Penulis: Nur Syamsudin
Editor: Adhwa F. Annada
Namanya entah apa. Yang jelas bentuknya
mirip odong-odong, tetapi bukan. Bukan odong-odong. Tidak lain dan tidak bukan,
karena tempat duduknya tidak bisa maju mundur sendiri layaknya odong-odong.
Editor: Adhwa F. Annada
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0C_U5X_ars_z_ChAfBUE9mx38Vo70LkUIXjT4230lXCsT_-GNCfkG5sgZc9rZ5sq9gkVQr1YqoVaoT8kYhsjx40FKEKD7Jqf9eCqzDG7N9xGSCDZYGAT3CjyHa0BocQ2RZtuAan8Ym083/s200/487617_2437745600224_24491504_s.jpg)
Anak-anak boleh jadi suka odong-odong karena
gerakan ‘khas’ tempat duduknya. Namun, khusus yang satu ini mereka kemungkinan
tidak suka. Alasannya sederhana. Bikin capek. Karena secara fungsi, ia adalah
becak. Dan becak identik dengan upaya mengantar satu atau dua orang dari satu
tempat ke tempat lain, dengan cara dikayuh, beroda lebih dari dua. Nah, lho.
Becak unik aneh ini terparkir rapi di sudut timur
alun-alun Blora -sebuah kabupaten kecil di timur propinsi Jawa Tengah-. Bukan
hanya unik karena bentuknya yang mirip odong-odong, becak-becak ini juga
menarik perhatian melalui balutan lampu warna-warni yang menghimpit
kerangkanya. Bahkan, bagian belakang becak membentuk gambar bercahaya yang
berbeda-beda antara becak satu dengan yang lain. Ada becak dengan gambar hati,
gambar kelinci, lumba-lumba, dan lain-lain. Alhasil, makin gelap langit Blora,
makin laris becak itu disewa. Tentu jadwal sewa pun tidak sembarangan. Sabtu
Ahad adalah hari baik buat mangkalnya becak-becak unik ini. Hari dimana
muda-mudi menikmati liburan mereka.
Becak unik ini dipasarkan dengan cara dikontrak
oleh pelanggan. Model pengontrakannya pun unik, yakni berupa hitungan putaran
mengitari alun-alun.
“Sepuluh ribu, tiga puteran mas!”, Ucap pengojek
becak menawarkan tarif ke pelanggannya.
Pelanggan tidak boleh satu orang saja. Karena
mengayuhnya diperlukan kebersamaan. Maka tak jarang, muda-mudi, para anggota
geng, bahkan sekumpulan pemuda galau, begitu asyik menikmatinya. Mengitari
alun-alun, merasakan dinginnya malam Blora.
Dari segi kapasitas, maksimal penumpang adalah 6
orang. Dengan formasi ideal 2-2-2 (depan-tengah-belakang), satu orang memegang
kemudi utama di tengah, sekaligus pengayuh. Satu lagi di tengah sebagai pelapis
pengayuh sekaligus navigator. Selebihnya, mereka adalah penumpang-penumpang
yang bisa saja membantu kedua pengayuh inti untuk mengayuh pijakan kayuh di
bawah tempat duduk mereka. Namun, pilihan kedua terasa lebih menyenangkan,
yakni mangkir alias duduk manis tanpa dosa, pura-pura mengayuh.
***
Pada suatu malam, di pertengahan Bulan Syawal.
Purnama membundar di balik balutan awan. Bukan awan berarak, melainkan awan
tipis yang tetap merelakan silau purnama menebar ke penjuru alam. Lihat purnama
bundar kemuning di atas sana. Indah membelai pandangan. Ia seolah melotot dari
kejauhan. Tak kalah cemerlang dari lelampu yang bertebaran sejauh mata
memandang vertikal.
Bagi siapapun yang dimabuk asmara, betapa indah
dan romantisnya suasana malam itu. Apalagi jika mabuk asmara itu
diinterpretasikan dengan berkendara bersama, mengayuh becak unik ala Blora.
Makin romantis. Namun, tidak ada yang tahu, makin diridhai Allah-kah romantisme
mereka itu?
