya, keyakinan berikutnya sulit atau jarang kita ikuti. Keyakinan apa? Yakin bahwa setiap episodenya adalah yang terbaik untuk kita. Jadi inget ust. Salim, kita manusia hanya bertugas merencakan sesuatu, mengikuti scenario Allah. Kita bisa berencana, tapi rencana Allah lah yang mau tidak mau harus kita ikuti. Nah, tinggal hati yang diatur, apakah akan menerima dengan lapang dan ikhlas, atau sebaliknya, dengan marah dan protes pada Allah atas kisah yang tidak kita inginkan sebelumnya.

Tak banyak yang ku tahu tentang makna kehidupan. Bukan apa-apa, karena saya baru sebentar menginjak kaki di bumi Allah ini. Tak banyak pula pelajaran yang bisa saya bagi di sini. Karena memang, tak banyak hal yang saya punyai. Hanya sekedar berbagi, apa yang saya pikirkan, dan rasakan.

Sahabatku,

Saya pernah, suatu kali berfikir mengenai ujian. Ya, tau kan, hidup itu identik dengan ujian. Selama masih hidup, ya siaplah dengan ujian yang diberikan Allah. Balik lagi, ujian. Mengapa Allah harus menguji? Mengapa Allah harus memberikan ujian itu? Ujian kesusahan, utamanya, selalu menjadi hal yang menakutkan. Pertanyaan susulan lain, mengapa ujian ini diberikan kepadaku? Mengapa ini dan mengapa itu… Banyak pertanyaan seperti itu.

Ujian…
Sedih, susah, khawatir, kecewa, maupun rasa senang bahagia, merupakan hal yang pastinya akan kita rasakan, tatkala ujian itu datang. Oke, katakanlah ujian kesusahan saja lah ya… Tangis kadang menghinggapi. Wajah menjadi tak karuan, serasa lebih tua beberapa tahun saking kerasnya memikirkan ujian yang dihadapi.
Dan dalam pikiran saya, ujian itu bukan semata untuk menyusahkan kita. Masak Allah mau menyusahkan hambaNya ya?! Jadi, bilang saja, UJIAN ITU SARANA PEMBELAJARAN BERHARGA UNTUK PENDEWASAAN DIRI KITA.

Kadang iri kala melihat orang-orang yang pada usianya yang masih tergolong muda, atau lebih muda dari kita, ia nya lebih dewasa dari diri kita, yang lebih tua, misalnya. Ya, iri dengan kedewasaannya dalam bersikap, keberaniannya mengambil keputusan, ketulusannya dalam bertindak, kegigihannya dalam berjuang, ketekunannya dalam belajar, dan pastinya pencapaiannya yang begitu bagus.

Ah, saya jadi melihat hasilnya langsung ya? Padahal, di balik itu semua, ada banyak peristiwa yang telah dialaminya. Peristiwa yang di luar dugaan kita. Nyatanya memang begitu, sebelumnya, dia mengalami banyak hal yang di  luar jangkauan pikiran dan kemampuan kita.

Apa ya, mungkin begini, ujian itu tidak diterima dalam porsi yang sama, antara satu manusia dengan manusia yang lainnya. Mengapa, ya karena tingkatan manusia satu dengan yang lainnya tidaklah sama. Ada orang yang berada di tingkat kesiapan lebih tinggi, maka Allah memberi ujian yang lebih berat di banding orang yang masih level pemula. Seperti itu, selalu seperti itu.

Makanya, yang namanya ujian itu relative, apakah ia lebih berat atau ringan. Relative pada siapa yang memandang atau melalui ujian tersebut. Bisa jadi, satu peristiwa menjadi ujian besar pada satu orang, tapi dianggap sebagai masalah kecil bagi orang yang lain. Ujian berat hanya untuk orang yang berada pada tingkat lebih tinggi. Bukankah Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kemampuannya? Maka, ya begitu, jika kita merasa ujian ini berat, ya yakinlah, bahwa Allah tengah bersiap menempatkan kita pada derajat lebih tinggi, yang belum tentu orang lain bisa melaluinya.

