curhatibu.com

Belum Siap #10


Ya, sepertinya saya belum siap untuk kembali. Rupanya, rasa hati belum sanggup terjaga-i. Sehingga saya memutuskan untuk melanjutkan tekad mendiam-i. Mungkin saya akan melanjutkan dalam banyak hari, atau mungkin saja berbilang pekan juga masehi. Yang pasti, tidak untuk saat ini.

Beberapa hari, sangat mengurangi konsumsi baterai HP, heeh. Ya, bahkan saat mengetik tulisan ini, saya tidak tau di mana letak HP saya. Lalu, apakah itu lebih baik, untuk kehidupan saya? Entahlah, saya tidak tahu. Tapi yang pasti, saya sangat merasakan ada banyak hal yang bisa lakukan untuk hal lain. YouTube? Iya, ini tetap sih, setidaknya, konsumsi YouTube saja membuat saya lebih baik, ketimbang melihat postingan-postingan di instagram, facebook, atau bahkan WhatsApp. 

Kenapa WhatsApp juga? Ya, karena saya cukup merasa terganggu dengan banyak chat yang sebenarnya tidak penting untuk saya. Dan buktinya, beberapa hari sangat mengurangi menengok WhatsApp, membuktikan bahwa "Emang tidak terlalu penting sih". Hehe.. Mungkin saya-nya yang tidak terlalu penting. Ya, memang sih. Tapi lebih kepada  : sebenarnya ga pake aplikasi ini pun tidak terlalu ngefek pada kehidupan. Hanya kemarin memang saya butuh untuk chat adek untuk bantu jemput anak saya. Tapi ya sebatas itu saja ; selepas itu, saya tidak tengok tengok lagi pesan pesan tidak penting yang masuk. 

Ketinggalan info lho? Iya, mungkin. Tapi trus kenapa? FOMO? Fear of Missing Out katanya. Hehe.. Takut ketinggalan berita. Mungkin banyak berita yang memang tidak perlu saya lihat, saya tengok, saya ikuti. Mending saya buka YouTube, tontonan motivasi atau apapun yang benar-benar menambah pengetahuan saya.

Ada satu hal positif lagi : saya bisa membaca buku lebih banyak, dan lebih cepat. Ya, karena lebih fokus. Tidak ada HP yang membersamai saya, ketika saya memegang buku-buku itu. Dan saya lebih menyadari : rupanya selama ini, merasa sudah cukup ilmunya, lalu tidak perlu membaca buku. Nah ketika saya mencoba membaca 1 atau 2 buku per hari, wow, ternyata amat banyak hal yang baru, yang saya dapatkan. Saya ingin mencoba melanjutkan kebiasaan ini kembali, saya habiskan buku-buku yang terbeli namun belum terbaca, saya pelajari ilmu-ilmu yang saya butuhkan tapi terabai karena sibuk dengan "info" yang "sok penting" di pesan chat WA atau DM IG. 

Kalian menyadar tidak, semenjak ada WA, ada beberapa orang yang lebih nyaman menasehati lewat pesan. Dan mereka ketakutan untuk datang, hadir berhadapan untuk berbincang tentang hal yang patut diperbincangkan. Menganggap, bahwa pesan yang sudah terkirim lewat pesan maya itu sudah bisa menyelesaikan. Padahal, dibaca saja tidak, atau sekedar sambil lalu, atau justru diterima dengan tidak sebagaimana dimaksudkan. 

Menasehat itu lebih layak jika disampaikan face-to-face, datangi orangnya, sampaikan apa yang kalian inginkan, sembari melihat bagaimana reaksi yang dinasehat. Hm... Maksudnya begini : ketika kita melihat seseorang berbuat salah (menurut kita), bisa jadi itu terjadi karena berbagai alasan, dan latar belakang. Kemungkinannya banyak : tidak tau bahwa hal itu salah, tau itu salah namun khilaf, atau menyengaja salah karena ingin menarik perhatian. 