Dari kacamata gaib, tak ada kata romantis, tak
mengenal makna ridha Ilahi. Dari kacamata gaib, misi pencarian kawan ke neraka
sudah bukan rahasia lagi di mata manusia. Dan dari kacamata gaib pula, mereka
turun beriringan. Berbuncahkan motivasi kejengkelan bertubi-tubi akibat
pengekangan bulan sebelumnya –Ramadhan-. Ya, mereka datang ke alun-alun Blora.
Membuat masalah. Mengemas makna romantisme semu, menghunjam miris dalam
angan-angan manusia. Hm... Siapakah mereka yang dimaksud itu? Mari olah TKP.
“Pasukaaan! Siap menyebar!”, Gertak sang komandan
pasukan. “Kompi Satu, fokus ke muda-mudi berduaan di bawah pohon besar dan
lesehan di atas rerumputan alun-alun! Kompi Dua, fokus ke anak-anak galau yang
suka ribut dan hobi mengganggu orang! Kompi Tiga, berangkat dan ikuti kemanapun
becak unik itu bergerak. Ada potensi romantisme semu yang bisa membuat
angan-angan mereka terus berbuncah-buncah! Lupakan pikiran mereka dari
mengingat Tuhan. Manfaatkan waktu mereka agar tersia-sia dalam bisikan kita!
Hahaha!”
Komandan lantas mempertegas suaranya, “Perhatian
untuk Ketiga kompi, Segera Jalankan!”
“Siaap komandan!”, ucapan bertubi-tubi terdengar
saling silang di segala penjuru malam, menandakan betapa banyaknya jumlah
pasukan per kompi dan betapa bersemangatnya mereka dalam menjalankan misi.
Misi pun dieksekusi. Para kompi pasukan menyebar.
Hasilnya sudah mampu ditebak. Nyaris berhasil.
Dari pergerakan Kompi Satu, beberapa pasukan
sukses membisikkan keburukan ke dalam darah muda-mudi berdua. Akibat yang
ditimbulkan, syahwat manusia menanjak menguar. Teringat pesan Nabi 1400 tahun
berselang. Beliau Saw sempat membandingkan betapa sakitnya jarum besi yang
ditancap di kepala dengan bersentuhannya kulit muda mudi bukan mahram (1).
Kondisi kali ini sangat berbeda dari sabda Beliau. Coba lihat! Mudah sekali
para muda-mudi itu bersentuhan di antara lekak-lekuk jemari tangan. Ada yang
tangannya melingkar di pinggang nyaris mengelus-elus. Rambut dibelai
menjatuhkan para ketombe tak terjamah pandangan. Pipi disentuh-sentuh,
disebandingkan dengan rembulan bundar. Tak tahu apa, kalau dari dekat, rembulan
itu sejatinya berwajah kasar. Penuh kawah, penuh tebing, penuh lembah landai.
Masa’ dibandingkan dengan pipi manusia?
Untaian kata pun sukses dibisikkan pasukan
spesialis penyair. Lelaki culun mendadak pintar bersilat lidah. Mendegupkan
hati para wanita. Bukan karena si amora yang sukses menyarangkan panah asmara.
Lebih tepatnya, si pasukan-lah yang sebetulnya sukses merobek-robek hati
wanita, menjauhkan memori nikmat Tuhan yang lebih layak tuk diingat-ingat.
Mengoyak hati untuk berdesir secara semu.
Kembali bicara syahwat, maka syahwat pun menanjak
menguar. Bukan tercakup dalam koridor garis Tuhan yang dibatasi keridhoan-Nya.
Namun, justru menginspirasi para pasukan dalam balutan senyum dan tawa. Membuat
kekuatan mereka kian berlipat-lipat. Kian menakutkan.
Pergerakan Kompi Dua tak kalah lihai. Percandaan
yang keterlaluan tercitra dari interaksi para pemuda yang berjalan tak tentu
arah. Galau hati mereka, seolah sedang haus darah mencari korban. Lebih
tepatnya, mencari lampiasan atas amarah, kekesalan, juga waktu luang yang
dikaruniakan Tuhan untuk mereka. Ironis bukan? Yaah, begitulah mereka. Mereka
yang identik dengan rokok, tatto, rambut punk, celana jeans bolong-bolong, dan
tertawa-tawa tanpa alasan jelas. Yang jelas, apa yang mereka lakukan bukanlah
tercakup dalam koridor garis Tuhan yang dibatasi keridhoan-Nya. Namun, justru
menginspirasi para pasukan dalam balutan senyum dan tawa. Membuat kekuatan
mereka kian berlipat-lipat. Kian menakutkan.
