curhatibu.com

Menemani #4



Setiap pagi, rutinitas saya adalah mengantar Ghumaisha pergi ke sekolahnya, di Pondok Safari, TK Endrastek. Saya harus lewat gerbang Ponsaf, dan melewati sebuat tempat penitipan anak-anak. Setiap saya lewat sana, terdengar balita menangis. Pagi tadi, sama, terdengar tangisan, dan seorang Ibu nampaknya baru keluar dari tempat tersebut, sedikit bergegas, sembari berupaya menenangkan anaknya yang akan ditinggalnya sehari itu. 

Melihat pemandangan itu, saya flashback ke masa lalu, ketika saya harus meninggalkan Ghumaisha bayi, bekerja dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore, bahkan seringnya lebih larut. Mungkin, karena Ghumaisha masih terlampau bayi, sehingga tidak sampai ada drama menangis mengiringi pamitan saya. 

Begitulah keseharian yang mau tidak mau harus dijalani oleh seorang Ibu, yang masih harus bekerja, sedang dia punya anak yang dititipkan di Daycare atau bersama ART di rumah, atau bersama orang tuanya (nenek/kakek) di rumah. Ini pilihan hidup. Tulisan ini bukan untuk menjadi kompor dukungan di salah satu pihak. Bukan. Saya pernah mengalami keduanya, dan saya tau bagaimana rasanya. Sangat tidak enak mendengar olok-olokan dari IRT full terhadap wanita karir, juga sebaliknya nyinyiran wanita karir terhadap IRT full. Semua adalah pilihan, dan setiap wanita berhak menentukan mana yang lebih tepat bagi kondisinya. Tentu, jika dipertimbangkan dengan syariat, akan lebih baik lagi jalannya. 

Baik.. Dan saya, saat ini memilih pilihan kedua : IRT Full 24 jam. Hehe.. Artinya ya saya tidak bekerja. Alasannya? Sudah pernah saya tuliskan di postingan sebelumnya. Trus ngapain postingan ini ditulis? Hehe.. Karena saya ingin menyampaikan SATU hal yang menjadi alasan syukur, kenapa pilihan ini menjadikan saya lebih bahagia, paling tidak, saat ini. Apa itu? Ya, menemani. Sesuai judul postingan. 

Menemani anak-anak saya 24 jam. Terdengar indah ya? Bisa bersama anak selalu, tanpa harus bekerja, tanpa harus terganggu yang lain-lain; ya sebagaimana dulu saya impikan : tidak harus ngantor, tidak harus lembur, tidak harus pumping, tidak harus lain lain yang "merusak" kebersamaan dengan anak. Ya, indah koq. Memang indah. Dan saya bersyukur mendapat kesempatan ini, meski harus sedikit "NEKAT" dengan resiko dan konsekuensi masa depan yang entah seperti apa. 

Bangun tidur, bertemu anak. Menyiapkan segala sesuatu untuk anak. Mandi, masak, beres-beres rumah (yang tidak terhitung berapa kali tiap hari, demi melihat rumah sedikit rapi), nyapu, menemani mereka bermain, belajar, menjadi sasaran panggilan tiap kali dibutuhkan. Indah itu, menyenangkan.

Tapi ya, tidak setiap detik menyenangkan. Kalau lagi hati baik, rasanya begitu membahagiakan, meskipun harus pontang-panting direpotin oleh mereka. Nah, kalau hati lagi kacau, apalagi dari PMS, syndrom mau datang bulan, beuh....bisa emosian aja itu seharian. Lupa semua tujuan "kenapa saya di rumah", lupa segala teori parenting, lupa segala nasehat "jangan marah ke anak", dan entahlah.. Rasanya barang-barang pengen dibanting, dilempar, pintu dijedorin, lalu saya keluar naik motor sendirian entah ke mana, demi ingin waktu sendiri. Berasa nyeseel kenapa saya tidak kerja saja sihhh. Apalagi kalau ingat dengan gaji yang tidak lagi rutin masuk rekening, mau beli apa-apa harus mikir sekian kali. Hihi.. Wadaw.. bener bener jika hati lagi kacau, wis bubar jalan. 