Jika seorang tersebut memang tidak tau bahwa itu salah, ya tentu kewajiban kita memberitahu hal yang benar, dengan cara yang benar, yang baik. Dan tentu penuh pemakluman, namanya juga tidak tau, kan? Kalau orang tersebut memang tau bahwa itu salah, namun khilaf, ya tetap kewajiban kita memberikan nasehat, memberi tau. Namanya manusia, tidak pernah lepas dari khilaf. Mungkin ketika menit dia melakukan kesalahan, dia kalut, dia bingung, atau dia kesulitan mengendalikan diri sendiri karena setan yang terus menghembusinya dengan was-was; sehingga dia terjatuh pada kesalahan. Lalu, kemungkinan ketiga : dia sengaja melakukan kesalahan itu karena ingin menarik perhatian. Ini sebenarnya agak gawat ya.. bisa jadi dia butuh perhatian, butuh sesuatu yang tidak tau bagaimana menyampaikan. Atau bisa jadi juga, selama ini kebaikan yang telah susah payah dilakukan tidak ada yang memberikan penghargaan,haus pujian, atau malah dianggap kesalahan. Sehingga, "saya berbuat baik aja dianggap salah, ya berbuat salah aja sekalian..." Wah ini ada yang salah dengan diri kita dalam membersamai orang-orang seperti ini. 

Makanya : kalau mau menasehati, ya temui orangnya baik-baik. Dengan bertemu, kita bisa memahami "hal lain" yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh "intonasi" dan "gesture" pesan singkat berupa tulisan. Dengan lebih bisa memahami, tentu kita bisa lebih mudah menemukan solusi yang tepat untuk kita sampaikan kepada orang tersebut. Tapi, jika memang tidak bisa bertemu, karena terpisah jarak yang teramat jauh, ya sudah, paling tidak, kita bisa mengupayakan mengetahui hal lain, mengetahui kebutuhannya, ketimbang sekedar sok menasehati ini itu, padahal itu hanya kata-kata mentah tak berguna, yang akan diskip saja olehnya. 

Belum siap. Ya, mungkin saya belum siap untuk kembali ke media sosial itu. Bukan 100% saya menutupnya; tapi mungkin 50-70% saya akan menguranginya, secara bertahap. Saya belum siap dengan segala resiko negatif -yang sebagiannya sudah saya rasakan-, yang akan saya terima ketika saya kembali aktif. Paling tidak, saya berhenti update status, story, atau update kegiatan dan perasaan saya di media-media itu. Rasanya bagaimana? Ya, saya lebih aman, lebih nyaman. Toh, sebenarnya, orang lain yang membaca, sebagian besarnya tidak terlalu peduli, dan tidak benar-benar peduli. Paling hanya 1-2 orang yang lalu bertanya, "mengapa?" atau memberi respon. Tapi bukan berarti itu bentuk kepedulian. Ternyata lebih asyik tidak mengupdate itu semua. Ternyata lebih asyik menunjukkan kepedulian di dunia nyata, ketimbang di dunia maya. 

Hmm.. Ada satu adek yang menginspirasi saya, untuk mengikuti jejaknya. Ya, dia tidak punya instagram -kadang dia bingung kalau ada penugasan yang mengharuskan upload di feed/story-. Dia juga jarang mengupdate statusnya, seingat saya, saya hanya 2 kali membaca statusnya. Itupun sesuatu yang entah aapa, saya tidak mengerti. Saat melihat Whatsappnya, nampak di list chat yang belum terbaca mencapai ribuan. Hehe.. saya tidak tau, mungkin memang itu chat-chat yang tidak penting baginya, "Ya itu kan emang chat grup yang tidak penting mbak, tapi tetap saya harus di grup itu karena memang harus ada info yang saya sampaikan kepada mereka" - mungkin jika dia bisa menjabarkan alasannya daam kata, itu yang dikatakannya. Nah dari situ, saya menganggap, "Ah iya bener juga, kenapa saya harus membaca seluruh pesan? Kenapa saya harus merasa penting untuk membuka seluruh chat? Dan kenapa saya mempertahankan grup grup yang sebenarnya saya sudah tidak perlu lagi di sana?"

