curhatibu.com

Capek? #5


Siang ini, Ika bertanya hal, "Mbak ngga capek nemenin hilyah seharian?"

Pertanyaan yang agak sulit ya.. atau sangat sulit ya? Hehe.. Jawabannya biasanya tergantung kondisi hati. Ketika hati sedang "baik", maka jawaban yang terlontar akan, "Alhamdulillah ngga capek, karena menikmati kebersamaan dengan anak, kan pahala, blablabla...". Tapi, kalau lagi hati kacau, jawabannya, yaaa gitu deh, "Me time mana, me time.. help!"

Hm.. Saya teringat sebuah gambar, yang dishare kawan di Whatsapp, lalu saya jadikan profil picture WA saya sampai saat ini. Bunyinya begini, "Orang yang paling bahagia adalah orang yang membuat orang lain bahagia..." pakai bahasa arab, "Man as'adannasi, man as'adannasa" Bagus kan? Ternyata, salah satu cara ampuh membuat diri bahagia adalah dengan membuat orang lain bahagia. Koq bisa? Entahlah, saya tidak tau secara psikologi seperti apa. Mungkin, karena kita melihat orang menjadi gembira, menjadi tersenyum, menjadi senang, menjadi semangat; energi positifnya nular ke kita. Atau bisa jadi, karena ada perasaan diri kita berguna, penting, manfaat untuk orang lain; sehingga kita menjadi bahagia. Semacam terpenuhinya kebutuhan eksistensi diri, pengakuan diri orang lain terhadap keberadaan kita. Hehe.. bener gak sih? Hha.. saya tidak tau pasti. Tolong koreksi saya jika ada yang ngawur. 

Ketika kita memiliki pengaruh kepada orang lain, apalagi pengaruh positif, seperti kita merasa diri itu "dianggap ada" oleh orang lain. Bukan menjadi sosok yang, ada tiadanya tidak menjadi masalah, tidak menjadi problema. 

Lalu apa hubungannya dengan pertanyaan di atas ya? Nah itu dia. Ada perasaan bahagia ketika membersamai mereka. Perasaan yang mungkin muncul dari rasa dibutuhkan oleh anak-anak itu. Hehe.. Namanya juga manusia, butuh pengakuan eksistensi. Seorang Ibu, meski tidak banyak dikenal oleh siapa-siapa, paling tidak, dikenal oleh anaknya. Seorang ibu, meski kerjanya tak bersuara, paling tidak, kerjanya dinanti oleh anak-anaknya. Itulah yang membuat saya, seorang Ibu, bahagia. 

Sederhana bukan?

Hm. Tidak sesederhana itu sih. Menjadi seorang Ibu Rumah Tangga memaksa saya untuk melepas segala atribut keduniaan -bahasanya, Mak??!- melepas segala peluang menjadi wanita hebat di luaran sana, dengan title S1, S2 bahkan S3 (ya, meskipun banyak juga IRT yang S3.. wkwkwk.. saya nya aja sih yang belum ziaaapp), melepas gaji bulanan sekian digit (kalau sekarang, mungkin udah 8 digit..hhe), yang mungkin kalau masih ada, bisa kita berangkat umroh kapan saja.. Dan melepas "jabatan" prestise yang diharapkan oleh jutaan orang di luaran sana., "PNS", eh "ASN". 

Lalu, ketika kesempatan itu terlepas, ada masa di mana saya merasa "untuk apa saya hidup ya?", "koq hidup saya tidak ada gunanya ya?", "koq bosan banget ya rasanya...", "apa yang harus saya lakukan biar bisa lebih baik ya?" dst. 

Seketika, saya teringat anak-anak saya, dan satu per satu tanya terjawab, "untuk apa hidup? ya, untuk bisa menemani anak-anakmu tumbuh, mendidik mereka menjadi generasi yang hebat!", "hidup tidak berguna? Hei, lihat, siapa yang sepanjang hari dipanggil oleh mulut-mulut kecil itu? Siapa yang setiap hilang dari pandangan dicarinya keliling rumah, sambil menangis-nangis? Siapa yang dilarangnya pergi keluar hanya karena takut kalau tidak ada ibunya di rumah?"

Kemudian muncul sebuah kesimpulan, "Wahai Ibu, mungkin dunia tidak mengenalmu. Mungkin orang-orang tidak peduli dan tidak ada yang tahu siapa dirimu. Tapi, ada bocah-bocah kecil itu, yang selalu menanti kehadiranmu, menunggu pelukan hangatmu, dan mencintai senyum semangatmu dalam membersamai mereka... Tidakkah kau bahagia, wahai Ibu?"

Termasuk mengapa saya merasa bahagia adalah saya bisa membuat mereka tersenyum, tertawa, lompat-lompat ceria, padahal hanya memberikan permen kepada mereka, susu favorit mereka, atau sekedar memenuhi keinginan mereka dibacakan buku bersama di kasur. ya, mungkin ini esensi dari "Bahagia karena membuat orang lain bahagia". Capek sih, iya bener. Tapi bahagia. Gimana ya? Hehe. ya gitulah.. 

Tinggal 1 pertanyaan : apa yang harus saya lakukan untuk bisa lebih baik. Nah! Oke, mungkin baiknya bukan dalam karir di luar sana, tapi baiknya dalam karir di dalam rumah; yaitu menjadi madrasah bagi anak-anak saya. Karir tertinggi seorang wanita. Bukankah begitu, wanita diciptakan? Bukankah begitu, wanita dididik? Dididik, untuk melahirkan generasi generasi baru yang lebih baik darinya, yang lebih hebat darinya. 

