curhatibu.com

Pemimpin dan Cinta #9



Judulnya sok-sweet ya.. Hehe.. Kalau kita mau bahas "cinta", kira-kira yang terbayang apa? Hm... lelaki-perempuan, suami-istri, iya? Iya sih. Tapi kali ini saya mau bahas tentang cinta yang lain. Apa itu? Entahlah. Lhoh.. 

Well.. Pernah dengar tidak, sebuah ungkapan, yang sayangnya saya lupa tidak menuliskan atau menyimpan sumbernya, intinya begini, "Kau tidak akan bisa memimpin orang lain, jika kau tidak mencintainya".

Banyak di antara kita menjadi pemimpin, manajer, ketua, mas'ul, direktur, apalagi ya istilahnya.. Tapi tidak banyak, yang bisa menjadi pemimpin yang sebenarnya, atau istilah kerennya Leader. Kebanyakan hanya menjadi manajer. (haduh, sok ngomongin tentang leader, padahal dirinya saja belum layak menjadi leader. hhe.. tidak apa-apa. postingan ini bukan untuk memberikan kalian informasi, penjelasan, apalagi motivasi menjadi leader; tapi, untuk saya menuliskan kembali materi kepemimpinan or leadership yang akhir akhir ini saya baca buku-buku terkait, saya simak youtube-nya, dan saya tertarik padanya). 

Oke. Kebanyakan kita hanya menjadi manajer. Ya, sekedar memimpin suatu organisasi atau lingkup tertentu, sekedar untuk menyelesaikan unsur "What", unsur "apa yang akan dihasilkan", atau produk tertentu, atau perjalanan bisnis tertentu. Tapi, jarang yang bisa menjabarkan "Why", dan menginternalisasikan "Why" kepada timnya. Why apa? Ya, alasan, nilai, yang membuat kalian melakukan sesuatu di dalam organisasi kalian. 

Kalau kata Simon Sinex, seorang motivator internasional ya -saya taunya dari youtube. wkwk- seorang leader itu bisa menerjemahkan apa yang harus mereka lakukan itu, dari inside-out. bukan outside-in. Dari dalam keluar, bukan dari luar ke dalam. Maksudnya apa? Inside-out itu dimulai dari kata Why - How - What. Memulai dari mengapa mereka harus melakukan suatu hal itu. Mengapa mereka harus menghasilkan sesuatu. Mengapa mereka harus mati-matian memperjuangkan hal itu. Lalu menuju ke bagaimana memperjuangkannya, hingga muncullah hasil / produk dari apa yang kita perjuangkan. Semua dari "NILAI". Sedang outside-in, kebalikannya. 

Bingung ya? Saya juga. Trus apa hubungannya dengan cinta ya? :(

Well.. sisihkan dulu teori pak Simon, kita beralih kepada rumus kepemimpinan yang disebutkan pak Ary Ginanjar, dalam buku ESQ 165-beliau. Kata beliau, pemimpin itu bertingkat-tingkat. Menurut beliau ada 5 tingkat. Apa saja?

1. Pemimpin karena cinta. 

Ini tingkat pertama. Wow. Ini toh ngomong cintanya? Iya. Hehe.. Seorang pemimpin, leader, tidak akan -sampai kapanpun- bisa menjadi leader bagi timnya, mempengaruhi timnya, menanamkan nilai kepada timnya, jika dia tidak mencintai tim-nya. Pemimpin apapun lho. Jangan menyempitkan definisi pemimpin hanya untuk perusahaan, organisasi besar, dll; tidak. Bukankah setiap kita adalah pemimpin? Minimal, kita pemimpin bagi diri kita sendiri. Allah akan meminta pertanggungjawaban atas diri kita, atas diri yang kita kita pimpin. Ya, diri sendiri. Juga nanti, pemimpin di rumah tangga, pemimpin di kosan, pemimpin di suatu perjalanan -meski hanya 1-2 hari perjalanan tetap saja kita diminta pertanggungjawaban-. Nah, kita tidak akan berhasil memimpin, jika kita tidak mencintai apa yang kita pimpin. Oke, apakah kita cinta pada diri kita? pada anak-anak kita? pada tim kita? pada sub bagian organisasi kita? dst. jika tidak, maka, bahkan tingkat pertama kepemimpinan ini pun kita sudah gagal. 

