curhatibu.com

Titik itu #13


Ada suatu titik, momen di mana ada rasa berada di bawah sekali, bagi saya, sebagai ibu. Ya, momen ketika anak sakit.

Pada titik itu, rasa lelah, bersalah, juga rasa sendiri tak ada rekan, menyelimuti, terutama saat malam tiba; dan melihat anak anak itu kesulitan untuk tidur.

Tapi tak bisa berkata apa pada siapa. Tak bisa mengeluarkan keresahan, kegundahan, kekhawatiran, dan perasaan bersalah itu. Bercokol menyesaki dada.

Lalu yang keluar akhirnya : air mata.

Mungkin, ia menggantikan kekata yang tak mungkin terucap. Meski sebenarnya tak terlampau bisa membuatnya terobat. Hanya lelap, yang akhirnya menutup ingat, juga rasa terjerembab. Tidur. Sejenak melupakan beban, meringankan rasa. Sembari berharap diberi bunga penghias tidur yang indah.

Di titik itu juga, diri menjadi kuat. Tiba-tiba saja, kuat menahan kantuk yang teramat, hanya karena khawatir dengan apa yang terjadi pada anak, jika terlanjur lelap. Atau lengan juga kaki menguat demi menggendong anak yang tak juga tenang saat dibaringkan. Juga perut yang tak lagi lapar, meski belum masuk nasi seharian. Tak sempat menelan barang satu dua suap, bahkan gemericik khas lambung kosong pun tak lagi jelas terdengar, atau menjadi samar gegara sibuk dengan tangisan bocah tak nyaman.

Ya, ibu menjadi lebih kuat dari biasanya. Pernah sekali dua kali, suhu badan meninggi. Sepertinya kurang tidur, begadang demi anak bayi yang hobi bernyanyi malam. Ya, 38 derajat, kemungkinan. Tulang dan sendi pegal tak karuan, untuk gerak pun kesusahan. Namun, tetiba terdengar tangisan dari halaman. Ya, anak sulung kesakitan.

Anakku terjatuh dari sepedanya. Ada yang tersalah dengan tulang lengannya. Ya, positif : harus dibawa ke rumah pesakitan. Pada detik itu juga, demam tak lagi terpedulikan. Menjadi kekuatan dahsyat yang juga berusaha menenangkan si anak yg kesakitan, juga menggendong si bayi yang mau tak mau harus menyerta kakaknya ke unit gawat daruratan.

Juga di kali ini, saat di bungsu terganggu dengan batuknya yang iseng, membuat tidurnya tak nyaman terbangun-bangun. Ibu sudah lelah tak karuan, sedang ayahnya sedang melakukan lain kesibukan. 
Tapi ibu tetap tak bisa terpejam, demi memastikan si anak tidur dengan lebih lelap semalam.

Bagaimanapun, ibu harus kuat, harus sehat, harus lebih cekat, menjaga diri demi penjagaan anak-anak nya yang lebih beramanat.

Ya, kau memang lelah ibu, tapi, anakmu tentu lebih lelah dengan sakitnya. Ya, kau memang lelah ibu, tapi anakmu tentu lebih ingin kembali sehatnya. Apalagi dia hanya seorang anak bawah tiga tahun, yang sudah ingin kembali berlari, berteriak juga berputar berlompatan dengan lebih bebas; tanpa terganggu batuk-batuknya.

Maka, kau harus lebih sabar, ibu.. Jangan mudah emosi menyeretmu hingga menyakiti hati suci mereka. Jangan mudah suara meninggi, hingga mengagetkan telinga, bahkan jiwa kecil mereka. Jangan mudah tangan itu terbang, menjelma cubit atau pukul yang tak seharusnya menjadi hukuman anak-anak di bawah umur itu. Jangan mudah barang perkakas terbanting, apalagi terbang, karena amarah yang tak juga bisa kau tahan dengan diam.

Wahai, Ibu..

Liat anak-anak itu.. Sekarang, mereka berdua sedang tertidur lelap. Sepertinya, kecapekan, karena semalam tak juga bisa ternyenyakkan. Ya, wajah-wajah polos, tanpa dosa, tanpa keinginan melanggar larangan Tuhannya, tanpa nafsu yang terturutkan karena tak tertahan.

Mereka, harus melihat ibunya lebih bahagia. Mereka, harus melihat ibunya lebih ceria. Mereka, harus melihat ibunya lebih banyak tersenyum tenang. Mereka, harus melihat ibunya lebih kuat sabarnya. Mereka, harus melihat ibunya lebih tertahan emosinya. Mereka, harus melihat ibunya, lebih baik, dari sebelumnya.

Wahai, Ibu..

Anak-anak itu, sekali lagi, tak butuh dirimu yang sempurna. Karena pengorbanan mu telah begitu sempurna, saat kau mengambil keputusan merumahkan ijazahmu. Juga seakan merumahkan segala kesempatan menggapai pendidikan yang lebih tinggi lagi dan lebih tinggi. Juga merumahkan peluang mendaki karir tinggi wanita pada umumnya, di dunia kerjanya. Juga merumahkan kesempatan mu bertemu banyak orang di dunia.

Ah tidak. Tidak seluruhnya benar begitu. Bahkan kau saat ini, masih bisa membuka peluang itu semua. Jadi, tunggulah.. akan ada kesempatan sempurna terbuka untukmu, untuk semua hal yang sempat terasa sempurna terumahkan.

Ya, anak-anak itu tak butuh ibu yang sempurna. Mereka hanya butuh ibu yang bahagia. Mereka hanya butuh ibu yang bisa menorehkan kenangan yang indah untuk diingat ketika mereka sudah menua. Mereka hanya butuh ibu yang mampu menjaga hati mereka dari luka "anak kecil" ibunya. Ya, kenangan anak kecilmu, yang tak laik diwariskan, putuslah sudah garis turunnya. Jangan kau wariskan luka yang sama pada anakmu. Mereka hanya butuh ibu, yang bisa menjadikan hati terus berbunga; sehingga mereka bisa menyaman duduk bersebelahan bercengkrama di antara rerumputan. Indah, terdengarnya. Memori itu yang harus terciptakan.

Mereka butuh engkau, Ibu..

Engkau, harus lebih kuat. Engkau harus lebih bahagia. Berjanjilah pada dirimu..

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)