Ustadz Syafiq menasehati saya -secara tidak langsung-, dalam potongan tausyah singkat beliau, yang isinya kurang lebih, "Wahai Ibu... (pakai bahasa saya sendiri ya ini.. ) jangan kalian mendidik anak-anak perempuan kalian, dengan harapan keuntungan di dunia. Tapi, mengharaplah keuntungan akhirat, dibebaskan dari api neraka, dari perjuangan kalian mendidik anak-anak perempuan kalian. Tidakkah kalian ingat sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bahwa anak perempuan akan menjadi tameng orang tuanya dari api neraka?" Tentu jika orang tua mendidik dengan baik. 

Kenapa, koq tidak boleh mengharap keuntungan duniawi dari mendidik anak perempuan? Kenapa tidak seperti ketika mendidik anak lelaki?

Ya, karena anak perempuan dididik untuk menjadi pendamping terbaik suaminya, dan ibu terbaik bagi anak-anaknya. Anak perempuan dididik untuk menjaga rumah suami, juga menjaga anak-anak suami mereka. Anak perempuan dididik untuk membentuk seorang wanita yang bisa mendidik generasi selanjutnya jauh lebih hebat, kuat dan baik di mata Rabbnya. Ya, maka jangan mengharap hasil dunia; semisal gaji anak perempuanmu setelah mereka kerja, waktu&ketaatan terbaik mereka untukmu setelah mereka bersuami, ya, karena semuanya akan berpindah kepada suami mereka. Jadi, cukuplah kita didik mereka, lalu mengharapkan dari pengorbanan dan perjuangan kita itu, menjadi tameng dari api neraka. Itu.

Hehe.. terdengar sangat ideal ya.. :) tapi, realisasinya memang tidak mudah, Guys.. Ya, namanya hadiah terbaik ya perjuangannya harus terbaik donk. Masak mau yang enak, tapi cuma butuh sekian menit memperjuangkannya, jangan bandingin mie instan deh.. wkwkw.

Tapi ya itulah mengapa, jadi orang tua itu, tidak boleh berhenti belajar.  Waktu anak masih 1, saya belajar printilan kecil ngurus anak. Waktu anak mulai sekolah, saya belajar bagaimana ini anak bisa semangat sekolah dan mendapat manfaat dari sekolahnya. Waktu anak punya adek/saudara, bagaimana saya belajar membuat mereka saling sayang, dan tidak pukul-pukulan (T.T). Dan akan terus berlanjut sampai entah kapan tahun. Ya, setidaknya, selama nafas ibunya ini masih diijinka terhembus, ibunya ini akan berjanji untuk terus belajar dan memperbaiki diri; supaya anak-anak bisa menjadi orang yang lebih baik dari ibunya -yang biasa aja :'

Mendidik anak itu butuh waktu yang udah itungannya tahun, belasan tahun, bahkan puluhan tahun. Tapi sabar, karena akan ada masanya nanti kita melihat hasilnya. Dan jika ada kesalahan ketika mendidik anak sebelumnya, jangan menyerah, jangan putus harapan; masih selalu ada waktu untuk memperbaikinya.

Ada nasehat bagus dari Tere Liye, tentang kepenulisan, eh ngga lah.. saya modif sedikit, karena emang relevan untuk urusan mendidik anak juga. Kayak gini nih kutipannya :

"Waktu terbaik menanam pohon adalah 20 tahun yg lalu. Tapi jangan berkecil hati -jika terlambat-, karena waktu terbaik kedua menanam pohon adalah HARI INI. Nah, nanti 20 tahun lagi kalian akan melihat hasilnya. Segera lakukan HARI INI. Bahkan mungkin tidak perlu menunggu 20 tahun, boleh jadi hanya perlu 5-6 tahun, pohon itu sudah mulai berbuah, sudah mulai bermanfaat untuk orang lain. Tidak mudah memang, tapi selama sungguh-sungguh, menjaga komitmen dan dirawat sepenuh hati (terus latihan dan belajar memperbaiki diri), insyaallah pohon 'didikan-mu' - anak-anakmu- akan tumbuh subur (dan penuh manfaat bagi sekitarnya)"

Seperti itulah.. Mungkin saya terlambat sekian tahun menyadari hal ini, tapi keterlambatan itu tidak boleh menjadikan saya terdiam lalu membiarkan efek negatifnya mempengaruhi kehidupan anak-anak saya sepanjang masa. Saya harus berubah, memperbaikinya, hari ini. Belajar, dan terus berbenah. Semoga dengan begitu, hasilnya akan lebih baik. Dan hanya dengan Izin Allah, semuanya bisa terjadi; jangan lupa selalu sisipkan doa untuk kebaikan anak-anak kita. Itu yang penting! Mengandalkan kemampuan kita? Ah, kita siapa? Kemampuan kita apa? Yang pegang hati anak-anak kita siapa? Allah. Maka, doa harus menjadi senjata, amunisi terhebat seorang ibu, seorang ayah; untuk anak-anaknya.

Hmm.. Sudah ya, tulisan hari ini. Alhamdulillah..
Credit to : Siti Mutdrikah, thx for your question :)

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)