“Turn to Allah
He`s never far away
Put your trust in Him
Raise your hands and pray”

Teringat kisah pengamen bersuara merdu, dan pengamen yang bersuara sumbang. Maka si tuan rumah akan lebih cepat memberi si pengamen bersuara sumbang dengan recehan, agar cepat pergi menghentikan lagunya. Sebaliknya, ia akan berlama-lama menanti pengamen bersuara merdu menyelesaikan satu buah lagu yang didendangkan, bahkan mungkin nambah. Dan rewardnya, bukan lagi uang recehan, melainkan uang kertas lima ribu, atau bahkan 10 ribu.  

Apa artinya? Allah tak ingin berlama-lama ‘mengurus’ manusia yang tak melakukan perintahNya, atau tak bagus ‘kualitas’ nya. Diberikanlah semua yang diinginkan olehnya. Namun, Allah ingin berlama-lama dengan hambaNya yang baik. Berduaan dalam khalwat dan tangis menghiba, dan menghamba sepanjang malam. Seperti itu. Dan di akhir nanti, akan terlihat hasil terbaik hanya didapatkan oleh hambaNya yang baik itu.

Ujian, rintangan, hambatan. Kesedihan, kegelisahan, kegalauan, kegamangan, kesusahan. Terlalu banyak! Sangat banyak, kata-kata negative yang kita anggap sering menyusahan. Ya, kita anggap itu sebagai sesuatu penghalang yang besar. Padahal sungguh, itu adalah upaya Allah menjadikan kita lebih baik. Gantilah itu menjadi senang, senyum, yakin, bahagia, tantangan, peluang, dan terakhir adalah kemenangan! Nikmatilah proses itu. Pembelajaran hidup, yang tak semua orang mengalami hal yang sama berat denganmu… dengan kita. Berbeda-beda. Mungkin, itu semata karena Allah memberikannya berdasar tingkat keimanan kita, atau Allah sedang mempersiapkan diri kita untuk berada dalam kehidupan yang mungkin lebih keras dan banyak tantangan yang harus dihadapi.

“Andalkanlah Allah…. Jangan mengandalkan diri kita! Kita, tak akan mampu. Sedang Allah, Maha Mampu. Biarlah Allah yang menyelesaikan persoalan itu di akhirnya nanti. Tugas kita, bagaimana permasalahan itu menjadi ladang amal dan pahala karena telah bersabar menghadapinya.
(panjang ya…semoga menangkap maksud saya…)

Mengenai perasaan iri kepada saudara yang lain, sudah sempat saya tuangkan dalam notes saya sebelumnya. Terkait amanah. Namun, jika terkait dengan kondisi yang ternyata berbeda 180’ antara satu dan lainnya, dan itu menimbulkan perasaan iri bahkan minder dengannya, maka tidak semestinya kita melanjutkan rasa itu. Iri hanya dibolehkan untuk 2 hal bukan? Untuk kawan yang memiliki Al Qur’an di hatinya, dan ia mengamalkan dengan baik ayat-ayat di dalamnya. Yang kedua adalah seorang yang memiliki harta, dan menginfakkannya di jalan kebenaran.

Lalu, jika iri, mengapa dia nasibnya begini, dan saya seperti ini ya? Ah, ini persoalan duniawi, benar katamu tadi. Kalau kata seorang ustadz, ‘mengapa juga kita terlalu mengkhawatirkan hal yang sifatnya duniawi belaka, padahal ada Allah yang telah menyusun kisah hidup terbaik untuk kita’

Kata seorang sahabat, “Janganlah memvonis diri kita seperti itu. Apalagi, sampai membandingkan diri kita ini dengan orang lain, yang kita tidah lebih tahu tentang dirinya. Ingat, belum tentu kita tahu siapa orang yang kita bandingkan dengan diri kita itu…”

Apalagi ya…saya jadi lupa…
Oh ya, tentang post power syndrome.. yang menyebabkan kefuturan, atau kegalauan. Hmm… saya membaca artikel bagus dari fimadani. Begini bunyinya… (copi dulu di fimadani…:p

Perasaan seperti itu adalah sesuatu yang harus disyukuri, karena hati kita ternyata masih hidup. Kalau sudah mati, maka tidak mungkin kita merasa future, karena ya kita tidak pernah merasakan iman naik. Hehe… ini kata fimadani…

“Yang pertama kali kita lakukan adalah bersyukur atas futur yang telah dikaruniakan kepada diri kita. Itu tandanya Allah masih memberikan kita nikmat perasaan berdosa, karena Dia masih sayang kepada kita. Andai Allah tidak memberikan nikmat ini, niscaya kita akan menjadi seperti Fir’aun yang kufur dan menganggap dirinya adalah Tuhan…”

“Berapa banyak maksiat yang memasukkanmu ke dalam syurga, dan berapa banyak amal ketaatan yang memasukkanmu ke dalam neraka.”