2. Pemimpin yang dipercaya. 
PENTING banget, menjadi pemimpin yang dipercaya timnya. Kalau timnya saja tidak percaya, bagaimana mereka akan menjalankan keputusan yang kita buat? Bagaimana  mungkin mereka akan mengikuti segala aturan, dan tata tertib yang kita susun? Bagaimana mungkin mereka merasa yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang penting bagi "perusahaan".

Lalu, bagaimana menjadi seorang pemimpin yang dipercaya? Orang percaya kepada kita karena mereka tau bahwa kita layak dipercaya. Maksudnya? Ya, kita layak dipercaya, karena kita bisa melakukan apa yang seharusnya kita bisa lakukan. Maka untuk menjadi seorang yang dipercaya, ya lakukan tugas yang menjadi kewajiban kita, bahkan yang tidak merupakan kewajiban kita; dengan excellent. Dengan maksimal, dengan nilai, dan hasil terbaik. Supaya orang pun percaya kepada kita. Apalagi sebagai anak buah, tentu akan yakin pada bosnya, jika dia tau bahwa bos-nya selama ini terbukti bagus, terbukti ahli, dan terbukti bisa menjadi pimpinan mereka.

Yang perlu kita lakukan : terus belajar. Menjadi pemimpin justru harus mendorong kita makin semangat belajar, karena PR nya makin banyak, kerjaan dan tugasnya makin kompleks. Kita harus terus belajar, dan memberikan teladan kepada anak buah untuk menjadi sosok pembelajar. Dengan belajar, wawasan, keahlian, pengetahuan kita akan terus bertambah, meningkat; dan semakin siap menerima apapun tugas yang diberikan. Makin banyak kesempatan kita membuktikan bahwa kita, sebagai pemimpin, layak untuk dipercaya.

3. Pemimpin yang membimbing
Seorang pemimpin, sekalipun dia sangat ahli, bisa mengerjakan apapun, kemampuannya di atas rata-rata, tapi jika dia tidak punya kemampuan "membimbing", maka ia tidak bisa menjadi leader. Bukankah pemimpin itu terkait pengaruh? Pemimpin yang bisa memimbing, artinya dia bisa mempengaruhi orang melakukan apa yang diinginkannya, dan dia akan menemani, memandu, mendampingi, dan membuat anak buahnya bisa melakukan sesuai yang diinginkan. Orang yang bisa melakukan banyak hal, tentu banyak. Tapi yang bisa menjadikan orang lain menjadi hebat, bahkan lebih hebat dari dirinya, tentu luar biasa. Inilah tingkat yang ketiga - dia bisa mentransfer nilai kepada anak buah, karena dilakukan dengan penuh cinta, juga karena dia dipercaya oleh anak buahnya, dan dia mampu mendampingi step by step perkembangan anak buahnya, sehingga organisasi itu menjadi organisasi yang hebat.

4. Pemimpin yang berkepribadian
Ini terkait dengan tauladan. Apalah artinya, mulut berbusa-busa menasehati ke sana kemari, jika nyatanya nasehat itu tak sedikitpun tercermin dari perilaku pemimpinnya. Dia hadir untuk memberikan contoh nyata kebaikan, gambaran nyata nilai yang diperjuangkan di organisasi tersebut. Sehingga anak buah akan bisa dengan lebih mudah merealisasikan semua nilai itu menjadi luar biasa.

