curhatibu.com

Becak Cahaya di Alun-Alun Blora

Penulis: Nur Syamsudin
Editor: Adhwa F. Annada

Namanya entah apa. Yang jelas bentuknya mirip odong-odong, tetapi bukan. Bukan odong-odong. Tidak lain dan tidak bukan, karena tempat duduknya tidak bisa maju mundur sendiri layaknya odong-odong.

Anak-anak boleh jadi suka odong-odong karena gerakan ‘khas’ tempat duduknya. Namun, khusus yang satu ini mereka kemungkinan tidak suka. Alasannya sederhana. Bikin capek. Karena secara fungsi, ia adalah becak. Dan becak identik dengan upaya mengantar satu atau dua orang dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara dikayuh, beroda lebih dari dua. Nah, lho.

Becak unik aneh ini terparkir rapi di sudut timur alun-alun Blora -sebuah kabupaten kecil di timur propinsi Jawa Tengah-. Bukan hanya unik karena bentuknya yang mirip odong-odong, becak-becak ini juga menarik perhatian melalui balutan lampu warna-warni yang menghimpit kerangkanya. Bahkan, bagian belakang becak membentuk gambar bercahaya yang berbeda-beda antara becak satu dengan yang lain. Ada becak dengan gambar hati, gambar kelinci, lumba-lumba, dan lain-lain. Alhasil, makin gelap langit Blora, makin laris becak itu disewa. Tentu jadwal sewa pun tidak sembarangan. Sabtu Ahad adalah hari baik buat mangkalnya becak-becak unik ini. Hari dimana muda-mudi menikmati liburan mereka.

Becak unik ini dipasarkan dengan cara dikontrak oleh pelanggan. Model pengontrakannya pun unik, yakni berupa hitungan putaran mengitari alun-alun.

“Sepuluh ribu, tiga puteran mas!”, Ucap pengojek becak menawarkan tarif ke pelanggannya.
Pelanggan tidak boleh satu orang saja. Karena mengayuhnya diperlukan kebersamaan. Maka tak jarang, muda-mudi, para anggota geng, bahkan sekumpulan pemuda galau, begitu asyik menikmatinya. Mengitari alun-alun, merasakan dinginnya malam Blora.

Dari segi kapasitas, maksimal penumpang adalah 6 orang. Dengan formasi ideal 2-2-2 (depan-tengah-belakang), satu orang memegang kemudi utama di tengah, sekaligus pengayuh. Satu lagi di tengah sebagai pelapis pengayuh sekaligus navigator. Selebihnya, mereka adalah penumpang-penumpang yang bisa saja membantu kedua pengayuh inti untuk mengayuh pijakan kayuh di bawah tempat duduk mereka. Namun, pilihan kedua terasa lebih menyenangkan, yakni mangkir alias duduk manis tanpa dosa, pura-pura mengayuh.

***

Pada suatu malam, di pertengahan Bulan Syawal. Purnama membundar di balik balutan awan. Bukan awan berarak, melainkan awan tipis yang tetap merelakan silau purnama menebar ke penjuru alam. Lihat purnama bundar kemuning di atas sana. Indah membelai pandangan. Ia seolah melotot dari kejauhan. Tak kalah cemerlang dari lelampu yang bertebaran sejauh mata memandang vertikal.

Bagi siapapun yang dimabuk asmara, betapa indah dan romantisnya suasana malam itu. Apalagi jika mabuk asmara itu diinterpretasikan dengan berkendara bersama, mengayuh becak unik ala Blora. Makin romantis. Namun, tidak ada yang tahu, makin diridhai Allah-kah romantisme mereka itu?

Dari kacamata gaib, tak ada kata romantis, tak mengenal makna ridha Ilahi. Dari kacamata gaib, misi pencarian kawan ke neraka sudah bukan rahasia lagi di mata manusia. Dan dari kacamata gaib pula, mereka turun beriringan. Berbuncahkan motivasi kejengkelan bertubi-tubi akibat pengekangan bulan sebelumnya –Ramadhan-. Ya, mereka datang ke alun-alun Blora. Membuat masalah. Mengemas makna romantisme semu, menghunjam miris dalam angan-angan manusia. Hm... Siapakah mereka yang dimaksud itu? Mari olah TKP.

