curhatibu.com

Hai, Nak #12


Hm...Hai, Nak.. Anak kecil dalam diriku. Apa kabarmu, Nak? Sepertinya, kau sedang ingin berontak? Sepertinya, ada buncahan rasa yang ingin kau ungkapkan. Jangan takut, Nak.. Jangan takut. Tidak ada yang memarahimu hanya karena engkau berkata jujur atas perasaanmu. Jangan takut. Tidak ada yang meneriakimu, atau membanting barang perkakas rumah juga mainanmu, saat kau mengatakan apa yang sebenar inginmu.

Nak, kau aman... Ya, saya mengerti, ada trauma masa lalu yang membuatmu begitu rapat menyimpan sesuatu. Padahal itu sangat memberatkanmu. Tapi, kau sendiri tak mau mengaku, luka apa itu. Ceritakanlah padaku, Nak.. Ceritakan pada dirimu yang sudah mendewasa ini. Mungkin, saya bisa membantumu.

Nak, sepertinya, kau sering merasa tak punya kawan ya? Kau sering tak aman berbagi rasa, atau cerita ringan pelajaran sekolahmu, juga teman sekelas atau sebangku yang membantumu. Apakah kau malu untuk mengisahkannya? Atau kau takut tak didengar sesuai keinginanmu? Ah, bukankah kau sering merasa iri dengan kakakmu, yang bisa begitu dekat dengan ibumu, berbagi kisah sepanjang waktu, khususnya ketika momen beranjak tidur. Ya, mereka begitu bebas berkisah, seolah tak ada rasa khawatir yang dikisahkan membawa derita dan luka baru. Sepertinya, kau takut ditegur, seperti malam itu, saat kau mengatakan satu kata tak layak -yang sering kau dengar di pergaulan, tapi sayangnya kau tak tahu bahwa itu tak patut terucapkan- , teguran keras, yang masih terasa mengagetkan. Padahal, saat itu, kata itu terucap karena kau sekedar ingin menarik perhatian, supaya didengarkan. Yah, mungkin semenjak itu, kau semakin merasa tak aman.

Sempurna. Kata itu, seolah menjadi label untukmu ya, Nak, semenjak kecil. Juara kelas, masuk kelas unggulan, masuk sekolah favorit, juara umum, menang lomba ini itu.. Keren? Ya. Tapi, seperti ada yang salah dalam cara pandangmu, Nak. Rasa ingin selalu menjadi SEMPURNA, sang juara. Ternyata, prestasi-prestasi itu menarik dirimu dalam kubang rasa takut untuk berjuang. Ya, seperti takut, tak lagi menjadi juara. Ya, seperti takut, orang berkata, "Koq kamu kalah, koq kamu begitu, koq..." Ya, padahal, yang kau lakukan dengan menjadi juara, tidak salah. Hanya pandanganmu tentang perjuangan yang mestinya kau luruskan. Kita hidup bukan untuk menjadi juara, bukan untuk menjadi yang lebih baik daripada orang lain. Tapi, kita hidup untuk berjuang, berproses, memperjuangkan suatu tekad; yang tidak perlu dibandingkan dengan orang lain, bahkan tidak perlu mendengarkan apa kata orang lain tentang langkah juangmu. Kita hanya perlu menjalani perjuangan itu. Belajar untuk suka berjuang. Kalah menang, sukses gagal? Itu hanya persepsi yang sering menyesatkan, dibangun berdasar modulasi tanpa dasar, dari masyarakat kita kebanyakan.

Maka, sudah ya.. berdamailah dengan hal itu. Kau tidak harus menjadi lebih baik, dan lebih hebat daripada orang lain. Kau tidak harus berprestasi ini itu, melalangbuana, memiliki peran segala rupa; sebagaimana orang lain. Tidak. Kau hanya perlu menjalani proses hidupmu, menempuhi perjuanganmu sendiri.. dan tidak perlu kau resahkan penilaian orang tentangmu, Nak. Ya, tenang, mereka pun sebenarnya tidak terlalu peduli. Mereka, sejatinya, hanya peduli dengan diri mereka sendiri. Jadi, kenapa resah itu justru menjadi tembok raksasa penghalang kebahagiaanmu menjalani hidup dan prosesmu? Oke, Nak? Saya, akan membantumu, keluar dari pemikiran itu. 

Berikutnya, Nak, sepertinya perasaanmu begitu mudah ter-adu. Kutub positif - negatif nya begitu mudah berbalik tak karuan. Ya, saya tau, masa kecilmu dulu, kau berada dalam asuhan banyak kepala. Bagaimana tidak, bapak dan ibu harus bekerja semenjak pagi hingga petang, demi membayar uang sekolahmu. Lalu, masa kecilmu kau dibersamai oleh saudara, juga tetanggamu. Mungkin banyak hal yang mempengaruhi jalan pikir bawah sadarmu. Saya tak ingat. Apakah mereka pernah memarahimu? Atau mereka pernah memukulmu? Atau setidaknya, kau berada dalam asuhan "yang berbeda-beda". Bisa jadi, itu membuatmu sering tak jelas menetapi rasa apa yang sedang bercokol dalam hati dan pikirmu, juga terombang-ambing dalam keraguan yang entah apa, saya juga tak terlalu jelas tau. 

