curhatibu.com

Saya Dengar, Saya Mengerti,... (Sudahkah kita be-empatik? - 2)


"Kebanyakan orang tidak mendengar dengan maksud untuk mengerti, mereka mendengar dengan maksud untuk menjawab. Mereka entah berbicara atau bersiap untuk berbicara. Mereka menyaring segalanya melalui paradigma mereka sendiri, membacakan autobiografi mereka ke dalam kehidupan orang lain"

Oh ya, berbicara tentang empatik, yang pertama ingin saya sampaikan (berdasarkan apa yang saya dapat dari buku ini). adalah tentang mendengar. 

Banyak sekali pelatihan public speaking, tapi jarang ada pelatihan mendengar. Apalagi mendengar dengan empatik. Membaca bagian ini, membuat saya kembali berkelana pada beberapa kisah yang pernah saya rasakan dan lakukan terkait pelajaran mendengar. Dan sepertinya, kutipan di awal tulisan adalah yang (sering) saya lakukan.

Saat ada seorang kawan berkisah tentang dirinya, saya diam. Saya diam, kemudian mendengarkan dengan seksama kata demi kata yang diucapkan. Ditambah dengan ekspresi senyum jika hal yang menyenangkan ia kisahkan, dan raut sedih jika ada hal yang tak mengenakkan perasaannya. Tak jarang dari mulut saya terlontar satu dua patah kata, "Ohh,,begitu...?", "Jadi, kamu bla bla bla?", "Hmm..." (sambil angguk-angguk). Dan terakhir, saat ia melontarkan pertanyaan, "Menurutmu, apakah saya sudah melaksanakan hal yang benar?", atau "Jadi, kira-kira apa yang semestinya saya lakukan ya? saya tidak tahu..."

Dan saya...bingung. Seolah, tidak ada hal yang saya tangkap dari pembicaraannya tadi, dan akhirnya, saya diam, tanpa tahu apa yang harus saya sampaikan sebagai solusi. "Lhoh, koq tadi angguk-angguk?"

Di lain waktu (melihat pengalaman saya sebelumnya), ada kawan lagi berkisah. Kali ini, fokus saya, tidak lagi pada setiap kata yang disampaikan. Fokus saya pada beberapa bagian (yang menurut saya) bermasalah. Maka ketika ia menyampaikan hal itu, langsung otak saya berpikir apa yang harus saya sampaikan nanti untuk menanggapi bagian (masalah) itu. Oke, satu poin dua poin tiga poin... Selesai.

Di akhir, saya sudah siap menyampaikan poin-poin yang sudah saya simpan tadi. Oke, saya sampaikan, "Untuk yang permasalahan pertama tadi, sebaiknya kamu bla bla bla....", "Kalau yang ini, apa yang kamu lakukan itu salah...saya pikir kamu harus lebih bla bla bla....", dan seterusnya. 

Kemudian, apa yang dikatakan oleh kawan saya, "Jadi begitu ya, baiklah. Trimakasih ya sarannya...". Ada yang ganjil dalam pernyataannya. Dan belakangan, saya baru tahu, bahwa dia hanya ingin didengar. Belakangan, saya baru tahu, bahwa sebenarnya yang dihadapi tidak seperti yang saya bayangkan. Pun apa yang saya solusikan padanya itu adalah sesuatu yang sangat bertolakbelakang dengan kondisinya, dan tak akan mungkin mampu menyelesaikan masalahnya. 

"Ketika orang lain berbicara, kita biasanya "mendengarkan" dalam salah satu dari empat tingkat. Kita mungkin MENGABAIKAN orang itu, tidak benar-benar mendengarkannya. Kita mungkin BERPURA-PURA, "Ya, Hmm...Benar". Kita mungkin MENDENGAR SECARA SELEKTIF, mendengar hanya bagian-bagian tertentu dari percakapan. Kita sering melakukan ini sewaktu mendengar celotehan terus menerus dari anak prasekolah. Atau kita mungkin MENDENGAR SECARA ATENTIF, menaruh perhatian dan memfokuskan energi pada kata-kata yang diucapkan. Tetapi sedikit sekali dari kita penah mempraktekkan tingkat kelima, bentuk tertinggi dari mendengar, yaitu MENDENGAR DENGAN EMPATIK"


Jadi, baiklah, bagaimana mendengar secara empatik itu?

"Mendengar secara empatik- mendengar dengan maksud mengerti. Mendengar secara empatik masuk ke dalam kerangka acuan orang lain. Anda memandang keluar melewati kerangka acuan itu, anda melihat dunia dengan cara mereka melihat dunia, anda mengerti paradigma mereka, anda mengerti bagaimana perasaan mereka. "


Tidak lagi kita harus fokus pada kata-kata (verbal) yang disampaikan. Tidak lagi harus fokus pada apa yang akan kita sampaikan nantinya. Tapi datanglah padanya dengan masuk pada cara dia memandang suatu permasalahan, cara dia melihat dunia, paradigma hidupnya, kondisinya, pembicaraan (non) verbal nya. Karena dari sana, kita akan lebih mampu mengertinya. Kita akan tahu apa yang sebenarnya dia inginkan. Pun setiap respon yang muncul dari diri kita padanya, adalah sesuatu yang tepat untuk nya. Karena secara tidak langsung muncul atas ke-mengerti-an kita atas apa yang disampaikannya. 

"Saya benar-benar berusaha menempatkan diri dalam posisinya. Saya berusaha mengungkapkan dengan kata-kata kebutuhan dan kekhawatirannya, dan ia mulai bersikap terbuka. Semakin saya merasakan dan mengekspresikan hal-hal yang membuatnya khawatir, hasil yang diantisipasi, semakin ia bersikap terbuka (tentang dirinya)."

Maka, -ingat tentang kacamata- bahwa jangan memaksa orang menggunakan kacamata kita untuk menangani masalah penglihatannya. Belum tentu pas. Tapi, cobalah, kita mengerti permasalahannya, dan berikan kacamata yang tepat untuknya. Berikan penanganan yang tepat untuknya. 
<photo id="1" />

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)