curhatibu.com

DIAM #8



Saya suka denganmu, yang hanya diam, saat saya menatapmu. Lalu mulai, satu per satu kisah terlantun mesra, dan tak ada yang bisa memotong pembicaraannya. Saya suka denganmu, yang hanya menyimak, tanpa saya khawatir ada penilaian atau penghakiman saat bercerita. Lalu kata demi kata berdesak tak sabar ingin keluar untuk diperdengarkan. Saya suka denganmu, yang tak pernah mengeluh dengan waktu, sehingga tak protes, bahkan sekedar menunjukkan gusar kebosanan mendengar kalimat yang terlontarkan. Saya suka denganmu, dengan anggukan imajinasimu, seolah mengerti kerancuan bahasa yang saya gunakan menjelaskan; abstrak, tak setiap apa, paham. Tapi, kau seperti mengerti, membuat saya tak sungkan melanjutkan, karena merasa dipahami. Saya suka denganmu, yang membuat saya merasa huruf yang tersusun itu penuh makna; meski saya bukan ulama panutan. Tapi, dengan begitu, membuat saya tak ragu membaginya, sembari menambah makna dengan bacaan lainnya. Ya, saya suka denganmu, dengan suara desingan mesin halusmu, juga lampu penanda baterai yang memerah pertanda sebentar lagi akan padam kehabisan daya, juga, dengan bunyi ketikan yang sungguh menentramkan. Terimakasih, karena telah diam, dan mendengarkan saya berceloteh meski tanpa pesan makna yang mengesankan.

Ya, saya juga suka denganmu.. Kau tak banyak bicara. Bahkan, tak pernah sekalipun saya dengar kau mengeluarkan kata. Mungkin, saat kau dibangunkan saja, kau bergeliat manja, karena tepokan alat yang mungkin cukup menyakitkan. Tapi setelah engkau berdiri tegak, kau tak banyak kata. Yang kau tau, hanya bagaimana dirimu bisa membuat saya, juga beberapa yang lain, merasa tentram bersamamu. Merasa hangat, saat hawa dingin mulai menelisik malam; juga tak kepanasan saat matahari mulai menerik terang. Kau juga membuat kami merasa terlindung dari tatap mata nakal tak bertanggung jawab di jalanan juga persawahan. Kadang terbersit, bagaimana jika kau banyak bicara, jika kau tak bisa menyimpan rahasia pandangan, jika kau suka berceloteh keluhan seolah tersiksa. Ah, pasti tak nyaman lagi tinggal bersamamu. Saya, akan takut mengeluh padamu, karena tau kau akan ceritakan pada kawan yang menempel di belakangmu, atau rekan se-ruang-an yang hanya berjarak tak lebih dari 5 meter itu. Saya, juga akan penuh khawatir tersingkap setiap rahasia dalam degupan malam dan siang yang menyendiri; karena takut, kau beberkan luka borok yang telah lama rapi tersembunyi yang selama ini membuat diri nampak tak bercela. Hei, terimakasih karena telah diam. Kau laksanakan tugasmu dengan sempurna, namun, kau tetap diam menyimpan segala jasa agar beroleh pahala keabadian.

Berikutnya, kau, yang di atas sana. Tak sering kita bertemu. Hanya sesekali saja saya bisa melihat wujudmu, itupun tak sempurna, hanya bagian tertentu. Tapi tetap, saya suka denganmu. Saya suka dengan diam-mu. Diammu membawa banyak pelajaran untuk saya. Lihat saja, kau tentu merasa kesakitan di atas sana. Tak nyaman, mungkin itu kata yang akan kau ucapkan, jika diizinkan. Tapi engkau tidak. Justru, jika kau hanya terabai, dalam gudang material pengap, meski tak sepanas yang dirimu rasakan sekarang, kau lebih menderita. Ya, kebermanfaatan, katamu. Ujianmu tentu berat, tak seperti yang lain, yang bisa nikmat berada dalam naunganmu, sejuk. Tapi, justru itu menjadi kebahagiaanmu; bisa menaungi banyak. Entah sudah berapa dentuman benda keras, juga tajamnya air yang terkadang menderas, juga terpaan topan yang berusaha kau jinakkan agar tak membahayakan, sampai kotoran burung liar yang kau relakan dirimu sebagai tampungan. Tapi, kau semakin bahagia. Katamu, banyak yang kuselamatkan. Ah, saya  suka denganmu, juga dengan gayamu. Terkadang, kau menjadi symbol kemegahan, juga keangkuhan. Tapi kau tidak membumbung, tidak mengembang hingga retak; karena kau tau semua itu hanya ke-sementara-an. Hari akan berganti, bulan dan tahun akan terlewati, dan kau tau bahwa kecemerlanganmu itu akan mengusam; meski tidak untuk kekuatanmu – yang justru semakin kokoh, dengan polesan terpaan musim yang bergantian mengabadikan. Untung kau tidak banyak bicara. Untung kau lebih suka diam; sehingga fokusmu melindungi tetap terjaga, semua tetap merasa aman, tanpa khawatir akan tersingkap kebocoran kabar yang melalangbuana dalam pesan kedustaan. 

