curhatibu.com

Rencana Kita VS Rencana Allah


"Kita boleh berencana, tapi tetap, kita harus siap untuk menerima setiap perubahan rencana yang digariskan Allah pada kita, " setidaknya, demikian satu pesan yang saya tangkap dari beliau.
Siang yang cerah. Alhamdulillah, masih bisa menyempatkan waktu hadir dalam majelis ilmu itu. Sempat goyah, apakah ikut atau tidak. Sedang di kantor, kerjaan masih ada yang belum terselesaikan. Namun, karena sayang Allah pada saya (semoga), saya bisa hadir. 

Majelis ilmu, sebagaimana semestinya, pastilah bertabur hikmah, bertabur ilmu, dan tentunya 'bertabur' malaikat. Maka, demikian yang semoga ikut mengaminkan pinta yang sengaja atau tak sengaja terucap di dalamnya.

"Saya kelahiran 84. Lulus STAN 2005. Menikah tahun 2006. Lalu di tahun 2007 saya melahirkan untuk pertama kali. Tahun 2008, kelahiran yang kedua. Baru tahun 2011 kemarin, saya melahirkan lagi untuk ketiga kalinya. Sekarang, wallahu alam, sudah telat datang bulan 1 pekan. Semoga saja, Allah berkenan memberikan yang keempat." papar al ukh, pengisi majelis ilmu siang ini.

Spontan saja, kami langsung bertasbih, "Subhanallah..."

Tak ayal. Dengan wajah semuda itu, sungguh tak menyangka beliau adalah seorang ibu dari 3 anak. Masya Allah. Memang, meski wajahnya muda, ada kedewasaan yang berbeda, terbersit dari raut wajahnya. Beliau seusia kakak saya.

"Ya, kita harus siap. Saya pernah, dengan suami, bercanda ingin anak berapa. Lalu kami spontan mengatakan tujuh. Becanda saja sih. Saya juga berencana untuk resign dari kemenkeu ini."

"Kenapa mba?" tanya salah seorang antara kami.

"Ya, banyak alasan. Pun banyak pertimbangan. Banyak prioritas yang kemudian harus pandai-pandai kita pilah. Hingga pertimbangan panjang, termasuk konsekuensi yang kemungkinan akan berhadir atas segala keputusan. Pun, termasuk, kembali lagi, masalah keturunan." kata al ukh, kembali kepada materi bahasan utama, yaitu prioritas. Hm, sepertinya sangat nyambung dengan diskusi kita usai materi tersampaikan. 

"Ada pasangan yang ingin bersegera mempunyai momongan. Maka mereka berikhtiar, dengan jalan manusiawi, misalnya penyesuaian masa subur sang istri, makanan bergizi, menjaga kesehatan, dan seterusnya. Ada juga pasangan yang ingin menunda dulu beroleh momongan, dengan alasan keuangan, pendidikan, kondisi, dan lainnya. Ada juga yang tidak punya rencana khusus, dilakukan mengalir saja. Termasuk pilihan untuk ber-KB atau tidak. Semuanya ada pertimbangan, dan tidak mungkin sama bagi tiap pasangan suami istri, " jelas al ukh. 

"Ya, lagi-lagi ini tentang prioritas. Sebagaimana materi kita, bahwa ada prioritas soal kualitas dibanding dengan kuantitas. Ingat tidak bahwa Rasul membanggakan umatnya yang memiliki banyak keturunan? Nah, keturunan yang seperti apa? Tentunya keturunan yang bagus kualitasnya. Nah ini yang kadang menjadi dilema sebagian pasutri. Apakah mereka akan memperbanyak anak, tapi khawatir kalau tidak bisa menjadikan anak-anak mereka generasi unggul, atau mereka akan punya anak satu atau dua saja, supaya lebih mudah mengurusnya?"

Kami, menyimak dengan seksama. Empat orang dalam majelis ini sudah menikah, termasuk saya. Apalagi, salah satu dari kami sedang hamil, entah bulan ke-berapa. Maka,diskusi ini terasa memang kami butuhkan.

"Tapi kemudian, kembali pada pernyataan awal saya tadi, bahwa kita boleh berencana, tapi tetap, kita harus siap untuk menerima setiap perubahan rencana yang digariskan Allah pada kita", al ukh berkata dengan lebih menegas. 

