Perintah Menahan Pandangan
Allah ta’ala berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang
beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nuur: 31)
Syaikh As-Sa’di berkata: “Setelah
Allah ta’ala memerintahkan kaum lelaki yang beriman untuk menahan pandangan dan
menjaga kemaluan maka Allah pun memerintahkan kaum perempuan yang beriman
dengan perintah serupa. Allah berfirman, “Katakanlah kepada wanita yang
beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya,” yaitu menahan
pandangan dari melihat aurat dan kaum lelaki dengan disertai syahwat atau
pandangan sejenis yang terlarang.” “Dan hendaknya mereka menjaga
kemaluan mereka.” Yaitu supaya terjaga dari perbuatan berjima’,
menyentuh atau memandangnya dengan cara yang diharamkan. “Dan janganlah
mereka menampakkan perhiasan mereka.” Seperti baju yang indah dan
barang perhiasan. Dan seluruh tubuh adalah termasuk perhiasan…” (Taisir
Karimir Rahman, hal. 566)
Sedangkan yang dimaksud dengan illa
maa zhahara minhaa atau yang biasa nampak darinya adalah: wajah dan
telapak tangan. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Ath-Thabari di dalam
tafsirnya (18/84). Diantara dalilnya adalah peristiwa yang dialami oleh Fadhl
bin Abbas bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
hajjatul wada’. Ketika itu ada seorang perempuan yang meminta fatwa kepada
Nabi. Ibnu Abbas yang meriwayatkan hadits ini mengatakan: “…maka Fadhl
mulai mengarahkan pandangannya kepada perempuan itu, sedangkan dia adalah
seorang perempuan yang cantik. Maka Nabi pun memegang dagu Fadhl dan
memalingkan mukanya ke arah yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hazm berkata: “Seandainya
wajah adalah aurat maka wajib baginya untuk menutupinya…” Perkataan Ibnu Abbas:
sedangkan dia adalah perempuan yang cantik, juga menunjukkan bahwa wajah
perempuan itu terbuka dan ketika itu Rasul sama sekali tidak memerintahkannya
untuk menutupinya. (lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 384-385)
Situasi yang Membolehkan Memandang
Perempuan
Diantara keadaan yang membolehkan
lelaki untuk melihat perempuan adalah:
- Ketika melamar (khitbah). Abu Malik
berkata: “Para ulama sepakat tentang bolehnya seorang lelaki memandangi
perempuan yang benar-benar ingin dinikahinya.”
- Melihat untuk keperluan pengobatan. Pada
asalnya hendaknya pasien perempuan dilayani oleh dokter perempuan, namun
tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwasanya laki-laki
diperbolehkan mengobati pasien perempuan dan melihat bagian tubuhnya yang
sakit apabila itu memang benar-benar dibutuhkan dan harus memperhatikan
batasan syari’at yang sudah ditentukan, diantara syaratnya adalah:
Hendaknya lebih didahulukan dokter perempuan dalam mengobati pasien
perempuan, hendaknya dokter lelaki itu adalah orang yang amanah dan baik
agama serta akhlaqnya, tidak boleh berdua-duaan tanpa ada mahram atau
perempuan lain yang bisa dipercaya, hanya melihat bagian tubuh yang
dibutuhkan tidak boleh melampaui batas dan pasien itu benar-benar
menderita penyakit yang sangat membutuhkan pengobatannya.
- Hakim dan saksi yang melihat perempuan
yang terlibat dalam kasus persidangan.
- Melihat untuk keperluan mu’amalah semacam
transaksi jual beli barang. Imam Nawawi berkata: “Boleh bagi lelaki
melihat wajah perempuan lain ketika persaksian dan jual beli. Demikian
pula sebaliknya, dia boleh melihat lelaki itu.” (diringkas dariFiqhu
Sunnah li Nisaa’, hal. 403-404)
Jangan Bertabarruj
Allah ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu dan janganlah kamu bertabarruj seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Abu Malik mengatakan: “Yang
dimaksud dengan tabarruj adalah: seorang perempuan menampakkan perhiasan serta
kecantikan dirinya dan bagian-bagian tubuh yang seharusnya ditutupi karena hal
itu dapat memancing syahwat kaum lelaki.” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal.
