Berbagai
alasan sering dikemukakan oleh para wanita yang masih enggan berjilbab. Coba
perhatikan beberapa alasan mereka:
Pertama:
Yang penting hatinya dulu yang dihijabi.
Alasan,
semacam ini sama saja dengan alasan orang yang malas shalat lantas mengatakan,
“Yang penting kan hatinya.” Inilah alasan orang yang punya pemahaman bahwa yang
lebih dipentingkan adalah amalan hati, tidak mengapa seseorang tidak memiliki
amalan badan sama sekali. Inilah pemahaman aliran sesat “Murji’ah” dan
sebelumnya adalah “Jahmiyah”. Ini pemahaman keliru, karena pemahaman yang benar
sesuai dengan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah, “Din dan Islam itu adalah
perkataan dan amalan, yaitu [1] perkataan hati, [2] perkataan lisan, [3] amalan
hati, [4] amalan lisan dan [5] amalan anggota badan.”[4]
Imam
Asy Syaafi’i rahimahullah menyatakan,
الإيمان قول وعمل يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية
“Iman itu adalah perkataan dan perbuatan,
bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.”[5]
Jadi
tidak cukup iman itu dengan hati, namun harus dibuktikan pula dengan amalan.
Kedua:
Bagaimana jika berjilbab namun masih menggunjing.
Alasan
seperti ini pun sering dikemukakan. Perlu diketahui, dosa menggunjing (ghibah)
itu adalah dosa tersendiri. Sebagaimana seseorang yang rajin shalat malam,
boleh jadi dia pun punya kebiasaan mencuri. Itu bisa jadi. Sebagaimana ada kyai
pun yang suka menipu. Ini pun nyata terjadi.
Namun
tidak semua yang berjilbab punya sifat semacam itu. Lantas kenapa ini jadi
alasan untuk enggan berjilbab? Perlu juga diingat bahwa perilaku individu tidak
bisa menilai jeleknya orang yang berjilbab secara umum. Bahkan banyak wanita
yang berjilbab dan akhlaqnya sungguh mulia. Jadi jadi kewajiban orang yang
hendak berjilbab untuk tidak menggunjing.
Ketiga:
Belum siap mengenakan jilbab.
Kalau
tidak sekarang, lalu kapan lagi? Apa tahun depan? Apa dua tahun lagi? Apa nanti
jika sudah pipi keriput dan rambut beruban? Setan dan nafsu jelek biasa
memberikan was-was semacam ini, supaya seseorang menunda-nunda amalan kebaikan.
Ingatlah
kita belum tentu tahu jika besok shubuh kita masih diberi kehidupan. Dan tidak
ada seorang pun yang tahu bahwa satu jam lagi, ia masih menghirup nafas. Oleh
karena itu, tidak pantas seseorang menunda-nunda amalan. “Oh nanti saja, nanti
saja”. Ibnu ‘Umarradhiyallahu
‘anhuma memberi nasehat yang amat bagus,
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ،
وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ
لِمَرَضِكَ ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ .
“Jika engkau berada di waktu sore, janganlah
menunggu-nunggu waktu pagi. Jika engkau berada di waktu pagi, janganlah
menunggu-nunggu waktu sore. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang masa
sakitmu. Manfaatkan pula masa hidupmu sebelum datang kematianmu”
(HR. Bukhari no. 6416). Nasehat ini amat bagus bagi kita agar tidak
menunda-nunda amalan dan tidak panjang angan-angan.[6]
Jika
tidak sekarang ini, mengapa mesti menunda berhijab besok dan besok lagi.
Seorang da’i terkemuka mengatakan nasehat 3 M, “Mulai dari diri sendiri, mulai
dari saat ini, mulai dari hal yang kecil”.
Jika Sadar Hanya Di Bulan
Ramadhan?
Ibadah
dan amalan ketaatan bukanlah ibarat bunga yang mekar pada waktu musimnya saja.
Ibadah shalat 5 waktu, shalat jama’ah, shalat malam, gemar bersedekah dan
berbusana muslimah, bukanlah jadi ibadah musiman. Namun sudah seharusnya
amalan-amalan tadi di luar bulan Ramadhan juga tetap dijaga. Para ulama
seringkali mengatakan, “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin
ibadah) hanya pada bulan Ramadhan saja.”