Jangan khawatir ya, Nak. Kamu sekarang aman bersama saya. Kita benahi satu per satu. Kita mulai dari "maafkan". Maafkan apa yang terjadi di masa lalumu. Termasuk juga maafkan bapak-ibu mu, yang terpaksa harus meninggalkanmu, terkadang sampai larut malam, sehingga kau mudah merasa ragu dengan dirimu. Maafkan mereka, mereka sudah melakukan apa yang mereka bisa saat itu. Dan mereka sudah melakukan banyak hal, yang membuatmu ada di titikmu saat ini. Mereka, orang-orang yang teramat mencintaimu. Maka, maafkan jika ada yang tidak sempurna dalam mendidikmu, juga tidak bisa lama menemani masa kecilmu. Mereka ingin, tapi kehidupan membuat mereka harus lebih keras bekerja demi dirimu. 

Apapun yang terjadi masa itu.. sehingga menorehkan luka bawah sadar masa kini, berdamailah.. Ya, oke.. Itu hanya sebuah proses yang harus kau jalani, agar kau lebih mengenal siapa dirimu, dan untuk apa dirimu. Itu hanya sebuah kegundahan masa lalu, yang akan membuatmu lebih memahami, bagaimana menyikapi kawanmu juga anakmu di masamu. Apapun, yang kemudian membentuk karaktermu, yap, sesuatu yang baik harus kau pertahankan, dan sesuatu yang tidak pas mari kita benahi bersama. Sepakat, Nak? Salaman dulu.. :)

Hai, Nak, kalau kemarahan sedang menderamu, kita belajar untuk lebih menyalurkan kepada hal lain ya.. Rem sebentar saja. Saya tau, kau takut sekali dengan suara yang sedikit meninggi, dari bapak juga ibumu. Namun, kenapa jadi suara itu yang sering keluar untuk anak-anakmu? Kau tau bahwa kau sangat takut ketika barang-barang mulai berbunyi karena sentuhan antaranya yang tak biasa. Cucian piring yang tibatiba lebih heboh dari biasanya. Pintu yang ditutup dengan amat mengagetkan. Juga di suatu pagi, saat kau meminta nasi pecel di warung idaman, kau menyaksikan tirai kerang itu kacau berjatuhan, menghambur memenuhi seisi ruangan. Entah saat itu, kau hanya merasa itu mimpi buruk. Dan kau selalu takut saat ada orang mulai meninggikan intonasi suara, atau mengetukkan barang yang dipegang dengan lebih dari biasanya. Bergidik. Takut. Namun, ketakutan itu justru membuatmu melakukan hal yang sama. Ayolah... Kita putus rantai ketakutan dan amarah itu, sampai pada kita saja ya..

Hmm...kau juga takut sendiri ya? Kenapa? Apakah karena kau pernah beberapa kali mengejar motor ibumu, sampai hampir perempatan jalan dekat rumah, sembari menangis meraung-raung? Meski hasilnya tetap sama : sehari itu, harus sendiri. Akhirnya, kamu menjadi orang yang semakin senang sendiri, menulis buku harian di kamarmu, mojok, menyendiri tak ingin ditemani. Mulai menikmatinya; padahal bukan itu dirimu yang sebenarnya. Hai, ingatlah, semua itu karena ibumu ingin engkau bahagia, dari hasil usahanya.

Nak, kau jangan takut lagi untuk menyampaikan inginmu, ya, menyatakan maksudmu, apapun yang ada di hatimu. Jangan takut. Kamu aman koq. Mereka siapapun, justru lebih nyaman jika mengetahui apa yang sebenarnya kau inginkan, apa yang sedang kau rasakan. Ketimbang menebak tak karuan, karena kau berubah rasa. Ingat betapa takutnya kau, Nak, saat tulang lengan kananmu bergeser karena jatuh, atau jari tangan kananmu yang terkena bacokan pisau kawan sekelompok masakmu, juga dagumu yang terluka karena terantuk sudut meja kayu di kelas saat lari dikejar kawan sekelasmu. Kau begitu takut memberitahukannya kepada bapak ibumu; alasannya : takut dimarahi. Padahal, mereka pun jarang marah padamu. Ayolah, berdamailah dengan hal itu ya.. Sampaikan saja.. kau aman koq, Nak..

Apalagi ya, Nak? Oh iya, stop sudah rasa gagal dan tak berarti dalam jiwamu. Sepertinya itu bermula saat statusmu berubah menjadi mahasiswa. Mahasiswa PTK idaman kebanyakan lulusan SMA. Ya, kau masuk dengan predikat "sukses" di mata guru-guru, orang tua dan tetanggamu. Namun, kau seperti gagal menjalani hari hari berikutnya. Indeks prestasi yang biasa saja, lomba yang tak lagi pernah terjamah juara, organisasi yang hanya kebagian numpang nama, juga prosesi wisuda yang hanya menyusahkan ibu bapak. Berdamailah dengan itu semua. aaafkan dirimu yang tidak maksimal saat itu, yang terlampau sempit pemikirannya, wawasannya, cakupan ilmu dan pengalamannya. Namun, itulah yang membentukmu, setidaknya membuatmu banyak belajar memperbaiki yang lalu. Belum tentu, jika semua dulu berjalan sebagaimana persepsimu saat ini; segalanya berubah lebih sempurna dan lebih enak terjalani. Belum tentu. Maka, syukuri, dan nikmatilah masa-mu dan segala pelajaran yang kau ambil dari dirimu, dan masa lalumu

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)