381)
Ancaman bagi yang Bertabarruj
Diriwayatkan hadits melalui jalan
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua golongan penghuni neraka
yang belum pernah kulihat keduanya: Suatu kaum yang membawa cemeti seperti ekor-ekor
sapi, dengan alat itu mereka menyiksa orang-orang. Dan juga para perempuan yang
berpakaian namun telanjang yang berlenggak-lenggok dan mempertontonkan
kecantikannya. Kepala mereka seperti punuk onta yang miring. Mereka tidak masuk
surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal keharuman surga bisa tercium dari
jarak perjalanan sekian dan sekian.” (Muslim [2128], lihat Fiqhu
Sunnah li Nisaa’, hal. 382)
Seorang muslimah shalihah Ummu
Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Hadits ini merupakan salah satu tanda bukti
kenabian: berita yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
aalihi wa sallam itu benar-benar telah terjadi.” (Nasihati li
Nisaa’, hal. 95) Beliau juga berkata: “Sehingga apabila ada seorang
perempuan yang mempertontonkan auratnya (tabarruj) pergi keluar maka dia
tercakup oleh (ancaman di dalam) hadits ini.” (Nasihati li Nisaa’, hal.
220) Beliau juga mengatakan, “…tabarruj adalah salah satu pintu kerusakan,
padahal Allah ‘azza wa jalla telah menyuruh kaum perempuan untuk mengenakan
hijab dan menutup diri di hadapan kaum lelaki lain.” (Nasihati li Nisaa’,
hal. 220)
Berdandanlah untuk Suami Tercinta
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah
berkata: “Berdandan dan menjaga kebersihan diri merupakan perkara yang
disyari’atkan akan tetapi hanya dengan cara yang mubah. Allah ta’ala berfirman,
أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ
أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ
“Dan Apakah patut (menjadi anak
Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang Dia tidak dapat
memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.” (QS. Az-Zukhruf: 18)
Demikian pula kisah Ummu Sulaim
ketika ditinggal mati oleh anaknya. Yaitu ketika suaminya Abu Thalhah pulang
maka diapun menyajikan hidangan makan malam untuknya. Maka suaminya pun
menikmati makanan dan minuman yang disajikannya. Kemudian dia berdandan untuk
suaminya dengan dandanan terbaik di luar kebiasaan sebelumnya.” … … … “…’Aisyah radhiyallahu’anha pun
sibuk untuk merawat diri dan berdandan untuk melayani Rasul shallallahu
‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam sehingga membuat sebagian hadits
luput dari beliau.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 170)
Di dalam hadits Abu Hurairah,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang
kriteria perempuan (isteri) yang terbaik. Maka beliau menjawab, “Yaitu
perempuan yang menyenangkan suaminya apabila dipandang, taat kepada suami jika
diperintah…” (HR. Nasa’i dan Ahmad, sahih, lihat Fiqhu Sunnah
li Nisaa’, hal 456)
Abu Malik berkata: “Ketahuilah
saudariku muslimah, disunnahkan (bagimu) memperhatikan urusan rambut dan
menyisirnya, meminyaki dan mencucinya dan sebagainya agar engkau bisa tampil
menyenangkan di hadapan suamimu. Tidak diragukan lagi bahwa membuat senang suami
adalah sesuatu yang dituntut dalam koridor syari’at…” (Fiqhu Sunnah li
Nisaa’, hal 412) Selain itu hendaknya dia rajin menggosok gigi. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya bukan karena
kekhawatiranku kalau memberatkan kaum beriman maka pastilah aku sudah
perintahkan mereka mengakhirkan sholat ‘Isyak dan menggosok gigi setiap kali
hendak sholat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Perempuan juga diperbolehkan
menggunakan wangi-wangian, baik wangi-wangian itu khusus untuk perempuan atau yang
biasa dipakai kaum lelaki, dengan syarat hal itu dilakukan ketika berada di
sisi suaminya saja. Dan apabila dia keluar rumah maka dia harus menghilangkan
semerbak harum wewangian yang dikenakannya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang diantara
kalian (kaum perempuan) mendatangi masjid maka janganlah menyentuh minyak
wangi.” (HR. Muslim dan Nasa’i) (lebih lengkap lihat Fiqhu
Sunnah li Nisaa’, hal.411-426)
Post a Comment