Ingatlah pula pesan dari Ka’ab bin Malik,
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan lantas terbetik dalam hatinya bahwa
setelah lepas dari Ramadhan akan berbuat maksiat pada Rabbnya, maka sungguh
puasanya itu tertolak (tidak bernilai apa-apa).”[7]
Semoga
Allah beri taufik dan sungguh hidayah itu begitu indah. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat.
Pandangan Kalangan Liberal Mengenai Jilbab (Dari muslim.or.id)
Salah satu tokoh JIL (Jaringan Islam
Liberal), Siti Musdah Mulia, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah (Ciputat,
Banten) punya beberapa pendapat yangnyleneh mengenai jilbab dan ia terkenal dengan
pemikiran kebebasannya. Dalam talkshow dan bedah buku yang berjudul “Psychology
of Fashion: Fenomena Perempuan (Melepas Jilbab)”, juga di forum
lainnya, beliau mengeluarkan beberapa pendapat kontroversial mengenai jilbab
yang kami rinci sebagai berikut[10]:
Pertama:
Menurut Bu Profesor Musdah Mulia, guru besar Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Ciputat, realitas sosiologis di masyarakat, jilbab tidak
menyimbolkan apa-apa, tidak menjadi lambang kesalehan dan ketakwaan. Tidak ada
jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan shalehah, atau sebaliknya
perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan shalehah. Jilbab tidak
identik dengan kesalehan dan ketakwaan seseorang.
Sanggahan:
Bagaimana mungkin kita katakan jilbab
bukanlah lambang kesalehan dan ketakwaan. Orang liberal biasa hanya pintar
berkoar-koar tetapi tidak pernah ilmiah. Kalau mau ilmiah, yah seharusnya
berhujjah dengan dalil. Ibnul Qayyim menukilkan perkataan seorang penyair:
العلم قال الله قال رسوله
“Ilmu adalah apa kata Allah, apa kata Rasul-Nya.”
Jadi kalau bukan Al Qur’an dan hadits yang dibawa namun hanya pintar omong,
maka itu berarti tidak ilmiah.[11]
Bagaimana dikatakan berjilbab bukan
lambang ketakwaan? Sedangkan takwa sebagaimana kata Tholq bin Habib,
التَّقْوَى : أَنْ تَعْمَلَ
بِطَاعَةِ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَرْجُو رَحْمَةَ اللَّهِ وَأَنْ
تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَخَافَ عَذَابَ اللَّهِ
“Takwa: engkau melakukan ketaatan pada Allah atas
cahaya dari Allah dalam rangka mengharap rahmat Allah dan engkau meninggalkan
maksiat pada Allah atas cahaya dari Allah dalam rangka takut akan adzab Allah.”[12] Bukankah
kewajiban mengenakan jilbab sudah diperintahkan dalam ayat,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ
مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“ (QS. Al Ahzab: 59). Juga dalam ayat,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya”(QS. An Nur: 31). Ini jelas perintah dan menjalankan
perintah adalah bagian dari ketakwaan dan bentuk taat pada Allah.
Enggan berjilbab jelas termasuk
maksiat karena dalam ayat setelah menerangkan sifat mulia wanita yang berjilbab
ditutup dengan,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ
جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nur: 31).
Kalau disuruh bertaubat berarti tidak berjilbab termasuk maksiat. Lantas
bagaimana dikatakan berjilbab bukan bagian dari takwa? Sungguh aneh jalan
pikirannya.
Jika jilbab bukan
lambang ketakwaan karena ada yang berjilbab bermaksiat, maka kita boleh saja
menyatakan shalat juga bukan lambing ketakwaan karena ada yang shalat namun
masih bermaksiat. Namun tidak ada yang berani menyatakan untuk shalat pun
demikian. Jadi, tidak jelas bagaimana cara berpikir para pengagum kebebasan
(orang liberal).
Kata Ibnu Katsir ketika menafsirkan
ayat terakhir di atas, yang namanya keberuntungan diraih dengan melakukan
perintah Allah dan Rasul-Nya dan meninggalkan yang dilarang.[13] Jadi,
biar selamat di akhirat dan selamat dari jilatan neraka, maka berjilbablah.