Menemani. -weh..kenapa jadi curhat sih-
Saya tidak terlalu paham dengan teori parenting, pendidikan, bla bla bla; apalagi bacground saya bukan dari pendidikan. Tapi, saya yakin, anak-anak saya lebih nyaman jika saya yang menemani mereka. Meskipun hasilnya banyak mager-nya, banyak waktu terbuang tanpa karya, dan anak-anak yang awalnya semangat dibikin kurikulum ini itu ini itu pun ya bubar juga -berjalan kembali mengikuti arah mata angin- apa sih. Maafkan Ibu, Anak-anak.. :' 

Menemani; itu saja sih sebenarnya, senjata saya. Amunisi saya. Saya tak punya yang lain. Saya hanya punya waktu untuk menemani mereka. Saya tidak tahu apakah itu ada efeknya bagi kebaikan anak, yang penting saya lakukan sepenuh hati : menemani mereka. Ya, menemani apa saja : makan, minum, main, belajar, mandi, sepedahan, jalan-jalan, belajar (ibunya sih), sampai tidur. Saya hanya ingin mereka merasakan lebih lama bersama ibunya. Saya tau ada yang mengatakan, "yang penting kan kualitasnya, bukan sekedar kuantitasnya, buk". Iya sih, semestinya dengan berada di rumah, saya bisa lebih bagus memaksimalkan potensi kebersamaan bersama mereka, dengan aktivitas yang lebih terstruktur, terencana, teratur, seperti para Ibu Profesional. Tapi, oke, saya harus menerima bahwa pada posisi ini saya masih sangat kurang dalam hal itu. Saya akan belajar, ya harus. Dan saat ini, yang bisa saya lakukan menemani mereka dengan maksimal. Ya, maksimal, dalam makna yang sebenarnya, 24 jam. Sembari sedikit demi sedikit memperbaiki kualitasnya, sembari saya menyesuaikan dengan agenda dan target-target pribadi saya. 

Kemarin saya mendengar tausyah dari Ust Nuzul Dzikri : bahwa mendidik itu bukan sekedar transfer materi, ilmu, bukan sekedar mengajar ini dan itu. Mendidik itu detik demi detik membersamai mereka. 

Saya ingin pegang nasehat itu benar-benar. Dan sejalan dengan nasehat ust Abdullah Zaen, tentang metode pembelajaran anak di rumah. Beliau menyampaikan bahwa metode belajar anak di rumah itu tidak perlu seperti di sekolah, ada absensi, harus duduk, harus ini itu dengan cara tertentu; tidak harus. Mendidik anak di rumah itu bisa dengan menggunakan setiap momen kebersamaan itu sebagai momen mendidik mereka. 

Contoh sederhananya begini, kita menemani anak bermain petak umpet bersama temannya. Qodarullah anak kita kalah, lalu menangis. Dia datang donk ke kita, mengadu ini itu. Nah, ini adalah momen yang tepat untuk mengajarkan nilai kehidupan bagi anak. Kita sampaikan ke anak, "Nak, di dunia itu ya seperti itu, kalah menang, hal biasa. Kalau kalah, ya dicoba lagi, mungkin kita kurang cepat larinya, kurang disiplin, diperbaiki. Kalau suatu saat kamu menang, tidak boleh sombong. Karena kemenangan yang kita dapat itu semata dari Allah, harus memuji Allah. 

Begitu. 

Simpel kan? Nah, dengan MENEMANI inilah, seorang "saya" harus bisa lebih banyak memanfaatkan momen untuk memberikan pendidikan semacam hal tersebut di atas. Tentang Allah, aqidah, tentang cinta Rasul, iman, dsb. Lagi-lagi tak perlu seperti di sekolah, dijelaskan sambil duduk. Tapi dijelaskan, dimasukkan, diinternalisasikan -bahasanya..wkwk- dalam detik demi detik kehidupan anak. 

