curhatibu.com

Mendengar #3


Ternyata, mendengar itu indah ya. Saya baru menyadarinya. Ya, mungkin karena baru menemukan situasi yang membuat saya harus mendengar, lalu menemukan banyak pelajaran yang saya dapat dari "mendengar".

Mengapa Allah menciptakan dua telinga, dan hanya 1 mulut untuk kita? Ya, supaya kita bisa lebih banyak mendengar. Kata Karin, di suatu malam obrolan kami, sehari sebelum dia pulang,"Saya suka mendengar orang ngomong, curhat, cerita ke saya. Karena saya jadi tau banyak."

Bukan masalah kita jadi tau rahasia orang, atau "kepo" urusan orang; bukan. Tapi, kata dia lagi, "Kita jadi bisa mengambil pelajaran, tanpa harus mengalami hal tersebut". Ya, kita tidak perlu mengalami suatu kejadian traumatik, kondisi menyedihkan, peristiwa mencekam, atau hal-hal yang tidak menyenangkan untuk kita alami sendiri, tapi kita bisa mengambil hikmah, pelajaran, ilmu, pengalaman, dari apa yang diceritakan orang tentang hal tersebut.

Mungkin itu yang membuat saya menikmati proses mendengar, menyimak orang bercerita kepada saya; ya tentang apapun. Bahkan perkara kecil, ringan, sederhana bagi sebagian orang, bisa menjadi pelajaran bermakna bagi saya. Bisa menjadi nasehat yang nge-jleb untuk saya.

Di sinilah, saya mulai belajar satu hal berharga : tidak boleh kita menjadi hakim untuk orang lain. Wow.. sejak saat itu, saya mulai lebih berhati-hati untuk menilai orang. Ah, dan seharusnya kita tidak perlu menilai orang. Siapa kita? Kita tidak perlu menilai si A orangnya koq begini, si B seperti itu, si C, si D, dan sebagainya. Bahkan atas perkara buruk yang sudah jelas-jelas dilakukan si E kita tidak boleh menge-cap nya sebagai sesuatu yang buruk. Cobalah bertemu dengannya, berbincang dengannya. Pasti akan kita temukan sesuatu yang melatarbelakangi apa yang dilakukannya. Belajar menjadi seorang yang bijak dalam bergaul dengan orang lain.

Setiap orang, punya cerita masing-masing. Setiap orang, punya jalan perjuangannya masing-masing. Setiap orang, punya ujiannya masing-masing. Dan tidak satupun kita berhak menghakimi siapapun. Kecuali kalau hakim profesinya, hehe.. Artinya gini lho : apa yang kita lakukan, apa yang menjadi diri kita saat ini; itu ada jalan cerita di belakangnya. Tidak semua orang tau, dan tidak semua orang mau tau, dan tidak perlu juga kita memberitahukannya kepada mereka. Selalu ada hal yang tidak kita ketahui dari diri seseorang. Bahkan, sekalipun dia sudah "nampaknya" begitu percaya pada kita, begitu terbuka bercerita pada kita; ketahuilah itu hanya "sedikit" bagian dari kisah hidupnya. Jadi, apakah masih ada peluang untuk kita menilai dan menghakimi orang lain, lebih-lebih jika "kenal saja tidak"?

Mendengar. Saya bahagia, saya senang, saya merasa berharga; ketika satu dua tiga orang bersedia membuka diri kepada saya, bercerita tentang kehidupan pribadinya, berkisah tentang pengalamannya, menuturkan perihal keluarganya, dan celoteh simpel tentang apa yang dimakannya hari itu, apa yang dialaminya sepuluh-lima belas menit yang lalu. Dan saya mendapatkan itu, saat ini; ketika saya harus tinggal di rumah sebagai ibu rumah tangga. Meski cerita itu memang bukan dari keluarga saya, tapi dari adek-adek, yang sudah saya anggap keluarga sendiri.

Mereka, anak-anak hebat. Mereka, otomatis -sudahpasti- lebih muda dari saya. Mungkin, pengalaman hidupnya duluan saya kan. Tapi, sebenarnya, justru saya yang banyak mengambil pelajaran dari pertemuan sehari-hari kami. Saya dahulu, saat di usia mereka, tidak mengalami kejadian, ujian, perjuangan yang se-wow mereka. Perjuangan "receh", tapi sudah penuh keluh sana sini. Maka, bertemu dengan anak-anak ini membuat saya bisa menjadi pelecut dan penyemangat hidup saya; untuk lebih bersyukur dengan apa yang saya dapatkan sekarang.