Kedua:
Bu Profesor yang sangat mengagumi Gus Dur berkata pula, “Tidaklah keliru jika
dikatakan bahwa jilbab dan batas aurat perempuan merupakan masalah khilafiyah
yang tidak harus menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan.
Mengenakan, tidak mengenakan, atau menanggalkan jilbab sesungguhnya merupakan
pilihan, apapun alasannya. Yang paling bijak adalah menghargai dan menghormati
pilihan setiap orang, tanpa perlu menghakimi sebagai benar atau salah terhadap
setiap pilihan.”
Ibu Musdah menyampaikan pula, “Kalau
begitu, jelas bahwa menggunakan jilbab tidak menjadi keharusan bagi perempuan
Islam, tetapi bisa dianggap sebagai cerminan sikap kehati-hatian dalam
melaksanakan tuntutan Islam. Kita perlu membangun sikap apresiasi terhadap
perempuan yang atas kerelaannya sendiri memakai jilbab, sebaliknya juga
menghargai mereka yang dengan pilihan bebasnya melepas atau membuka kembali
jilbabnya. Termasuk mengapresiasi mereka yang sama sekali tidak tertarik
memakai jilbab.”
Sanggahan:
Waw … satu lagi pendapat yang aneh. Bagaimana bisa dikatakan
jilbab adalah suatu pilihan bukan suatu kewajiban?
Ayat-ayat yang menerangkan wajibnya
jilbab sudah jelas. Hadits pun mengiyakannya. Begitu pula ijma’ para ulama
menyatakan wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dengan jilbab kecuali
terdapat perselisihan pada wajah dan kedua telapak tangan. Sebagian ulama
menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan juga wajib ditutup. Sebagaian lain
mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan boleh dibuka, namun menutupnya adalah
sunnah (bukan wajib). Dalil keduanya sama-sama kuat, jadi tetap kedua pendapat
tersebut mewajibkan jilbab, namun diperselisihkan manakah yang boleh
ditampakkan.
Jadi batasan aurat wanita memang ada
khilaf apakah wajah dan telapak tangan termasuk aurat. Namun para ulama sepakat
akan wajibnya jilbab. Sehingga pendapat Bu Profesor barangkali perlu dirujuk
kembali dan harus membuktikan keilmiahannya, bukan hanya asal berkoar.
Kalau jilbab telah dinyatakan wajib,
maka tidak ada kata tawar menawar atau dijadikan pilihan. Kalau dipaksakan
dalam Perda agar para pegawai berjilbab, itu langkah yang patut didukung. Bukan
malah seperti kata JIL yang menganggap Perda tersebut malah mengekang wanita.
Begitu pula tidak boleh mengapresiasi
orang yang memamerkan lekuk tubuhnya, gaya rambut dan pamer aurat. Karena
perbuatan mereka patut diingkari. Jika punya kekuasaan (sebagai penguasa), maka
diingkari dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lisan dan tulisan
sebagai peringatan dan pengingkaran. Jika tidak mampu, maka wajib diingkari
dengan hati. Jika dengan hati tidak ada pengingkaran malah memberikan
apresiasi, maka ini jelas tanda persetujuan pada kemungkaran dan tanda
bermasalahnya iman. Nabi shallallahu
‘alaihi wa salam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ
مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran,
hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia
merubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia
ingkari dengan hatinya dan inilah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim
no. 49)
Ketiga: Bu Musdah juga mengemukakan kesimpulan dari Forum
Pengkajian Islam UIN Sharif Hidayatullah tahun 1998: “Hukum
Islam tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup, tetapi menyerahkan hal
itu kepada masing-masing orang sesuai situasi, kondisi dan kebutuhan.”
Sanggahan:
Ini juga pendapat beliau yang sama
dengan sebelumnya. Kalau demikian adanya, maka berarti terserah kita menentukan
manakah pakaian muslimah. Kalau di Arab pakai abaya dan hitam-hitam disertai
cadar. Kalau di Indonesia, cukup kebaya. Kalau di Barat, tidak mengapa memakai
pakaian renang. Apalagi di musim panas, cukup pakai celana pendek (yang
terlihat paha) dan baju “u can see”. Karena semua dikembalikan
pada individu masing-masing dan dilihat kondisi dan kebutuhan, tidak ada
standar baku. Beda halnya jika yang jadi patokan adalah firman Allah dan sabda
Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka jelas patokannya.