Pergerakan Kompi Tiga? Tak mau dikata. Pasukan di
kompi ini justru memiliki azzam yang paling fenomenal. Mereka adalah pasukan
yang paling bersemangat. Itu karena pasukan kompi Tiga diiming-imingi bonus
berlebih. Hm… Atas apakah? Atas bisikan sukses di dalam becak unik yang membuat
manusianya lupa waktu, membuat stamina turun akibat berlelah-lelahan berdua,
dalam balutan romantisme semu, hingga keduanya memboroskan waktu kelelahan
hingga fajar tiba. Lewat waktu Subuh. Bonus berlipat di kompi tiga, menugaskan
pasukan agar berusaha menyamarkan kecapekan dalam keasyikan bergenjotan
membecak. Seolah alun-alun ini milik berdua. Seolah, jalan mengitari alun-alun
adalah jalan cinta para pecinta sejati. Samar dan mematikan iman. Bagi pasukan
demon, Bonus atau tanpa bonus, efeknya tetap sama. Namun, justru menginspirasi
para pasukan dalam balutan senyum dan tawa. Membuat kekuatan mereka kian
berlipat-lipat. Kian menakutkan.
Namun, demikian! Ada saja rencana Allah.
“Lapor kom...komandan! Hosh hosh hosh!”
Salah seorang pasukan kelelahan. Ia tampak
kehabisan energi. Lebih detail, ia lunglai, letoy, lemot, kurus kerontang,
keringat bersimbah di sekujur tubuh, muka murung, jelek, tak berbentuk
(memangnya, pasukan demon ada yang tampan ya?). Hey... Ada apa gerangan dengan
pasukan yang satu ini?
“A.. Apa yang terjadi? Kenapa kau bisa seperti
ini?”, Ujar penasehat komandan demon. Sementara itu, sang Komandan belum
bertutur. Ia masih jaga imej. Sok cool -padahal takut- menatap tajam sosok
pasukan yang mengenaskan itu.
“Aku salah sasaran, komandan. Aa… Aku kalah. Ddd…
Di sana. Di sana ada yang berbeda! Ddd… Di becak itu! Hkkzz….(tercekat)”, Pasukan
yang satu ini seperti sedang sekarat saja.
“Utus Pasukan Pemonitor. Kirim informasi, siapa
penunggang becak itu! Berani-beraninya ia memperlakukan pasukanku seperti ini!”
“Baik. Segera laksanakan, komandan!”, Tegas sang
penasehat.
Pasukan pemonitor pun diberangkatkan. Ia tak
dibekali amunisi. Namun, ia memiliki kemampuan berupa telinga yang lebar, mata
yang besar, dan kaki yang panjang. Ia bisa mendengar dan melihat dari kejauhan.
Kakinya bisa ia pakai untuk mengiringi ke mana saja arah jalan becak misterius.
Setelah terbang meninggi, pasukan pemonitor tak
perlu waktu lama untuk menemukan sensor ruhyah yang kuat di dalam sebuah becak.
Ia dapati becak itu. Ia iringi dengan kemampuan pemantauan yang dimilikinya. Kakinya
yang panjang ia gunakan untuk mengiringi jalan si becak. Telinga dan mata
dioptimalkan dalam jarak yang cukup jauh. Hm… Masalahnya, kalau dekat-dekat, ia
bisa tersetrum ruhyah yang membuncah di dalam becak.
Mata pemantau melotot tajam. Sekilas ia
penasaran, kenapa becak ini begitu istimewa. Sekelebat, telinganya
bergerak-gerak. Terdengar beberapa interaksi kedua pasangan di dalam becak yang
dipantau.