“Pasukaaan! Siap menyebar!”, Gertak sang komandan pasukan. “Kompi Satu, fokus ke muda-mudi berduaan di bawah pohon besar dan lesehan di atas rerumputan alun-alun! Kompi Dua, fokus ke anak-anak galau yang suka ribut dan hobi mengganggu orang! Kompi Tiga, berangkat dan ikuti kemanapun becak unik itu bergerak. Ada potensi romantisme semu yang bisa membuat angan-angan mereka terus berbuncah-buncah! Lupakan pikiran mereka dari mengingat Tuhan. Manfaatkan waktu mereka agar tersia-sia dalam bisikan kita! Hahaha!”

Komandan lantas mempertegas suaranya, “Perhatian untuk Ketiga kompi, Segera Jalankan!”
“Siaap komandan!”, ucapan bertubi-tubi terdengar saling silang di segala penjuru malam, menandakan betapa banyaknya jumlah pasukan per kompi dan betapa bersemangatnya mereka dalam menjalankan misi.

Misi pun dieksekusi. Para kompi pasukan menyebar. Hasilnya sudah mampu ditebak. Nyaris berhasil.
Dari pergerakan Kompi Satu, beberapa pasukan sukses membisikkan keburukan ke dalam darah muda-mudi berdua. Akibat yang ditimbulkan, syahwat manusia menanjak menguar. Teringat pesan Nabi 1400 tahun berselang. Beliau Saw sempat membandingkan betapa sakitnya jarum besi yang ditancap di kepala dengan bersentuhannya kulit muda mudi bukan mahram (1). Kondisi kali ini sangat berbeda dari sabda Beliau. Coba lihat! Mudah sekali para muda-mudi itu bersentuhan di antara lekak-lekuk jemari tangan. Ada yang tangannya melingkar di pinggang nyaris mengelus-elus. Rambut dibelai menjatuhkan para ketombe tak terjamah pandangan. Pipi disentuh-sentuh, disebandingkan dengan rembulan bundar. Tak tahu apa, kalau dari dekat, rembulan itu sejatinya berwajah kasar. Penuh kawah, penuh tebing, penuh lembah landai. Masa’ dibandingkan dengan pipi manusia?

Untaian kata pun sukses dibisikkan pasukan spesialis penyair. Lelaki culun mendadak pintar bersilat lidah. Mendegupkan hati para wanita. Bukan karena si amora yang sukses menyarangkan panah asmara. Lebih tepatnya, si pasukan-lah yang sebetulnya sukses merobek-robek hati wanita, menjauhkan memori nikmat Tuhan yang lebih layak tuk diingat-ingat. Mengoyak hati untuk berdesir secara semu.
Kembali bicara syahwat, maka syahwat pun menanjak menguar. Bukan tercakup dalam koridor garis Tuhan yang dibatasi keridhoan-Nya. Namun, justru menginspirasi para pasukan dalam balutan senyum dan tawa. Membuat kekuatan mereka kian berlipat-lipat. Kian menakutkan.

Pergerakan Kompi Dua tak kalah lihai. Percandaan yang keterlaluan tercitra dari interaksi para pemuda yang berjalan tak tentu arah. Galau hati mereka, seolah sedang haus darah mencari korban. Lebih tepatnya, mencari lampiasan atas amarah, kekesalan, juga waktu luang yang dikaruniakan Tuhan untuk mereka. Ironis bukan? Yaah, begitulah mereka. Mereka yang identik dengan rokok, tatto, rambut punk, celana jeans bolong-bolong, dan tertawa-tawa tanpa alasan jelas. Yang jelas, apa yang mereka lakukan bukanlah tercakup dalam koridor garis Tuhan yang dibatasi keridhoan-Nya. Namun, justru menginspirasi para pasukan dalam balutan senyum dan tawa. Membuat kekuatan mereka kian berlipat-lipat. Kian menakutkan.