Keempat:
Beliau kembali berkata, “Jika teks-teks tentang jilbab tersebut dibaca dalam
konteks sekarang, terlihat bahwa perempuan tidak perlu lagi memakai jilbab
hanya sekadar agar mereka dikenali, atau mereka dibedakan dari perempuan yang
berstatus budak, atau agar mereka tidak diganggu laki-laki jahat. Di masa
sekarang, tidak ada lagi perbudakan, dan busana bukan ukuran untuk menetapkan
identitas seseorang,” tandasnya nyleneh.
Bu Musdah juga mengatakan, “Jika
perlindungan itu tidak dibutuhkan lagi karena sistem keamanan yang sudah
sedemikian maju dan terjamin, tentu perempuan dapat memilih secara cerdas dan
bebas apakah ia masih mau mengenakan jilbab atau tidak.”
Sanggahan:
Yang beliau singgung di sini adalah
surat Al Ahzab berikut:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ
مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ
اللَّهُ غَفُورًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Mari kita simak kalam ulama salaf
mengenai tafsiran ayat di atas.
As Sudi rahimahullah mengatakan, “Dahulu orang-orang fasik
di Madinah biasa keluar di waktu malam ketika malam begitu gelap di jalan-jalan
Madinah. Mereka ingin menghadang para wanita. Dahulu orang-orang miskin dari
penduduk Madinah mengalami kesusahan. Jika malam tiba para wanita (yang susah
tadi) keluar ke jalan-jalan untuk memenuhi hajat mereka. Para orang fasik sangat
ingin menggoda para wanita tadi. Ketika mereka melihat para wanita yang
mengenakan jilbab, mereka katakan, “Ini adalah wanita merdeka. Jangan sampai
menggagunya.” Namun ketika mereka melihat para wanita yang tidak berjilbab,
mereka katakan, “Ini adalah budak wanita. Mari kita menghadangnya.”
Mujahid rahimahullah berkata, “Hendaklah para wanita
mengenakan jilbab supaya diketahui manakah yang termasuk wanita merdeka. Jika
ada wanita yang berjilbab, orang-orang yang fasik ketika bertemu dengannya
tidak akan menyakitinya.”[1]
Penjelasan para ulama di atas
menerangkan firman Allah mengenai manfaat jilbab,
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ
“Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal.” (QS. Al Ahzab: 59)
Asy Syaukani rahimahullah menerangkan, “Ayat (yang artinya), ”
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal”, bukanlah yang
dimaksud supaya salah satu di antara mereka dikenal, yaitu siapa wanita itu.
Namun yang dimaksudkan adalah supaya mereka dikenal, manakah yang sudah
merdeka, manakah yang masih budak. Karena jika mereka mengenakan jilbab, itu
berarti mereka mengenakan pakaian orang merdeka.”[2]
Inilah yang membedakan manakah budak
dan wanita merdeka dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa wanita yang tidak
berjilbab berarti masih menginginkan status dirinya sebagai budak. Bahkan Ibnu
Katsir mengatakan bahwa jilbab bertujuan bukan hanya untuk membedakan dengan
budak, bahkan dengan wanita jahiliyah.[3] Sehingga
orang yang tidak berjilbab malah kembali ke zaman jahiliyah. Yang dimaksud
zaman jahiliyah adalah masa sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebut
jahiliyah karena berada dalam zaman penuh kebodohan dan kesesatan sebagaimana
disebutkan dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith.