5. Pemimpin yang berkeabadian
Abadi. Sebagai pemimpin, tentu adakalanya lengser dari "jabatan" kepemimpinan itu. Maka, pemimpin yang hebat, adalah mereka yang telah bisa menanamkan nilai itu pada orang-orang yang dipimpinnya, dan mempersiapkan mereka untuk tetap teguh memegangnya, meski tidak ada lagi sosok dirinya di perusahaan. Yang utama  nilai tertanam. Siapapun yang mengelola, nilai yang telah ada, tetap akan sama, dan abadi. Itulah pemimpin tingkat ke-5

Hebat ya... JIka kita bisa memenuhi 5 kriteria itu. Kita mencintai apa yang kita lakukan, kita cinta dengan tim kita, kita dipercaya oleh tim kita, kita bisa membimbing mereka menjadi sosok yang lebih baik, dengan teladan nyata dari diri kita; dan terakhir, kita bisa menanamkan nilai yang akan tetap hadir meski kita tak lagi bersama mereka.

Wow.. Masih terlampau jauh untuk masuk ke kriteria itu. Tapi, setidaknya, dengan mengetahui hal-hal tersebut, kita bisa mulai belajar, masuk satu per satu tingkatan hingga ke tingkat ke-5, "menjadi pemimpin yang berkeabadian".

Berat ya, bahasan kita pada hari ini. Hehe.. Tapi ngomong-ngomong sebagaimana yang saya jabarkan di depan, bahwa pemimpin ini tidak hanya di wilayah perusahaan, organisasi, tim, dll. Bahkan, hal terdekat dengan kita sehari-hari, harusnya bisa kita terapkan hal yang sama. Kalau saya apa? Ya, betul. Pemimpin bagi anak-anak saya.

Pertanyaannya :

1. Apakah saya sudah benar-benar mencintai mereka, sehingga bisa totalitas memberikan apa yang saya miliki untuk memimpin mereka menjadi anak anak terbaik?
2. Apakah mereka percaya pada saya, ibunya, untuk menjadi ibu mereka? Katakanlah, mereka percaya. Lalu apa? Ya, harus banyak belajar, harus terus belajar, harus selalu mencoba hal baru, selama itu baik; selama itu bisa bermanfaat untuk anak-anak saya. Sehingga mereka, ketika ada kesulitan, kegalauan, kegundahan; mereka tau mereka harus membaginya kepada siapa. Karena mereka telah percaya : saya punya ibu yang hebat, yang mau terus belajar dan memperbaiki dirinya. Dan saya bangga padanya. Wew...
3. Apakah saya bisa membimbing mereka? Ya, rupanya ini terkait dengan bagaimana pola pikir saya, mindset saya, cara pandang saya terhadap mereka : apakah saya menganggap mereka anak-anak sempurna, anak anak baik, anak yang penurut, anak yang hebat, atau sebaliknya. Dan rupanya, mindset itu sangat berpengaruh pada cara saya membimbing mereka. Saya bisa lebih telaten ,sabar, jika saya meyakini bahwa anakanak saya, dengan potensinya masing-masing, adalah anak yang hebat dan dicipta dengan begitu sempurna oleh Allah, sehingga saya harus memberikan perlakuan terbaik dalam memimbing mereka.
4. Apakah saya sudah menjadi contoh terbaik mereka? PR banget ini. Kalimat-kalimat nasehat, bagi anak-anak, bisa jadi terlalu abstrak. Mereka akan lebih tergerak jika ada contoh nyata. Ya, siapa lagi jika bukan dari orang tuanya, orang yang terdekat dan selalu menemani mereka setiap hari. Maka, Saya harus lebih menjaga diri saya. Bukankah mendidik orang lain itu sama saja dengan mendidik diri sendiri? dan tidak akan pernah berhasil orang mendidik orang lain, jika dirinya sendiri belum berhasil dididiknya.
5. Apakah saya sudah menyiapkan mereka sebagai aset terbaik saya, saat saya meninggal? Amal jariyah, doa anak sholihah, dan ilmu yang bermanfaat. Wew... Jika itu terkumpul menjadi satu dalam diri anak-anak saya, bukankah itu investasi terbaik sepanjang masa?

Semoga kita bisa. Hm.. Untuk menjadi pemimpin tingkat 5 , mulailah dengan tingkat 1, memimpin mereka dengan cinta. Ya, dengan sepenuh cinta. :) Sekian 

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)