Ah, iya, tadi saya jemput Ghumaisha ke sekolahnya. Yang saya suka dari sekolahnya ini adalah pembiasaan akhlak dan adab yang menjadi penekanan keseharian. Misalnya bagaimana anak bersyukur, bagaimana anak masuk-keluar kamar mandi,  bagaimana anak pakai sepatu, hehe.. seperti tadi, bu Erna menegur seorang siswa, "Ayo...fulan, pakai sepatunya yang kanan dulu, Nak, sambil duduk ya, baca bismilah...ayo nak.." 

Inilah Menemani. Tapi PR saya masih banyak. Ada banyak ilmu yang saya perlukan dalam menemani anak-anak saya. Terutama ilmu tentang bagaimana berkomunikasi dengan anak, membaca pikiran anak, mengerti perasaan anak -hhe... sebenarnya ini mesin kecerdasan saya banget, dan butuh dikembangkan, biar bisa maksimal perannya-, termasuk ilmu aqidah, fiqih, akhlaq. Gimana saya bisa mengoreksi akhlak mereka, jika saya saja tidak tau mana yang seharusnya. Dan termasuk : mendidik diri saya supaya menjalankan hal-hal tersebut. Jangan sampai, anak saya bilang, "Lho..ibu aja kayak gini.. koq saya disuruh begini.." T.T kan syedih. Inget surat ash shaff kan... :(

Sekali lagi : menemani. Dan saya bersyukur mendapat kesempatan ini. Ada banyak sahabat-sahabat saya mengeluhkan kesulitannya mendidik anak, menemani anak, bahkan untuk mencari tempat penitipan anak pun tidak juga ketemu. Lalu mereka dilema, bingung, apakah lanjut kerja atau keluar. Ya, saya paham sekali, karena saya pernah berada di posisi ini. Maka saya bersyukur dengan posisi saya. 

Kalian pun, yang meski tidak berada di posisi saya, dan mungkin ingin berada di posisi saya; mestinya juga bersyukur. Kita tidak harus berada di posisi orang lain, untuk bisa bersyukur. Syukurilah posisi kita saat ini, apapun itu. Memang nampaknya "koq tidak ideal ya... koq harusnya saya ngga di sini.. harusnya saya sama kayak dia, biar enak, biar nyaman". STOP. Hentikan mengeluhkan keadaan. Belum tentu, jika kita berada di posisi yang kita idamkan, kita bisa lebih bahagia daripada posisi yang saat ini kita keluhkan. Syukur, kuncinya. 

(Pernah) menjalani 2 peran yang berbeda, membuat saya bisa lebih slow ketika mendapati rasa tidak syukur itu. Dulu saya ingin sekali benar-benar jadi IRT, karena bisa menemani anak, ga perlu keluar keluar rumah, capek berdempetan di kereta, bla bla bla. Tapi, setelah posisi itu didapat, adakalanya saya "INGIN KELUAR dari rumah ini..." wkwkwk.. karena jenuh, capek, kesal, marah, kerjaan ngga selesai selesai, berasa sendirian, dll. Nah, kalau perasaan ini datang, saya hanya tinggal re-call angan saya yang dulu, "dulu, kamu susah payah buat keluar dari kantor, buat stand by di rumah. kenapa sekarang banyak mengeluh...". Ya, begitulah manusia, memang suka mengeluh. Tapi kata pak Mario teguh, mengeluh itu lumrah aja sih namanya juga manusia; yang tidak boleh itu, jika mengeluh menjadi kebiasaan. So, mari kita nikmati peran kita saat ini, dan jangan sering ngeliat rumput tetangga.. hehehe.. bener juga sih pepatah itu. Karena suka bikin kita ngga bersyukur. Padahal, apa yang kita dapatkan saat ini adalah keinginan sebagian besar orang. Oke? Syukur itu kunci bahagia :) makin syukur, makin bahagia.. 

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)