Saya tinggalkan beberapa grup, setelah itu. Saya hapus grup tersebut. Sehingga yang tersisa sekarang ya, grup yang saya butuh infonya, atau saya yang menjadi penanggung jawab atasnya. Tapi dengan syarat : saya hanya buka jika saya butuh menyampaikan sesuatu. 

Jam-jam awal, hari hari awal, dengan kebiasaan ini : resah. Takut ada info apa yang baru, takut ada yang kirim pesan penting, dan sebagainya. Tapi ketika saya mencoba 2-3 kali saya menengok medsos tiap hari, kesimpulanya : "TIDAK ADA YANG PENTING". Wow.. meyakinkan saya untuk kembali menggeluti hal ini. 

Saya hanya lebih merasa banyak waktu, juga banyak kesabaran, menemani anak saya. _masih terganggu dengan YouTube sebenarnya_ wkwkwk.. Bertahap lah ya.. Setidaknya : saya tidak perlu menengok, "ada yang respon postingan saya?" Rupanya : pencipta medsos telah menyadari tentang hal ini. Ketagihan. Fitur love, komen, share, atau "siapa yang berkunjung/viewer" semacam hal yang bikin ketagihan. Karena fitur fitur itu bisa menghasilkan hormon dopamine (kalau ga salah.. wkwk), yang kalau "Wah, ada yang like", maka kita bisa ketagihan untuk membuka lagi, mengecek lagi, bikin postingan lagi, dan seterusnya. 

Maka, saya belum siap untuk kembali kepada masa itu. Karena negatifnya banyak banget. Contoh sederhana : kita jadi lebih kesulitan menjaga keikhlasan -tergoda untuk mengupload aktivitas berfaedah kita- yang sebenarnya, tidak diupload pun tidak masalah, dan malah lebih mengamankan niat. Tapi semacam ada keinginan membuktikan diri, "Saya tuh kegiatannya pun ada yang berfaedah lho, saya dibutuhkan banyak orang lho, ada banyak yang suka pada saya lho, nih saya orangnya alim lho...dsb". entahlah disadari atau tidak, tapi berkali kali ada perasaan itu.

Efek negatif lain : kita jadi tidak fokus ketika menyimak ilmu. Ilmu apapun sarananya, mau dari youtube, baca buku, kajian, maupun potongan-potongan video di beranda Instagram. Ketika kita menyimak nasehat yang menurut kita buagus, inspiratif, keren, luar biasa; yang kita lakukan apa? Ya, share di medsos kita. Tujuan kita? Dalam angan sih begini, "Ah, supaya yang lain terinspirasi, ah ini kayaknya cocok untuk menasehati teman saya, ah ini relevan dengan kejadian kemarin, ah ini ah itu..." akhirnya apa? Ya, akhirnya, nasehat itu berakhir hanya di medsos kita. Kepada perbaikan diri kita? Nihil. Kita bahkan sering tidak ingat bahwa kita sudah pernah membagikan nasehat yang sama -dan kondisinya masih sama, tidak ada perbaikan-. Ya, karena fokus kita selalu : bagaimana supaya ini bisa menginspirasi banyak orang.

Padahal, sudah banyak kita diingatkan : fokus dulu perbaiki diri, sebelum sibuk mengingatkan orang. Jangan sampai kita menjadi orang yang sibuk menasehati sana sini, tapi diri sendiri terlampau gampang dimaklumi tanpa perbaikan. Kalau kata ust Nuzul Dzikri, "Kalau kalian dapat nasehat, maka jangan lempar nasehat itu ke orang lain. Lemparkan pada diri sendiri!"