Coba bandingkan, manakah yang lebih
paham Qur’an, As Sudi dan Mujahid yang terkenal dengan keahliannya dalam ilmu
tafsir dan juga Asy Syaukani yang tidak perlu lagi diragukan ilmunya, ataukah
professor kemarin sore yang biasa memplintir ayat? Tentu saja yang kita ikuti
adalah yang lebih salaf dari Bu Musdah Mulia. Seorang sahabat yang mulia,
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata,
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ
مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ
عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ
“Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti
petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang
yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah.”[4] Benarlah
kata Ibnu Mas’ud, lebih terfitnah lagi atau lebih rusak jika yang diambil
perkataan adalah orang JIL yang muara logikanya tidak jelas dan tanpa pernah
mau merujuk pada dalil atau perkataan ulama, maunya mengandalkan logikanya
saja. Biar kita selamat, ambillah perkataan salaf daripada mengambil perkataan
JIL yang logikanya asal-asalan.
Jikalau mau dikatakan bahwa wanita
muslimah tidak butuh identitas jilbab lagi untuk saat ini. Maka jawabnya,
justru sangat butuh. Karena dengan jilbab seorang wanita lebih mudah dikenal,
ia muslim ataukah bukan. Bahkan lebih mudah dikenal ia wanita baik-baik ataukah
wanita nakal melalui jilbabnya.
Jika Bu Musdah Mulia menganggap bahwa
jilbab hanya bertujuan agar tidak diganggu laki-laki dan sekarang keamanan
wanita sudah terjamin. Jawabnya, sudah terjamin dari mana? Justru kalau kita
buat persentase, yang tidak berjilbab itu yang lebih banyak jadi korban
perkosaan. Maka benarlah firman Allah,
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.” (QS. Al Ahzab: 59).
Kita bandingkan perkataan Bu Musdah dengan seorang ulama. Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Ayat di atas menunjukkan,
orang yang tidak mengenakan jilbab akan lebih mudah digoda. Karena jika seorang
wanita tidak berjilbab, maka orang-orang akan mengira bahwa ia bukanlah wanita
‘afifaat (wanita yang benar-benar menjaga diri atau kehormatannya). Akhirnya orang
yang punya penyakit dalam hatinya muncul hal yang bukan-bukan, lantas mereka
pun menyakitinya dan menganggapnya rendah seperti anggapan mereka itu budak.
Akhirnya orang-orang yang ingin berlaku jelek merendahkannya.”[5]Apa yang disebutkan oleh Syaikh As Sa’di
memang benar dan sesuai realita di lapangan.
So … apa dengan alasan Bu Musdah seperti itu, jilbab mesti
dilepas karena wanita sekarang tidak butuh identitas semacam itu? Silakan kita
memilih, perkataan Bu Profesor ini lebih diikuti ataukah firman Allah, sabda
Rasul dan perkataan ulama yang jelas lebih tinggi ilmunya dan pemahaman
agamanya dibanding Ibu Profesor.
Kelima:
“Perempuan beriman tentu secara sadar akan memilih busana sederhana dan tidak
berlebih-lebihan sehingga menimbulkan perhatian publik, dan yang pasti juga
tidak untuk pamer (riya)”, ujar Bu Musdah Mulia.
Sanggahan:
Bagaimana bisa berjilbab disebut
riya’? Aneh …
Sebagaimana laki-laki jika ia
diwajibkan shalat jama’ah di masjid, apa kita katakan ia riya’ jika pergi ke
masjid? Jika seseorang ingin pergi shalat ‘ied ke lapangan, apa juga disebut
riya’?
Jadi dengan alasan Bu Musdah,
laki-laki tidak usah pergi ke masjid untuk berjama’ah. Begitu pula kita tidak
perlu shalat ‘ied di tanah lapang karena khawatir riya’.
Justru kita katakan bahwa untuk
amalan wajib yang harus ditampakkan, maka wajib ditampakkan.
Kata Al-Izz bin ‘Abdus Salam, amalan
yang disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir ketika
shalat, membaca Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya’ dan
Shubuh, pen), ketika berkhutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat
jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad,
mengunjungi orang-orang yang sakit, dan mengantar jenazah, maka amalan semacam
ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut
berbuat riya, maka hendaknya ia berusaha keras untuk menghilangkannya hingga
dia bisa ikhlas dalam beramal. Sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan
pahala amalannya dan juga pahala karena kesungguhannya menghilangkan riya’ tadi,
karena amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang lain.