“Dek, gini lho. Filosofi becak ini”, Ujar si
suami sambil terus mengayuh becak. “Mas akan mengayuh sejauh becak ini
menjejaki jalinan waktu. Kita ibaratkan becak inilah istilah dari bahtera
pernikahan. Nah, adek ga perlu mengayuh. Adek hanya perlu pegang rem saja ya.
Ketika jalan mas tidak lurus, atau mau nabrak apa gituh, adek tinggal tarik
tuas remnya. Seperti ini… Ciiittt (sambil memegang tuas rem ala becak).
InsyaAllah, becak pernikahan kita tak akan salah jalan. Yaa?”
Pemantau mencatat info penting dari interaksi
yang muncul di becak itu. Info penting yang pertama adalah; becak itu berbeda
karena di dalamnya berisi dua muda-mudi yang ternyata sudah menikah.Si pemantau
terus menjalankan tugas memantaunya…
“Bukan begitu mas!”, Ujar si adek sambil
menyentuh tangan si mas di tuas rem. Mendadak si pemantau merasa panas.
Panasnya makin lama makin mendidih, membuat pemantau perlu menjauh lagi dari
becak kedua pasangan itu. Si pemantau pun menjauh lagi, diimbangi dengan
buncahan emosinya, “Cih, sial! Ini pasti efek dari hadits Nabi itu; bahwa
“Sesungguhnya seorang suami yang memandang istrinya, dan istrinya pun
memandangnya (dengan syahwat), maka Allah akan memandang dua insan tersebut
dengan pandangan rahmat. Dan jika suami itu memegang telapak tangan istrinya
dengan maksud mencumbunya atau menjima’nya, maka dosa-dosa kedua insan itu akan
berjatuhan dari jemarinya.(2)” Huh, kalau saja mereka berpegangan tangan,
namun mereka bukan suami-istri, pasti terbuka lebar celah kami untuk membisiki
keburukan ke dalam aliran darah mereka. Huh!”
Pemantau terus memantau dengan stamina yang lebih
terkuras karena dirinya makin jauh dari muda-mudi yang dipantaunya. Kali ini,
ia mendengarkan kata-kata si istri;
“Bukan begitu mas! Adek coba koreksi ya. Mas
mengayuh, adek InsyaAllah akan ikut mengayuh. Supaya energi bahtera pernikahan
ini tidak susut karena hanya mas saja yang mengayuh. Lebih efektif, kalau kita
tanggung berdua energi kayuhan ini. Energi dalam makna keimanan, energi dalam
makna dakwah.”
Sang suami muda membelitkan senyum di wajahnya.
“Nah, mas”, Lanjut si istri sembari ikut
mengayuh. “Ketika, ada kerikil di tengah jalan, atau mau menabrak sesuatu,
salah satu dari kita harus mengerem. Tak hanya itu, mas. Satunya lagi harus
mengendorkan kayuhan. Jika mas yang mengerem, adek yang harus mengendorkan
kayuhan. Jika adek yang mengerem, mas lah yang harus mengendorkan kayuhan. Itu
maknanya; kita harus bisa saling memahami. Tidak memaksakan, merendahkan hati,
lebih kepada melihat semua sisi permasalahan. Kuncinya itu mas; saling memahami
itu.”
Si suami terkesima dengan penjelasan si istri.
Sambil terus mengayuh, mereka berdua melewati iringan becak lain, melewati
masjid Baitun Nur yang penuh dengan cahaya, membelok mengikuti alun-alun yang
terhampar di sisi sebelah kanan, meskipun tanpa sadar terus dipantau dari jauh
oleh sosok pasukan pemantau.
Tiga putaran sepuluh ribu. Begitulah. Selesai
mengayuh becak 3 putaran mengelilingi alun-alun, keduanya berjalan beriringan
langkah. Tangan mereka menggenggam berdua. Menyuarakan tekad iman yang bakal
melejit menanjak bertahap.
Pasukan pemantau tak bisa berkutik. Mau mendekat,
tetapi dosa-dosa terlanjur berguguran. Ia begitu emosi, menyaksikan betapa
ironisnya perubahan yang terjadi. Hanya karena sekalimat ijab yang ditimpali
dengan sekalimat qabul, genggaman tangan yang semula teribaratkan tancapan paku
di kepala justru berubah menjadi sekumpulan dosa yang berguguran. Begitulah
kelebihan pacaran setelah pernikahan daripada pacaran sebelum pernikahan.