Pergerakan Kompi Tiga? Tak mau dikata. Pasukan di kompi ini justru memiliki azzam yang paling fenomenal. Mereka adalah pasukan yang paling bersemangat. Itu karena pasukan kompi Tiga diiming-imingi bonus berlebih. Hm… Atas apakah? Atas bisikan sukses di dalam becak unik yang membuat manusianya lupa waktu, membuat stamina turun akibat berlelah-lelahan berdua, dalam balutan romantisme semu, hingga keduanya memboroskan waktu kelelahan hingga fajar tiba. Lewat waktu Subuh. Bonus berlipat di kompi tiga, menugaskan pasukan agar berusaha menyamarkan kecapekan dalam keasyikan bergenjotan membecak. Seolah alun-alun ini milik berdua. Seolah, jalan mengitari alun-alun adalah jalan cinta para pecinta sejati. Samar dan mematikan iman. Bagi pasukan demon, Bonus atau tanpa bonus, efeknya tetap sama. Namun, justru menginspirasi para pasukan dalam balutan senyum dan tawa. Membuat kekuatan mereka kian berlipat-lipat. Kian menakutkan.

Namun, demikian! Ada saja rencana Allah.

“Lapor kom...komandan! Hosh hosh hosh!”

Salah seorang pasukan kelelahan. Ia tampak kehabisan energi. Lebih detail, ia lunglai, letoy, lemot, kurus kerontang, keringat bersimbah di sekujur tubuh, muka murung, jelek, tak berbentuk  (memangnya, pasukan demon ada yang tampan ya?). Hey... Ada apa gerangan dengan pasukan yang satu ini?

“A.. Apa yang terjadi? Kenapa kau bisa seperti ini?”, Ujar penasehat komandan demon. Sementara itu, sang Komandan belum bertutur. Ia masih jaga imej. Sok cool -padahal takut- menatap tajam sosok pasukan yang mengenaskan itu.

“Aku salah sasaran, komandan. Aa… Aku kalah. Ddd… Di sana. Di sana ada yang berbeda! Ddd… Di becak itu! Hkkzz….(tercekat)”, Pasukan yang satu ini seperti sedang sekarat saja.

“Utus Pasukan Pemonitor. Kirim informasi, siapa penunggang becak itu! Berani-beraninya ia memperlakukan pasukanku seperti ini!”

“Baik. Segera laksanakan, komandan!”, Tegas sang penasehat.

Pasukan pemonitor pun diberangkatkan. Ia tak dibekali amunisi. Namun, ia memiliki kemampuan berupa telinga yang lebar, mata yang besar, dan kaki yang panjang. Ia bisa mendengar dan melihat dari kejauhan. Kakinya bisa ia pakai untuk mengiringi ke mana saja arah jalan becak misterius.

Setelah terbang meninggi, pasukan pemonitor tak perlu waktu lama untuk menemukan sensor ruhyah yang kuat di dalam sebuah becak. Ia dapati becak itu. Ia iringi dengan kemampuan pemantauan yang dimilikinya. Kakinya yang panjang ia gunakan untuk mengiringi jalan si becak. Telinga dan mata dioptimalkan dalam jarak yang cukup jauh. Hm… Masalahnya, kalau dekat-dekat, ia bisa tersetrum ruhyah yang membuncah di dalam becak.

Mata pemantau melotot tajam. Sekilas ia penasaran, kenapa becak ini begitu istimewa. Sekelebat, telinganya bergerak-gerak. Terdengar beberapa interaksi kedua pasangan di dalam becak yang dipantau.