Jika demikian, maka jilbab itu wajib
ditampakkan dan itu bukanlah riya’. Bahkan kata Fudhail bin ‘Iyadh,
تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ
النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ
“Meninggalkan amalan karena manusia termasuk riya’.
Melakukan amalan karena manusia termasuk syirik.”[6]
Keenam:
Bu Musdah Mulia juga berkata, “Memakai jilbab bukanlah suatu kewajiban bagi
perempuan Islam. Itu hanyalah ketentuan Al Qur’an bagi para istri dan anak-anak
perempuan Nabi.”
Sanggahan:
Bagaimana dikatakan jilbab hanya
untuk anak dan istri nabi, sedangkan dalam ayat sudah dijelaskan pula secara
terang bagi wanita beriman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin …” (QS. Al
Ahzab: 59). Ayat hijab ini secara jelas menunjukkan perintah tersebut ditujukan
pula untuk orang-orang beriman, namun terkhususkan pada istri dan anak Nabi.[7]
Taruhlah jika perintah tersebut hanya
untuk istri Nabi dan anak-anaknya. Kita dapat berikan jawaban bahwa jika untuk
istri dan anak beliau saja diperintahkan untuk berjilbab padahal ada Nabi di
sini mereka yang jelas mereka lebih terjaga dari gangguan, maka tentu wanita
lainnya lebih pantas untuk menutup dirinya dengan jilbab. Lebih dari itu,
jilbab adalah sebagai tanda kemulian istri dan anak Nabi[8]. Jadi, barangsiapa ingin mulia,
berjilbablah dengan segera.
Ketujuh:
Beliau menyatakan pula, “Asbab nuzul ayat-ayat tentang perintah jilbab
disimpulkan Musdah, bahwa jilbab lebih bernuansa ketentuan budaya ketimbang
ajaran agama. Sebab, jika jilbab memang diterapkan untuk perlindungan atau
meningkatkan prestige kaum perempuan beriman, maka dengan demikian dapatlah
dianggap bahwa jilbab merupakan sesuatu yang lebih bernuansa budaya daripada
bersifat religi.”
Sanggahan:
Tidak sedikit komentar kaum penentang
jilbab mengatakan, kalau jilbab adalah hasil adopsi budaya bangsa Arab. Sehingga menurut
mereka, bangsa yang di luar Arab, tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti
budaya Arab.
Jika katakan jilbab adalah budaya
Arab, maka kita mesti lihat sejarah Arab sebelum Islam itu datang. Kalau kita
lihat penjelasan ulama, ternyata menunjukkan bahwa jilbab itu datang ketika
Islam itu ada. Karena sebelumnya di zaman jahiliyah, wanita itu telanjang dada.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Perempuan pada zaman jahiliyah biasa
melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada, tanpa ada kain sedikit pun.
Kadang-kadang mereka memperlihatkan leher, rambut dan telinganya. Kemudian
Allah akhirnya memerintahkan wanita beriman untuk menutupi diri dari hal-hal
semacam tadi.”[9]
Jelas sudah, kalau jilbab yang
dianjurkan Islam beda jauh dengan budaya Arab. Lalu ada alasan lainkah yang
mengatakan jilbab itu sebuah budaya Arab? Jika merujuk pada jilbab yang menutup
aurat, jelas Islam lah yang menggagasnya.
Ayat-ayat dan hadits yang telah kami
jelaskan di awal sudah menunjukkan bahwa jilbab adalah bukan budaya arab, namun
ajaran Islam yang langsung diperintahkan oleh Allah. Ajaran Islam bersifat
universal untuk orang Arab dan non Arab sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا
رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam”(QS. Al Anbiya’: 107). Ibnu
Jarir Ath Thobari berkata bahwa tidaklah Nabi Muhammad itu diutus melainkan
sebagai rahmat bagi seluruh makhluk Allah yang beliau diutus kepadanya.[10]
Demikian beberapa penjelasan sebagai
sanggahan pada beberapa syubhat atau kerancuan yang biasa disampaikan
orang-orang Liberal atau JIL. Moga Allah terus menguatkan iman kita dengan
akidah dan pemahaman agama yang benar, serta menghindarkan kita dari pemahaman
orang-orang yang tak tahu arah.
Post a Comment