curhatibu.com

Saya ingin Seperti Khalid


Saya ingin seperti Khalid. Ia, dengan ikhlasnya yang tulus, lurus hanya mengharap ridhaNya. Ia, dengan perjuangannya yang penuh totalitas. Ia, dengan ihsannya yang menguatkan. Karena cinta Allah yang telah didapatnya, membuat ia bergerak dengan menyebut nama Allah, bukan nama khalifah Umar yang saat itu berkuasa, atau nama-nama lainnya.

Saya ingin seperti Khalid. Ia, tak peduli sebagai pimpinan atau bawahan, panglima atau prajurit, raja atau rakyat biasa. Tak pedulikan semua itu. Karena ia hanya punya satu niat perjuangan karena Allah. Begitu murni langkahnya…

Inginku seperti itu. Dan nyatanya, itu tak mudah. Karena kualitas ku jauh darinya. Meski ia langsung merasai medan perang dan sedikit duduk dalam majelis Rasul. Apalagi aku? Ah, memang tak layak membandingkan diri ini dengan mereka, sahabat dan orang-orang yang namanya dicatat dalam sejarah. Mereka pahlawan sejati, itu yang dicatat, meski tak sedikitpun ada harapan pengabadian dalam hati mereka. Ikhlas bukan?

Lalu saya (kita)? Bekerja untuk dikenal, bekerja untuk ditatap, bekerja untuk dipuji, bekerja untuk apalagi?

Saya teringat dengan apa yang disampaikan oleh Ust. Anis Matta dalam bukunya Mencari Pahlawan Indonesia, “Di antara keajaiban hati para pahlawan mukmin sejati adalah cara mereka mengapresiasi karya mereka. Mereka tidak pernah memandang karya-karya mereka secara berlebihan, tetapi mereka juga tidak pernah meremehkan pekerjaan-pekerjaan kecil yang mereka lakukan”

Hehe… koq jadi tidak nyambung ya? nyambung koq..
Ini lagi-lagi mungkin tentang keikhlasan. Ikhlas berjuang di manapun posisi kita. Ikhlas juga dengan setiap yang ditugaskan padanya, yang menjadi tanggung jawabnya. Tak lagi begitu peduli dengan kecil besarnya tanggung jawab itu. Heran, kadang masih saja ada yang mempermasalahkan besar kecilnya amanah. Atau memperhitungkan hal tersebut untuk menilai jumlah pahala yang diterima atau kedudukannya di sisi Allah. Hal itu kan masalah prerogative Allah, yang tidak semestinya kita sok tahu mengukur hal tersebut pada orang lain.

Berkenaan dengan hal tersebut, sebenarnya lebih sering berkait dengan hati kita. Ya, hati kita, pikiran kita lah yang sering melakukan itu. Entah kita “menuduh” orang lain atau “memvonis” diri kita sendiri. Yang akhirnya, kita hitung-hitungan! Kita hitung diri kita berdasarkan hal besar kecilnya amanah yang kita dapat, posisi yang kita tempati, atau besar kecilnya kerjaan kita. Jika kita merasa amanah, posisi dan tugas kita besar, berbanggalah hati kita, apalagi kalau dapat tugas menuliskan riwayat kepanitiaan atau organisasi. Ah, rawanlah hati ini untuk tidak berbangga diri. Sebaliknya, jika posisi, amanah, dan kerjaan yang diberikan pada kita itu kecil (pada anggapan kita), mengkerdillah totalitas perjuangan kita. Dan tumbuh pulalah penyakit hati lain, “Seharusnya, saya yang memegang amanah itu… Saya yang layak dan sudah punya pengalaman berada pada posisi itu….”. Jadilah itu sebagai alasan ketidakberesan kerja kita. Padahal, jika diberikan amanah yang (kita anggap) besar itu belum tentu beres juga, meskipun kita merasa bisa.

Maka saya senang dengan bagaimana Khalid ber-ikhlas untuk hal ini, dan bagaimana Ust Anis membahasakan hal ini, “Di antara keajaiban hati para pahlawan mukmin sejati adalah cara mereka mengapresiasi karya mereka. Mereka tidak pernah memandang karya-karya mereka secara berlebihan, tetapi mereka juga tidak pernah meremehkan pekerjaan-pekerjaan kecil yang mereka lakukan”

Rumah Cahaya, Hafshah’s Room
24 November 2011

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)