curhatibu.com

Sekolah Strategi Indonesia dan Kang Asep


Di suatu hari yang cerah di kota Jakarta, kang Asep sedang berada di dalam bis kota. Dia berjalan mendesak-desak di dalam bis di antara kerumunan penumpang, hendak mencari pintu keluar. Tujuannya sudah terlihat: Terminal Lebak Bulus. Kang Asep sudah bersiap di pintu bis sambil salah satu tangannya memegang tas punggungnya yang berat. Laju bis yang perlahan dan sepoi angin kota menghembuskan rambut kang Asep bak artis di iklan sampo. Beberapa jurus kemudian, bis sudah semakin melambat dan hampir berhenti.

Dari samping pintu bis, seorang pria berbadan besar menghadang pintu keluar. Sekarang bis sudah benar-benar berhenti, dan kang Asep secara reflek melepas pegangan tangannya dari pintu, melompat ke luar bis.
“Hup!”
Lalu, terjadilah peristiwa itu.

Tak sengaja kaki kang Asep menginjak kaki sang pria berbadan besar. Langsung kang Asep didorong begitu saja. “Argh!!!”, begitu kedengarannya. Lalu kemudian, belum selesai kang Asep memperbaiki posisi berdirinya,  terdengar lagi teriakan semacam nama binatang, “Anj*** #%@#$lu!!!” 

Terlihat sebuah jari telunjuk besar ditujukan ke tempat kang Asep berdiri. Jari-jari di tangan yang lain masih memegang kaki yang tadi kena injak.

Kemudian, kejadian selanjutnya terjadi begitu cepat.
Refleks, kang Asep menunduk berjongkok menghindari tunjukan itu. Lalu, “Guk guk!”. Terdengar suara kang Asep yang sekarang terlihat menggoyangkan badannya ke depan-belakang. Mirip anjing kecil.

Karena melihat respon yang sangat aneh itu, sang pria berbadan besar seketika itu juga melongo.

Tak sampai satu detik setelahnya, kang Asep berdiri lagi. Kali ini dia mendekat ke arah pria besar yang masih memasang muka tak percaya.

“Maaf, Pak...” kata kang Asep sambil agak membungkukkan badan. “Permisi....”
Kemudian dia berbalik, dan berjalan, pergi dengan santainya. Rambutnya kembali tertiup angin kota, bak di iklan sampo.

Sang pria berbadan besar mengerjapkan mata, masih dengan muka bingungnya.

=============================================================

Ah, selamat datang di SSI! Kembali lagi dengan kami, sekarang kita masuk di sesi Basic Training ya, teman-teman.

Bagaimana menurut temen-temen cerita di atas? Btw, itu bukan cuplikan cerpen remaja. Itu adalah kisah nyata yang disampaikan oleh pembicara ke II SSI, Pak Darmawan Aji.

Sesi kali ini, tentang realitas eksternal dan realitas internal. Apa itu? monggo dibaca.



Realita: di Luar atau di Dalam?

"Setiap orang hanya menanggapi apa yang ada di kepalanya, bukan realita yang sebenarnya"

Sebelumnya kita perkenalan dulu dengan dua hal ini. Oke? >>

Dalam berkomunikasi, terdapat istilah ‘Realitas Eksternal’. Yaitu kejadian yang sebenarnya terjadi di dunia nyata. (Untuk sederhananya, sebut saja kenyataan)
Kejadian nyata itu masuk ke dalam pikiran melalui panca indra kita; melalui apa yang kita lihat, dengar, cium, rasa, atau sentuh.

Nah, Informasi nyata itu kemudian diolah di pikiran kita menjadi ‘Realitas Internal’. Yaitu kejadian yang kita anggap terjadi di dalam kepala kita. (Untuk sederhananya, sebut saja persepsi, pemahaman, cara pandang).
Persepsi inilah yang kita pakai sebagai dasar untuk menanggapi suatu kejadian. Karena persepsi tiap orang berbeda-beda, maka setiap orang bisa menanggapi kejadian yang sama dengan cara yang berbeda-beda.

Lalu, apa yang membuat persepsi tiap orang bisa berbeda-beda? *tanya*

Tentu saja, pengetahuan dan pengalaman.

Kebanyakan orang-orang tua—bukan semuanya—sudah mengetahui lebih banyak hal dan mengalami lebih banyak kejadian daripada anak muda. Pengetahuan dan pengalaman itu diolah dalam pikiran mereka, menjadi suatu pemahaman tertentu yang lebih luas atau lebih mendalam. Karena itulah, mereka sering kali dapat bersikap lebih bijak daripada anak muda.

Ya ya...

Dalam buku Man’s Search for Meaning, Victor Frankl, seorang psikiatris mantan tahanan Nazi (Nazi yang konon memperlakukan tahanannya dengan kejam selayaknya binatang), menulis tentang adanya dua golongan tahanan yang merespon tekanan (hukuman) dengan cara yang berbeda.Ada tahanan yang merasa putus asa, sehingga dia benar-benar bertindak seperti binatang. Ada tahanan yang tetap bisa bersikap baik walupun berada dalam tekanan.

Perhatikan.

Kenyataan yang terjadi adalah adanya 'serangkaian kegiatan fisik yang ditugaskan oleh beberapa orang berbadan besar kepada orang-orang yang berada dalam tahanan'

Persepsi golongan tahanan pertama terhadap hukuman itu adalah sebagai suatu tekanan dan penderitaan. Karena itu, mereka meresponnya dengan rasa putus asa yang menyebabkan mereka benar-benar memperlakukan diri-sendiri seperti binatang.

Sedangkan persepsi golongan tahanan kedua terhadap hukuman itu, mungkin, sebagai suatuganjaran yang layak mereka terima. Karena itu, mereka meresponnya dengan tetap bersikap baik, membuat diri mereka sendiri tetap waras, tetap merasa bahagia walau dalam tekanan.

Nah (lagi), dari situ kita bisa belajar bahwa ketika seseorang sudah memahami bagaimana otaknya memproses suatu kejadian, dia akan bisa objektif dalam menanggapi kejadian yang ada di sekitarnya.

Sepakat? sepakat.

Poin penting dari pelajaran ini adalah bahwa setiap orang sebenarnya merespon persepsi atau cara pandang mereka sendiri, BUKAN merespon kenyataan yang sebenarnya terjadi. So, penting bagi kita untuk memperkaya wawasan, pengetahuan, dan/atau pengalaman, agar kita bisa memperkaya cara pemahaman kita, dan merespon dengan lebih bijak (walaupun kita masih muda :)).


Nah, temen-temen sudah bisa menebak, kenapa Kang Asep bisa punya respon seperti di atas? Ada yang mau nyoba menganalisis realitas eksternal dan realitas internal (nya Kang Asep) di atas?
kami kasih jempol deh. hehe *serius

:))

itu aja dulu. Terima kasih sudah mengikuti sebagian sesi II SSI

Salam objektif!

(diambil dari resume panitia SSI)

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)