Pasukan pemantau pun kembali menuju komandannya.
“Bagaimana hasil pantauanmu!”
“Lapor komandan! Sayang sekali. Ia sangat berbeda
dari becak lain. Gara-gara siang tadi melangsungkan akad pernikahan, pasangan
ini membuat becaknya bercahaya. Akan sangat sulit becak itu diserang. Kecuali…”
“Kecuali apa?”
“Hm…”, Pandangan si pemantau tajam ke depan,
“Kecuali kalau pasangan ini turun dari becaknya. Maka, kita bisa menyerang
becaknya komandan!”
“Ctaaak!”, Sang komandan menjitak si pemantau.
“Bodoh! Kita tak butuh becaknya. Kita butuh menyerang pasutri baru itu. Kita
tak akan tinggal diam melihat keduanya bahagia. Kita tak boleh berpangku tangan
membiarkan keberkahan Allah turun menyelimuti diri mereka!”
“Aku punya ide!”, Ujar penasehat . “Kita serang
mereka berdua sebelum menuju pembaringan!”
“Kalau begitu, tak ada waktu lagi. Sekaranglah
saatnya!”, Celoteh si pemantau sambil mengusap-suap kepalanya yang sakit.
***
Lepas dari becak cahaya, pasangan muda-mudi baru
itu perlahan menapaki trotoar jalan. Ia berjalan di antara para muda-mudi lain
yang duduk berserakan, bertelekan pasukan yang keasyikan menghembus-hembuskan
keburukan. Sayang, belum ada pasukan yang membisikinya, apalagi mendekatinya.
Maklum, genggaman tangan dua-muda-mudi baru nikah ini terlalu kuat untuk
dipisahkan.
“Dek, lihat! Masjid Baitun Nuur”, Ujar sang suami
melintas di depan masjid agung kabupaten Blora.
“Jadi ingat satu ayat mas. Allaahu
nuurussamaawaati wal ardh…”
Mereka pun melantunkan bersama. Ayat tentang
cahaya. An Nuur ayat 35. Sebuah ayat yang bercerita tentang kekuatan cahaya,
menghidayahi, mencerahkan siapa yang Allah kehendaki. Dengan pesona analogi
khas Qurani, ayat itu menukilkan bimbingan Allah yang diserupakan dengan cahaya
di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.
Begitulah.
Serombongan pasukan menunggu momentum yang tepat.
Tak bisa mereka menyerbu, kalau lantunan ayat Quran tersemat erat di lisan
kedua muda-mudi. Apalagi, genggaman tangan yang belum juga tercerai-berai.
Membuat belum pupusnya dosa yang tergugurkan.
Langkah mereka menanjak ke tangga hotel Madina,
hotel alun-alun yang bersebelahan dengan Baitun Nur. Sembari berjalan menaik
bertemaramkan lampu neon hotel, sang suami melantunkan sebuah ayat,
“Innalladziina
qooluu robbunalloohu tsummas taqoomuu falaa khaufun ‘alaihim walaa hum
yahzanuun. Ayuk lanjutkan ayatnya dek!”
Oh, ternyata kedua sedang bermain tebak lanjutan
ayat. Kebetulan yang dibaca suami adalah Al Ahqaaf ayat 13 dengan terjemahan;
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah",
kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.”
“Hm… Bentar mas. Mau ambil kunci hotel dulu”,
ujar si istri melepas genggaman tangan suami.
Komandan pun memekikkan telinga para pasukannya, “Kesempatan
emas. Serbuuuu!”,
Dari area yang tak diduga-duga manusia, mereka
menyerbu. Ibarat lebah yang menyerang para pengganggunya, para pasukan demon
terbang menuju hotel Madina. Serangan tampak cepat melesat melewati detik demi
detik waktu dunia. Para demon yang tersibukkan membisiki para muda-mudi lain,
para pemuda galau, dan becak cinta yang belum berhenti-berhentinya beroperasi,
perhatian mereka teralihkan. Mereka kaget menyaksikan serangan besar sepasukan
demon menuju hotel.