Entah sudah berapa kali, saya harus tidur larut malam, menyimak apapun yang satu per satu tuturkan. Apakah saya bosan? Tidak. Lelah? Iya, saya ngantuk, tapi saya senang, saya antusias, saya menikmati kisah-kisah mereka Hm.. bukan menikmati kisah yang sedih ya, maksudnya, saya jadi merasa senang karena mereka mau dengan gamblang, dengan terbuka, dengan ringan, menceritakan hal-hal itu kepada saya. Kisah kisah mereka selalu bisa menambah satu dua hal pemahaman, dan pelajaran hidup untuk saya.

Bahkan tak jarang, saya yang minta nasehat, minta masukan kepada mereka. Mereka dengan senang hati memberinya. Ya, seolah mereka paham bahwa wanita di hadapannya pun butuh teman bercerita, butuh didengar, butuh dinasehati.

Ada satu momen yang begitu berkesan untuk saya, dan beberapa kali membuat air mata ini menetes penuh syukur. Forum "terakhir" angkatan granada ini, mereka menyampaikan kesan, pesan, dsb, lalu mereka menyampaikan pesan untuk saya,

"Mbak Windy jangan pernah (lagi) merasa sendirian. Ada kita di sini. Mbak Windy mau cerita, mau minta bantuan, apapun, jangan berat meminta bantuan ke kita.."

Juga ketika salah satu di antara mereka, sambil terisak, berkata, "Mbak kalau mau cerita bilang saja ya mba.. Kalian juga (teman-teman) harus lebih peka kepada Mbak Windy.. Kalau kalian ada apa-apa juga cerita saja sama Mbak Windy.."

Entahlah. di momen itu, saya merasa sangat bahagia. Satu : karena saya punya "keluarga" yang sangat bisa menggantikan peran keluarga, ayah, ibu, kakak saya, juga seperti adek saya. Dua : karena saya tau, saya yakin, mereka menyayangi saya, mereka peduli dengan saya, mereka bersedia mendengar saya, mereka bersedia menjadi sahabat saya. Tiga : saya bahagia karena saya mencintai mereka.

Saya tidak tau, darimana rasa saling menyayangi kita bermula. Tapi, saya tau, ada kontribusi "rasa percaya", di antara kami. Ketika tidak lagi mereka merasa canggung untuk menceritakan sesuatu yang sifatnya pribadi, masalah yang harus dicarikan solusi, dsb kepada saya, di situ saya tau bahwa mereka menganggap saya adalah kakak mereka, ibu mereka, sahabat mereka. Dan itu membuat saya bahagia.

Dan satu momen lagi : ketika saya esoknya salah otot, efek salah tidur, dan rasanya sakit sekali punggung dan leher saya. Saya meminta salah satu di antara mereka untuk memijatnya. Sebenernya lebih ke iseng sih minta tolongnya. Tapi, Naning ini langsung aja dengan senang hati melakukannya. Tidak tanggung-tanggung, 15menit-an ada kayaknya. Kalau bukan karena tiba giliran dia menyetorkan hafalan, mungkin bisa lebih lama. Dan dia mijetnya serius banget. Alhamdulillah setelah itu sangat sangat mendingan. 

Terakhir kali saya dipijit dengan tulus itu, ya dipijit sama ibuk. Entah kapan. Pijitan yang memang menginginkan saya lebih baik, baikan; bukan asal mijit candaan ya. Tapi beneran. Pada detik itu, saya merasa, sosok Ibu datang ke saya, memijit saya, sampai anaknya baikan. Di waktu lain, adek yang lainnya membuatkan ramuan minuman yang anget, karena batuk saya tidak kunjung sembuh; minuman yang melegakan. 

Saya makin mencintai mereka. Ah, saya tidak tau kenapa arah tulisannya jadi ke sini ya? Padahal tadi mau ngomngin tentang "mendengar". Hehe.. Tapi korelasinya : ketika kita mau mendengar apa yang dialami orang lain (baik mendengar apa yang terucap lisan, maupun yang tidak terucap lisan - dari gesture tubuh, intonasi, tatapan, dll) maka kita jadi lebih paham apa sebenarnya kebutuhan sosok di hadapan kita. Dengan paham apa kebutuhan mereka, kita bisa lebih mengerti, lebih paham, lebih tau apa yang semestinya kita lakukan, kita berikan, kepada mereka. Bukan penilaian, tanpa alasan, tapi pengertian yang menyuburkan cinta dan sayang. 

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)