Nah, dampak lebih jauh lagi dari kebiasaan ini adalah : kita mudah terpecah fokus belajarnya. Misalnya ni kita lagi duduk di kajian seorang ustadz, yang materinya "kita banget!". Sepertinya, setiap kalimat yang disampaikan ustadz tu nge-jleb banget. Nah udah deh, kebiasaan buruk muncul : setiap kalimat ustadz nya, bukannya kita catat baik baik di buku tulis, buku catatan; tapi kita tuliskan di mana? Ya, di story, di status WA, di status Fb, dll. "Lho kan biar orang terinspirasi juga, biar tau ilmunya juga meski tidak ikut datang.. mana tau orang bisa ikut datang karena tau ada kajian..." Sekarang tanyakan ke diri deh, habis update status, dengan alasan tersebut di atas; apakah kita bisa fokus lagi menyimak kajian ilmu yang disampaikan ustadz? Ataukah kita akan beberapa detik sekali mengecek, "Wah, ada yang ngelike, wah ada yang ngeDM, wah ada yang ngeliat udah banyak". Tanyakan ke diri sendiri deh.. Tidak perlu tanya ke perasaan orang lain. Hehe..

Juga kegiatan lain: membaca buku. Membaca buku, tapi di sebelahnya ada HP, yang siap online 24 jam. Halaman 1,2,3 terbaca, nemun quotes inspiratif, foto, posting di feed, atau status. Kembali fokus baca? Tidak mungkin. Kita akan sibuk menghias foto itu, menambah caption sana sini, lalu memantau apakah ada orang yang terinpirasi dengan postingan saya. Bukunya? Tutup buku, taruh lemari. HP yang kemudian kita buka berjam-jam kemudian, sekedar memantau "ada yang terinpirasi?"

Makanya, saya belum siap, untuk kembali kepada kebiasaan itu. Sangat menyita waktu, dan menghilangkan kesempatan saya meraih ilmu. Belum efek negatif yang banyak dibahas oleh orang selama ini : aktivitas membandingkan. Beuh... mulai dari urusan penampilan, makanan, traveling, bahkan membandingkan apakah aktivitas sosial, aktivitas berbagi, aktivitas dakwah saya lebih hebat daripada aktivitas sosial/berbagi/dakwah relawan lain? wew... Ngeri lah saya. Urusannya hanya : pujian, populeritas, dan perasaan bangga bahwa diri lebih hebat dan berpengaruh daripada yang lain. Huaa.. buntutnya panjang T.T sedih saya.

Oke, jadi, apakah saya akan tetap bertahan dengan keputusan saya ini? Entahlah. Lho koq saya tetap menulis blog ini? bukankah sama saja?

Wkwkwk... bisa jadi. Tapi tidak banyak yang tau blog ini, dan tidak banyak (atau mungkin tidak ada) yang baca blog ini. Saya rasa, hanya orang-orang yang benar-benar peduli pada saya, yang akan mengetahui dan membaca blog ini. Dan itu tidak banyak, dan tidak terlalu saya pedulikan. Karena sesungguhnya, saya punya target menulis setiap hari minimal 1000 kata. Dan tempat menulis terbaik ya di blog ini, karena saya tidak pusing di mana menyimpan, dan akan tetap tersimpan insyaallah bertahun-tahun ke depan (selama blogger ini masih eksis, semoga ya). Hehe..

Well.. intinya apa? Ada banyak hal penting yang bisa kita lakukan. Ada banyak orang-orang yang penting -yang lebih membutuhkan kehadiran kita-, dan ada dirimu, diri kita, yang lebih butuh untuk diperhatikan dan diperbaiki perilakunya. Ketimbang sibuk dengan orang orang lain. Ya dan ada kewajiban yang harus kita fokuskan. Sebagai ibu: ada anak-anak yang butuh didikanmu. Sebagai pelajar : ada buku yang masih banyak harus dibaca, dan ada banyak ketrampilan yang harus dikuasai. Sebagai anak : ada orang tua yang perlu diperhatikan. Dan  lain lain. Jangan terlalu sibuk dengan media sosial, yang membuatmu larut dengan orang-orang yang sebenarnya tak terlalu kau pedulikan, dan tak terlalu memedulikanmu. Sibuklah memberikan perhatian, dan perlakuan terbaik pada orang orang yang ada di dunia NYATA-mu.

Oke? Sekian ya.. Panjang sekali postingan hari ini. Hehe.. itung-itung, ngebayar karena kemarin ga posting, hilyah-ku sakit. Sekarang alhamdulillah udah baikan. 

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)