Maksudnya, sebagian perbuatan maksiat membuat pelakunya menjadi orang yang hina dina, hancur hatinya, tunduk, dan penuh penyesalan, gundah gulana dan sedih, menangis dan mengiba, beristighfar dan beramal shalih. Sehingga, penyesalan dan taubatnya itu menjadi sebab yang menjadikan dia masuk syurga.
Dengan adanya futur, berarti Allah masih memberikan kita sinyal, bahwa di hati kita ada ketidakberesan. Sehingga ketika sinyal kita tangkap, nurani kita segera mendorong diri kita untuk melakukan ishlahun-nafs atau perbaikan diri…”

Saya pikir ya, nikmati saja setiap perasaan yang datang silih berganti, sebagai karunia dari Allah. Itu karunia, lho… Bisa jadi, kita menjadi seorang yang lebih banyak bersyukur adalah tatkala kita ditimpa musibah silih berganti. Mungkin juga, kita bisa menjadi seorang yang lebih cinta pada Allah, tatkala kita merasakan kefuturan yang luar biasa. Ya, dengan keyakinan, bahwa future itu adalah sesuatu yang memang harus disyukuri, sebagaimana uraian paragfar sebelumnya.

Nikmati saja, senangmu, sedihmu, dan apapun itu… Jadi ingat lagunya maher zain,

Look inside yourselves
Such a perfect order
Hiding in yourselves
Running in your veins
What about anger love and pain
And all the things you're feeling
Can you touch them with your hand?
So are they really there?
Lets start question in ourselves
Isn't this proof enough for us?
Or are we so blind
To push it all aside..?
No..

Can't you see this wonder
Spreaded infront of you?

Apa lagi ya…
Udah kali ya… Semakin banyak saya tulis di sini, sepertinya akan semakin berat saya mempertanggungjawabkan kata-kata yang saya ucapkan. Mungkin suatu saat ini menjadi boomerang bagi saya, semoga bisa menjadi pengingat yang ampuh, karena saya sendiri yang menuliskannya.

Last…
Pesan ustadz salim, ‘Cobalah belajar untuk tahu bahwa kita itu tahu!”
Hmm…sebenarnya, kita sudah paham, tapi kita tidak mau menjalankannya. Kadang kita sudah tau jawabnya, tapi kita tak mau memasukkan itu dalam hati untuk kemudian menyadarkan kekhilafan di dalamnya.

Sebenarnya kita tahu bahwa diri kita mampu bertahan, namun terkadang kita begitu mudahnya tertipu dengan kata-kata dan sikap dari diri sendiri atau lingkungan yang malah justru melemahkannya…

Nasehat terbaik adalah dari diri kita… Tanyakan pada hati.. itu fatwa terbaik… Namun, terkadang, hati itu kotor, sehingga yang terdengar adalah derit jeruji penjara nurani yang tengah berkarat. Maka bersihkanlah hati kita, dengan Al Qur’an…

Sebaik-baik tempat mengadu hanyalah Allah. Mengadu kepada manusia, mungkin bisa membantu mengurangi resah, dan beban, tak mengapa. Tapi, berhati-hatilah, karena bisa jadi, tak semua feed back dari sahabat cerita kita itu sesuai dengan yang kita maksud dan kita inginkan. Serahkan semua nya, kembali pada Allah… Dialah yang akan memberi kita petunjuk… Berkisahlah pada sesama, untuk membagi hikmah, boleh juga persoalan, atau kebahagiaan. Mungkin dia mampu mengambil pelajaran pula dari yang kita kisahkan.

Seperti itu saja… terlalu panjang, maaf jika tidak banyak membantu… Tapi, saya selalu senang jika ada sahabat yang mau membagi kisahnya padaku. Entah itu kisah suka, ataupun duka. Karena dari mereka, banyak pelajaran dan hikmah yang bisa kupungut. Bahkan kukisahkan kembali, agar hikmah itu semakin meluas. Semoga mampu demikian… 

Wallahu alam..
Jurangmangutimur, 2 November 2011

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)