curhatibu.com

"Hari saya (tidak lagi) menangis.."

"Ya Allah, hari ini saya menangis...
Sedih rasanya amanah sebesar itu dibebankan pada orang yang masih rapuh
Kurang di sana-sini, juga masih belajar mengatur diri
Terlebih lagi ia yang bertanggungjawab atas keberlangsungan regenerasi,
padahal dirinya sendiri adalah bagian dari degradasi" (dari blog http://khansa-khairunisaa.blogspot.com/2011/10/ya-allah-hari-ini-saya-menangis.html )


Hehe...(lhoh? malah senyum senyum...)
Ya, bagaimana tidak senyum senyum..? Sepertinya paragraf singkat di atas ditujukan untukku. 
Haa..kenapa malah senyum-senyum? Bukankah harusnya saya ikut menangis??
Ya, sudah terlampau sering saya menangis karena ini...

Saya, masih teramat rawan dari zona degradasi. Berkali jatuh putus asa tanpa tahu arah. Keinginan keluar, kabur, pergi dan menutup semua agenda yang selalu berbayang-bayang dalam pikir, sering terjadi.

Ah, mengatur diri saja susah. Masih dalam tahap pemula. Namun, sudah disuruh mengatur orang lain. Bukan hanya orang lain (biasa), tapi terkait kebelangsungan dakwah yang ada di kampus. Hhe..meski cuma prajurit, tapi secara singkat, demikianlah yang semestinya menjai tanggungjawabku. 

Berkali kusampaikan rasa tak mampu, namun, rupanya tak ada jalan mundur. Saya memang harus tetap maju. Tetap berjalan, meski saya tahu, sangat terseok. Rasa takut atas mudharat yang justru menjadi lebih banyak (besar) daripada manfaat yang akan didapat dari ketidakpahamanku memegang amanah ini sering terjadi. Ah, dan kau tahu, sudah cukup sering itu terjadi. 

Dan saya bertanggungjawab terhadap kebelangsungan regenarasi. Hei? Ini terkait kaderisasi? 
Makanan apa lagi itu? Baru saja saya mengenal kata itu tak berapa lama, sudah harus saja berada di dalamnya. 

Tuntutan segera hadir. Yang tadinya tak paham, segera saya mencoba satu demi satu kata mencari kepahaman. Meski akhirnya sampai akhir 'jabatan', belum banyak juga hal yang saya paham. 

Baiklah.... Maka kemudian, saya cukupkan tangis saya. Sesal itu, tak semestiinya terus ada. He, saya ingat, setiap syura pertanggungjawaban di akhir 'jabatan', selalu ada tangis yang keluar membasahi pipi saya. Bukan keharuan karena sebuah kesuksesan memegang amanah, bukan pula kelegaan karena sudah tidak lagi ter'beban'i dengan tambahan pertanyaan di hari pertanggungjawaban nanti. Oh, bukan karena itu. Melainkan, karena sesal mendalam. Sungguh, sesal mendalam. Betapa kurang cepat nya diri belajar. Betapa diri kurang mampu mengatur emosi dan membentuk prestasi atas sebuah amanah. dan sebagainya. Maka cukuplah itu saja, tangis yang keluar...untuk bab ini.

Biarlah sekarang, hanya ada rasa syukur dalam hati. Mengapa begitu?

Ya, Allah begitu baik pada saya...
Saya, dengan segala kekurangan, aib, noda, dosa...

Dan Ia menutupnya. Menutup segala keburukan dari diri saya. Menutup segala aib yang saya punya. Menutup kurangnya saya dalam banyak hal. Hingga yang nampak adalah kebaikan, hingga membuat mereka (para pendahulu) mempercayakan amanah besar kepada saya. Ah, coba ada satu saja aib yang dibuka oleh Allah kepada mereka, niscaya, nama saya langsung dicoret dari daftar penerima sebuah amanah. 

Ya, Allah begitu baik pada saya...
Saya, dengan segala keterbatasan ilmu yang saya miliki...
Saya, yang baru sebentar saja mengenal hal-hal terkait tarbiyah ini...

Dan Ia menginginkan saya belajar. Ini adalah caraNya mentarbiyah saya. Mungkin, jika bukan dengan jalan ini, saya tak akan lebih cepat dari yang sekarang saya dapatkan. Sungguh, begitu banyak yang Allah inginkan saya belajar melalui beban amanah yang diberikanNya pada saya. Dan inilah, saya hanya ingin mensyukurinya. Saya tidak tahu, apakah saya akan mendapatkan amanah serupa, sehingga saya bisa 'membuktikan' pada Allah kalau saya (semoga) bisa mengelola lebih baik dari sebelumnya, atau sebaliknya. Tapi bagaimanapun, inilah cara Allah mentarbiyah saya. 

Karena di sini saya bertemu dengan banyak murabbi. Murabbi yang (meskipun) bukan murabbi saya (sesungguhnya), ia (mereka) selalu memberi satu dua pelajaran untuk saya. Nasehat singkat, kisah menawan, teknik yang sistematis dan jitu, diskusi berujung solusi, meski sering juga debat tercipta tak mencipta jawaban,  dan jalinan ukhuwah yang luar biasa menjaga. 

Banyak yang saya temui, dan membuat saya belajar. Semoga seperti itu, akan berlangsung selalu. Hingga saya akan tetap berada di jalan ini, meski (sekali lagi) harus terseok dengan segala keterbatasan saya. Tapi saya yakin, bahwa setiap kesulitan, setiap tantangan, yang diberikan Allah itu adalah sarana kita belajar. Ya, meskipun terkadang perasaan ketidakpantasan diri atas amanah tersebut, seringkali muncul.

Hmm...saya jadi ingat, pesan seorang wanita karier yang telah sukses menjadi direktur sebuah Bank. Saya bertemu di rumah sakit. 

"Kuncinya itu dedikasi tinggi, dan loyalitas. Kesetiaan. Jadilah sosok yang selalu ada, ketika yang lain tidak ada. Mungkin awalnya, kita merasa kagok dengan kerjaan yang tiba-tiba diberikan kepada kita (karena hanya kita yang ada di situ), namun justru setiap kita mau menerima kerjaan itu, berarti kita belajar. Semakin banyak kita disuruh, semakin banyak hal yang kita pelajari. Semakin banyak hal yang kita dapatkan. Dan itulah yang akan menghadirkan sebuah kepecayaan pada kita (meski awalnya) yang tidak tahu apa-apa. Milikilah kesetiaan terhadap pekerjaanmu. Jangan mudah bosan, menyerah, putus asa. Lakukan saja, dan galilah ilmu dari sana. Karena itu lah cara Allah mendidik kita... Insya Allah, jika kita sanggup, kita akan menjadi seorang yang sukses, yang bermanfaat"

Pagi-pagi di Blora, setelah baca blog kawan...terinspirasi deh...*menulis menulis menulis

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)