"Kita melihat banyak pasutri yang alhamdulillah, dengan izin Allah beroleh anak lebih dari lima, dan beliau sanggup mengasuh dan mendidik anak dengan baik. Begitu pula banyak pasutri yang punya banyak anak, namun anak-anaknya tidak berhasil terdidik dengan baik. Ada juga yang punya anak hanya satu atau dua, dan semuanya berhasil berbakti pada orang tua. Ada yang anak satu-satunya justru hanya bisa menyakiti orang tuanya", ujar al ukh, menghela nafas sejenak. 

Dengan tempo diperlambat, perlahan dan tegas, beliau berucap lagi, "Ketika Allah memberikan amanah, yaitu berupa anak, maka pastilah Allah telah memberikan suatu optimalisasi kemampuan/potensi kita dalam mendidiknya menjadi anak-anak yang shaleh/shalehah. Pun, ketika sekian banyak anak diamanahkan, diberikanlah potensi yang berlipat-lipat."

"Masalahnya, " al ukh berhenti sejenak, menatap samar entah ke mana, "kita seringnya tidak mampu mengoptimalkan diri kita, meng-upgrade kemampuan kita, ilmu kita. Sehingga, sebelum amanah itu datang, persiapan nol. Potensi yang sudah diberikan Allah, tidak bisa keluar, karena ilmunya tidak kita punya. Maka tak jarang, pasutri kerepotan menghadapi anak-anak yang mereka anggap nakal, gagal didik. Apalagi kalau Allah memberikan anak yang lebih banyak. 

"Lupa, bahwa jika Allah telah memberi amanah, pastilah diberi bekalnya juga. Kitanya saja yang tidak mau belajar. Sehingga banyak keteteran. Lalu menyalahkan taqdirnya, kenapa saya mendapat anak sebanyak ini."

Al ukh kemudian mencoba sudut pandang yang berkebalikan, "Berbeda lagi dengan pasutri yang awalnya merencanakan ingin beroleh anak sekian banyak. Namun rupanya, berbulan dan hingga bertahun, tak juga dikaruniai. Apakah kemudian kita menyalahkan taqdir, kenapa Allah tidak adil? Begitu? Padahal, bisa jadi Allah justru adil. Karena pasutri tersebut memang belum saatnya mendapat amanah itu. Ada potensi kemampuan mendidik yang masih harus dipelajari. Ya, karena Allah tak ingin yang terjadi adalah bukan yang terbaik. Maka, semestinya, memang kita boleh berencana, tapi tetap, kita harus siap untuk menerima setiap perubahan rencana yang digariskan Allah pada kita."

Saya jadi ingat kisah seorang al ukh yang lain, dalam status yang di-update di facebooknya, "Mengapa sih, harus mencela. Bukankah rezeki berupa anak itu adalah hak mutlak dari Allah. Lalu kenapa masih saja ada yang mencela ketika seseorang melahirkan setahun sekali, banyak anaknya. Atau sebaliknya, masih juga mencela, ketika rupanya ada yang masih merindukan sosok kecil penyejuk hati di rumahnya, yang tak kunjung datang." dan dalam satu komen di status tersebut, beliau menyebutkan bahwa inilah yang pernah saya rasakan. Yaitu ketika bertahun merindukan kehadiran seorang anak, dan sekarang, dalam hampir tiga tahun saja, sudah hamil lagi anak yang ketiga. Allahu akbar. 

Saya selalu suka dengan pernyataan berikut, "Saya tidak tahu ini rahmat atau musibah, saya hanya berprasangka baik pada Allah Swt"

Karena lagi-lagi, kita tidak lebih tahu atas apa yang terjadi,. Maka tugas kita, berdoa, ikhtiar menjalankan amanah dan mengupayakan yang terbaik. Lalu tawakkal, serahkan sepenuh eksekusi pada Allah. Karena lagi-lagi, kita boleh berencana, tapi tetap, kita harus siap untuk menerima setiap perubahan rencana yang digariskan Allah pada kita. Selalu ada pilihan dari setiap situasi, dan selalu ada konsekuensi dari setiap keputusan. 

Wallahu alam

[artikel ini diposting pula dalam blog kami, "blog si mbak dan si mas nur" --> menujukeluargacahaya.blogspot.com]


1 comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)