“Dek, gini lho. Filosofi becak ini”, Ujar si suami sambil terus mengayuh becak. “Mas akan mengayuh sejauh becak ini menjejaki jalinan waktu. Kita ibaratkan becak inilah istilah dari bahtera pernikahan. Nah, adek ga perlu mengayuh. Adek hanya perlu pegang rem saja ya. Ketika jalan mas tidak lurus, atau mau nabrak apa gituh, adek tinggal tarik tuas remnya. Seperti ini… Ciiittt (sambil memegang tuas rem ala becak). InsyaAllah, becak pernikahan kita tak akan salah jalan. Yaa?”

Pemantau mencatat info penting dari interaksi yang muncul di becak itu. Info penting yang pertama adalah; becak itu berbeda karena di dalamnya berisi dua muda-mudi yang ternyata sudah menikah.Si pemantau terus menjalankan tugas memantaunya…

“Bukan begitu mas!”, Ujar si adek sambil menyentuh tangan si mas di tuas rem. Mendadak si pemantau merasa panas. Panasnya makin lama makin mendidih, membuat pemantau perlu menjauh lagi dari becak kedua pasangan itu. Si pemantau pun menjauh lagi, diimbangi dengan buncahan emosinya, “Cih, sial! Ini pasti efek dari hadits Nabi itu; bahwa “Sesungguhnya seorang suami yang memandang istrinya, dan istrinya pun memandangnya (dengan syahwat), maka Allah akan memandang dua insan tersebut dengan pandangan rahmat. Dan jika suami itu memegang telapak tangan istrinya dengan maksud mencumbunya atau menjima’nya, maka dosa-dosa kedua insan itu akan berjatuhan dari jemarinya.(2)” Huh, kalau saja mereka berpegangan tangan, namun mereka bukan suami-istri, pasti terbuka lebar celah kami untuk membisiki keburukan ke dalam aliran darah mereka. Huh!” 

Pemantau terus memantau dengan stamina yang lebih terkuras karena dirinya makin jauh dari muda-mudi yang dipantaunya. Kali ini, ia mendengarkan kata-kata si istri;

“Bukan begitu mas! Adek coba koreksi ya. Mas mengayuh, adek InsyaAllah akan ikut mengayuh. Supaya energi bahtera pernikahan ini tidak susut karena hanya mas saja yang mengayuh. Lebih efektif, kalau kita tanggung berdua energi kayuhan ini. Energi dalam makna keimanan, energi dalam makna dakwah.”

Sang suami muda membelitkan senyum di wajahnya.

“Nah, mas”, Lanjut si istri sembari ikut mengayuh. “Ketika, ada kerikil di tengah jalan, atau mau menabrak sesuatu, salah satu dari kita harus mengerem. Tak hanya itu, mas. Satunya lagi harus mengendorkan kayuhan. Jika mas yang mengerem, adek yang harus mengendorkan kayuhan. Jika adek yang mengerem, mas lah yang harus mengendorkan kayuhan. Itu maknanya; kita harus bisa saling memahami. Tidak memaksakan, merendahkan hati, lebih kepada melihat semua sisi permasalahan. Kuncinya itu mas; saling memahami itu.”

Si suami terkesima dengan penjelasan si istri. Sambil terus mengayuh, mereka berdua melewati iringan becak lain, melewati masjid Baitun Nur yang penuh dengan cahaya, membelok mengikuti alun-alun yang terhampar di sisi sebelah kanan, meskipun tanpa sadar terus dipantau dari jauh oleh sosok pasukan pemantau.

Tiga putaran sepuluh ribu. Begitulah. Selesai mengayuh becak 3 putaran mengelilingi alun-alun, keduanya berjalan beriringan langkah. Tangan mereka menggenggam berdua. Menyuarakan tekad iman yang bakal melejit menanjak bertahap.

Pasukan pemantau tak bisa berkutik. Mau mendekat, tetapi dosa-dosa terlanjur berguguran. Ia begitu emosi, menyaksikan betapa ironisnya perubahan yang terjadi. Hanya karena sekalimat ijab yang ditimpali dengan sekalimat qabul, genggaman tangan yang semula teribaratkan tancapan paku di kepala justru berubah menjadi sekumpulan dosa yang berguguran. Begitulah kelebihan pacaran setelah pernikahan daripada pacaran sebelum pernikahan.  Pasukan pemantau pun kembali menuju komandannya.