Hai, kamu. Kamu juga. Lihat tubuhmu, bergoyang tiada kesudahan. Kau sudah tua ya? Sudah mulai rapuh, nampaknya. Tapi, kamu nampak lebih ceria, lihat, banyak orang-orang mendatangimu sekedar menyapa, lalu memetik kebahagiaan yang selalu kau bagikan. Bertambah ranum, nampaknya. Mengapa kamu bahagia, padahal kamu hanya berdiri di tempat yang sama bertahun berjalan memakan usia? Ya, sepertinya, karena kamu tidak pernah merasa sendirian. Hei, bukannya kamu sendirian? Hm.. Tidak, tidak. Kan sudah saya katakan, bahwa makin banyak orang menemuimu, ya. Benar. Pantas saja kamu selalu ceria. Kemarin, saya menempuhi je-jalan-an. Di sana, saya menemui banyak, yang sepertimu. Sayang sekali, saya tak bisa mengajakmu bertemu. Harapan saya, supaya kamu bisa sekedar menghirup hawa kemerdekaan dari sepetak lahan yang tak leluasa berselojor apalagi berlarian. Tapi, rupanya saya salah. Mereka, yang saya temui, mengatakan sesuatu yang mengejutkan, yang pasti lebih membebaskan bahagiamu. Ya, mereka bilang, salam untukmu. Mereka bilang, sampaikan bahwa mereka sudah menjejak ke seluruh penjuru negeri, membawa benih kebaikan darimu. Mereka bilang, sampaikan rasa terimakasih padamu, karena dunia bertambah hijau karenamu. Lalu, saya pikir : bagaimana bisa? Ternyata, meski dirimu hanya berdiri tanpa bisa berjalan bahkan selangkah pun tak sanggup; tapi buah kebahagiaan darimu telah tersebar hingga ujung negeri, mungkin sebentar lagi mulai mendunia. Bahkan, kau hanya diam, dan kau tak terlalu peduli dengan sebaran kebaikanmu. Yang kau pedulikan sekarang : jalani peran dengan baik, semoga bisa memberikan manfaat besar bagi semuanya. Terkenal? Alih-alih terkenal, bahkan bibit yang sudah ada di sekian ratus kilo, darimu, tak mengenal lagi darimana dia berasal. Tapi nampaknya memang kau tak terlalu peduli. Yang kau pedulikan, hanya bagaimana membaikkan diri, supaya berdampak baik kepada sekitarmu. Dan kau -lagi lagi- lebih banyak diam, namun karyamu berbicara di seluruh pelosok hijau dunia ini. Memberikan kesejukan di muka bumi. Itulah kenapa, saya suka padamu.

...

Wahai diri, yang terlalu banyak omong. Wahai diri, yang tak bisa sejenak saja diam. Wahai diri, yang begitu mencintai ketenaran. Wahai diri, yang terlalu banyak nasehat kosong tanpa aksi. Wahai diri, yang suka memberi tau tanpa menjalani. Wahai diri, yang sibuk mengomentari, tanpa pernah memperbaiki diri. Wahai diri, yang tak pernah lelah mengoceh sana-sini, tapi begitu lemah mengisi nurani. 

Tidakkah kau lelah?

Lihat, lisanmu saja lelah, jengah dengan kata yang seolah penuh makna, tapi nyatanya omong kosong saja darimu.

Bosan dengan nasehat yang terlontar kepada siapa yang kau tunjuk, tapi nihil untuk 4 jari kepada dirimu.

Lelah.

Cobalah, DIAM.

Bukankah mulut diciptakan tertutup, lalu telinga didesain terbuka, supaya kau lebih banyak menutup mulut, dan membuka telingamu? Bukan sebaliknya.

Nyatanya, terlalu banyak bicara itu capek. Konsekuensinya pun akan makin menyengsaraka. Jika yang kau katakan bukan kebenaran, dusta atau gurauan tak bermakna.

Terlalu banyak bicara itu mengerikan. Apalagi, yang kau bicarakan adalah jasa kebaikan, atau amalan yang mestinya kau sembunyikan.

Hai, banyaklah diam. Supaya, kau lebih bisa mendengar. Sehingga, kau akan tau, karya manfaat apa yang bisa kau berikan, sembari terus berdoa bahwa Allah menerima segala amalan yang sering tersusup ujub juga harap pujian.

Ya, Wahai diri, diamlah.. 

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)