Dengan senyuman mengembang, si istri menggapai
kunci kamar kepada petugas hotel. Ia kemudian berjalan berbalik langkah.
Melihat sang suami dari jauh, si istri berlari seolah terbang dan bersiap jatuh
ke dalam pelukan sang suami (adegan slow-motion -pen). Sementara itu pasukan
demon tinggal sepersekian detik mampu menembus aliran darah mereka berdua.
Akankah para demon berhasil membawa tekad mereka mengobrak-abrik keimanan
pasangan baru itu?
Yang jelas, genggaman tangan masih jauh dari
bersatu. Sementara waktu tinggal sepersekian detik. Namun, Allah berkehendak
dengan cara yang lain. Seuntai tasmiyyah diiringi dengan sebuah ayat, keluar
dari lisan si istri; “Bismillaahirrahmaanirrahiim. Ulaaaaa’ika ash-haabul
jannati khaalidiina fiihaa jazaaaaa’ammbimaa kaanuu ya’maluun - Mereka itulah
penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa
yang telah mereka kerjakan.”
Yap, sepersekian detik sebelum serangan itu
menyelonongkan berkas keburukan ke dalam diri kedua-muda-mudi, seuntai ayat terbaca
dari lisan si istri, melanjutkan tebakan ayat dari sang suami. Alhasil, pasukan
penyerbu itu pun tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Hoho, dimanakah mereka?
Agaknya mereka sesuai dengan sabda Nabi; “ … Dan jika engkau mengucapkan:
‘Bismillaah (Dengan menyebut Nama Allah),’ niscaya dia (syaitan) akan merasa
bertambah kecil sehingga dia menjadi seperti lalat (3).”
Demikianlah. Para demon memang akhirnya mengecil.
Lebih kecil hingga sekecil lalat-lalat beterbangan. Mereka tak satupun yang
sanggup menyerang pasangan itu. Sang komandan emosi dalam wujudnya yang sekecil
lalat. Para pasukan demon pasrah menerima nasib.
Sementara itu, sang suami menguntai senyum di
depan kamar hotel. Memandang tajam mata istrinya yang begitu memesona. Teringat
dalam pikirnya, hadits yang begitu menginspirasi. Menjadi salah satu pemantik
langkahnya untuk menyempurnakan din. “Tiga golongan yang berhak ditolong
oleh Allah : .Orang yang berjihad / berperang di jalan Allah. b.Budak
yang menebus dirinya dari tuannya. c. Pemuda/ pemudi yang menikah karena mau
menjauhkan dirinya dari yang haram” (4). Makin kuat tekad sang suami
mengingat hadits itu, memandang istrinya yang tersenyum manis.
Adapun si istri, ia kembali menggenggam jemari
suaminya dengan harapan pengguguran dosa. Ia membuka kunci kamar sambil
melantunkan ayat lanjutan lisannya. Memungkasinya dengan seuntai doa yang
memang dikhususkan di akhir ayat itu. Al Ahqaaf 15;
"… Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu
bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai;
berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri."
***
Catatan Kaki:
(1) Dari Maqli bin Yasar dari Nabi
Saw, beliau bersabda, “Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang di antara
kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak
halal baginya” (HR Thabrani dan Baihaqi)
(2) HR Maisarah bin Ali dan Imam
Rafi’I dari Abu Said Al Khudri.
(3) Hadits lengkapnya: Imam Ahmad
meriwayatkan, Muhammad bin Ja’far memberitahu kami, dari orang yang pernah
membonceng Rasulullah Saw, dia berkata; “Keledai Nabi pernah terpeleset, lalu
kukatakan, “Celakalah Syetan.” Maka nabi bersabda; “Janganlah engkau mengatakan
‘celakalah syetan’ karena sesungguhnya jika engkau mengatakannya, niscaya dia
akan merasa bertambah besar dan mengatakan ‘dengan kekuatanku, aku
menjatuhkannya’, dan jika engkau mengucapkan ‘bismillah’, niscaya dia akan
merasa bertambah kecil, sehingga dia akan menjadi seperti lalat.”
(4) HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban dan
Hakim
Post a Comment