“Bagaimana hasil pantauanmu!”
“Lapor komandan! Sayang sekali. Ia sangat berbeda dari becak lain. Gara-gara siang tadi melangsungkan akad pernikahan, pasangan ini membuat becaknya bercahaya. Akan sangat sulit becak itu diserang. Kecuali…”
“Kecuali apa?”
“Hm…”, Pandangan si pemantau tajam ke depan, “Kecuali kalau pasangan ini turun dari becaknya. Maka, kita bisa menyerang becaknya komandan!”
“Ctaaak!”, Sang komandan menjitak si pemantau. “Bodoh! Kita tak butuh becaknya. Kita butuh menyerang pasutri baru itu. Kita tak akan tinggal diam melihat keduanya bahagia. Kita tak boleh berpangku tangan membiarkan keberkahan Allah turun menyelimuti diri mereka!”
“Aku punya ide!”, Ujar penasehat . “Kita serang mereka berdua sebelum menuju pembaringan!”
“Kalau begitu, tak ada waktu lagi. Sekaranglah saatnya!”, Celoteh si pemantau sambil mengusap-suap kepalanya yang sakit.

***

Lepas dari becak cahaya, pasangan muda-mudi baru itu perlahan menapaki trotoar jalan. Ia berjalan di antara para muda-mudi lain yang duduk berserakan, bertelekan pasukan yang keasyikan menghembus-hembuskan keburukan. Sayang, belum ada pasukan yang membisikinya, apalagi mendekatinya. Maklum, genggaman tangan dua-muda-mudi baru nikah ini terlalu kuat untuk dipisahkan.

“Dek, lihat! Masjid Baitun Nuur”, Ujar sang suami melintas di depan masjid agung kabupaten Blora.
“Jadi ingat satu ayat mas. Allaahu nuurussamaawaati wal ardh…

Mereka pun melantunkan bersama. Ayat tentang cahaya. An Nuur ayat 35. Sebuah ayat yang bercerita tentang kekuatan cahaya, menghidayahi, mencerahkan siapa yang Allah kehendaki. Dengan pesona analogi khas Qurani, ayat itu menukilkan bimbingan Allah yang diserupakan dengan cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. Begitulah.

Serombongan pasukan menunggu momentum yang tepat. Tak bisa mereka menyerbu, kalau lantunan ayat Quran tersemat erat di lisan kedua muda-mudi. Apalagi, genggaman tangan yang belum juga tercerai-berai. Membuat belum pupusnya dosa yang tergugurkan.

Langkah mereka menanjak ke tangga hotel Madina, hotel alun-alun yang bersebelahan dengan Baitun Nur. Sembari berjalan menaik bertemaramkan lampu neon hotel, sang suami melantunkan sebuah ayat,  
“Innalladziina qooluu robbunalloohu tsummas taqoomuu falaa khaufun ‘alaihim walaa hum yahzanuun. Ayuk lanjutkan ayatnya dek!”

Oh, ternyata kedua sedang bermain tebak lanjutan ayat. Kebetulan yang dibaca suami adalah Al Ahqaaf ayat 13 dengan terjemahan; Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.” 

“Hm… Bentar mas. Mau ambil kunci hotel dulu”, ujar si istri melepas genggaman tangan suami.

Komandan pun memekikkan telinga para pasukannya, “Kesempatan emas. Serbuuuu!”,

Dari area yang tak diduga-duga manusia, mereka menyerbu. Ibarat lebah yang menyerang para pengganggunya, para pasukan demon terbang menuju hotel Madina. Serangan tampak cepat melesat melewati detik demi detik waktu dunia. Para demon yang tersibukkan membisiki para muda-mudi lain, para pemuda galau, dan becak cinta yang belum berhenti-berhentinya beroperasi, perhatian mereka teralihkan. Mereka kaget menyaksikan serangan besar sepasukan demon menuju hotel.

Dengan senyuman mengembang, si istri menggapai kunci kamar kepada petugas hotel. Ia kemudian berjalan berbalik langkah. Melihat sang suami dari jauh, si istri berlari seolah terbang dan bersiap jatuh ke dalam pelukan sang suami (adegan slow-motion -pen). Sementara itu pasukan demon tinggal sepersekian detik mampu menembus aliran darah mereka berdua. Akankah para demon berhasil membawa tekad mereka mengobrak-abrik keimanan pasangan baru itu?

Yang jelas, genggaman tangan masih jauh dari bersatu. Sementara waktu tinggal sepersekian detik. Namun, Allah berkehendak dengan cara yang lain. Seuntai tasmiyyah diiringi dengan sebuah ayat, keluar dari lisan si istri; “Bismillaahirrahmaanirrahiim. Ulaaaaa’ika ash-haabul jannati khaalidiina fiihaa jazaaaaa’ammbimaa kaanuu ya’maluun - Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.

Yap, sepersekian detik sebelum serangan itu menyelonongkan berkas keburukan ke dalam diri kedua-muda-mudi, seuntai ayat terbaca dari lisan si istri, melanjutkan tebakan ayat dari sang suami. Alhasil, pasukan penyerbu itu pun tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Hoho, dimanakah mereka? Agaknya mereka sesuai dengan sabda Nabi; “ … Dan jika engkau mengucapkan: ‘Bismillaah (Dengan menyebut Nama Allah),’ niscaya dia (syaitan) akan merasa bertambah kecil sehingga dia menjadi seperti lalat (3).”

Demikianlah. Para demon memang akhirnya mengecil. Lebih kecil hingga sekecil lalat-lalat beterbangan. Mereka tak satupun yang sanggup menyerang pasangan itu. Sang komandan emosi dalam wujudnya yang sekecil lalat. Para pasukan demon pasrah menerima nasib.

Sementara itu, sang suami menguntai senyum di depan kamar hotel. Memandang tajam mata istrinya yang begitu memesona. Teringat dalam pikirnya, hadits yang begitu menginspirasi. Menjadi salah satu pemantik langkahnya untuk menyempurnakan din. “Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah :  .Orang yang berjihad / berperang di jalan Allah. b.Budak yang menebus dirinya dari tuannya. c. Pemuda/ pemudi yang menikah karena mau menjauhkan dirinya dari yang haram” (4). Makin kuat tekad sang suami mengingat hadits itu, memandang istrinya yang tersenyum manis.

Adapun si istri, ia kembali menggenggam jemari suaminya dengan harapan pengguguran dosa. Ia membuka kunci kamar sambil melantunkan ayat lanjutan lisannya. Memungkasinya dengan seuntai doa yang memang dikhususkan di akhir ayat itu. Al Ahqaaf 15;

"… Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." 

*** 

Catatan Kaki:
(1)   Dari Maqli bin Yasar dari Nabi Saw, beliau bersabda, “Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya” (HR Thabrani dan Baihaqi)
(2)   HR Maisarah bin Ali dan Imam Rafi’I dari Abu Said Al Khudri.
(3)   Hadits lengkapnya: Imam Ahmad meriwayatkan, Muhammad bin Ja’far memberitahu kami, dari orang yang pernah membonceng Rasulullah Saw, dia berkata; “Keledai Nabi pernah terpeleset, lalu kukatakan, “Celakalah Syetan.” Maka nabi bersabda; “Janganlah engkau mengatakan ‘celakalah syetan’ karena sesungguhnya jika engkau mengatakannya, niscaya dia akan merasa bertambah besar dan mengatakan ‘dengan kekuatanku, aku menjatuhkannya’, dan jika engkau mengucapkan ‘bismillah’, niscaya dia akan merasa bertambah kecil, sehingga dia akan menjadi seperti lalat.”

(4)   HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)