curhatibu.com

Lampu #15


Saya memang tidak pernah mematikan lampu ketika tidur. Meski sebenarnya, anjuran dari dokter kan begitu, supaya hormon melatonine bekerja dengan maksimal, membuat tidur lebih berkualitas (bener gak ya, nama hormonnya.. hehe). Sayangnya, saya baru tau teori teori itu ketika sudah beranjak dewasa. Ya sudah, terlanjur terbiasa dengan lampu, mau pas tidur atau pas terjaga.

Saya juga paling kesal ketika PLN memadamkan listrik di malam hari. Saya paling tidak bisa tidur, jika gelap. Rasanya aneh. Mata terpejam dan terbuka, suasana nya sama : gelap. Dan saya tidak bisa. Saya akan berguling ke sana ke mari, mencari cara supaya bisa nyaman dengan terang lilin yang tak seberapa. Juga mencari buku tertipis yang bisa saya maksimalkan untuk menghasilkan tenaga angin pengganti kipas listrik yang sudah tak berdaya. Termasuk, bersiaga, jikalau ada nyamuk tertangkap kamera mata, mengintai kaki dan tangan di nuansa gelap yang makin disukainya.

Saya tak pernah membayangkan jika hidup tanpa lampu ya.. meski mungkin perlu dicoba. Pemadaman setiap hari? No. Cukuplah saya berkelana, camping barang dua-tiga hari mendaki gunung, mendirikan tenda di malam hari. Tetep pakai lampu kan? Iya sih.. tapi tidak sebebas biasanya, ketika di rumah.

Ah intinya pasti akan menyusahkan.

Tapi, kenapa ya, nenek kakek kita dulu, biasa saja dengan kehidupan yang seperti itu? Ya. Ya mau gimana lagi. Toh mereka juga belum tau manfaat lampu.

Maka mereka begitu menikmati temaramnya cahaya teplok yang berpendar-pendar mengiringi percakapan ringan ayah-ibu juga anak anaknya. Sepi, memang, boro-boro lampu ya, listrik aja tidak ada. Alhasil, hiburan semacam televisi, komputer, HP, apalagi internet, nihil donk. Kebayang nggak sih, kalian?

Maka mereka tetap menikmati renyahnya gurauan sederhana di setiap malam, di dipan bambu, yang terbaring di halaman rumah sederhana mereka. Tak ada lampu, memang. Namun, sinar rembulan, apalagi saat purnama, menghangatkan momen kebersamaan. Ditambah aroma kopi panas yang membuat semakin tak sabar untuk diseruputnya. Juga cemilan, sesimpel pisang goreng, atau tape goreng, oh nikmatnya.

Sampai, tercipta lagu, "Yo prakonco dolanan Ning njobo. Padang mbulan, Padang e koyo Rino. Rembulan e, sing Awe Awe, ngelingake Ojo Podo turu sore.."

"Ayo kawan kawan, bermain main di luar. Terangnya bulan, terangnya seperti siang. Rembulannya, melambai-lambai, mengingatkan untuk jangan tidur sore". Meski agak aneh translate nya, tapi ga papa.

Lihat.. lampu? Sepertinya, lampu hanya mengurangi serunya permainan bocah bocah itu. Sebagaimana lampu-lampu yang sangat menjadi polusi cahaya, yang membuat kita kesulitan untuk sekedar memenuhi ingin menyaksikan bulan dan bintang, sembari mengajarkan anak lagu, "ambilkan bulan, Bu", juga lagu, "bintang kecil" yang fenomenal. Ya kali, kita ajarkan, "yuk kita nyanyi, bintang kecil di langit yang tinggi ..". Lalu dipotong oleh anak, "ibu, emang bintang itu tinggi ya? Emang, di mana?" Trus kata sebagian orang lain, "bukain aja YouTube, bukkk!" Hadeuh. Mulai ngelantur.

Well.. tapi beneran, deh. Keseruan bocah bermain, ketika kecil dulu, saat lampu-listrik dan turunannya seperti WiFi, apalah apalah, belum sempat menghancurkan kebersamaan anak dengan anak tetangga; itu sangat indah untuk dikenang. Semua ngumpul di pekarangan rumah yang agak lebar, mengumpulkan beberapa belah potongan genteng sisa renovasi rumah tetangga, disusun menyerupa menara, di dalam sebuah lingkaran yang digambar di tanah dengan ranting pohon seadanya. Trus anak anak itu "hompimpa" mencari siapa yang jadi penjaga menara. Dimulailah permainan yang menggunakan bola tenis, hasil pinjem, bapak sebelah yang hobi olahraga, itu. Bola dilemparkan ke tumpukan "kreweng", hancurlah menara, dan mereka bersiap berlari demi menghindari lemparan bola tenis si penjaga tadi. Visi mereka satu : menyusun kembali kreweng itu menjadi menara utuh. Lalu menang jika berhasil. Jika tidak berhasil? Ya, intiny : siapa yang kelempar bola, dia yang langsung berganti peran sebagai "penjaga". Begitulah.. nampak sederhana, tapi seru banget. Teriakan, larian, hantaman bola, sampai mengendap-endap menyusun menara sembari memastikan si penjaga tengah sibuk mencari korban.

Semua itu, begitu bisa dinikmati oleh anak anak itu.. tanpa, disibukkan dengan lampu, listrik, internet, dan turunannya.

Kita ngomongin apa ini? Ya, lampu. Di jaman sebelum lampu begitu mudah ditemukan, ada begitu banyak kisah heroik, yang sering juga difilmkan, atau dimasukkan ke buku novel atau sastra lainnya; mereka yang menggunakan temaram cahaya, entah dari lilin atau petromak, demi bisa menyelesaikan bahan bacaan, juga tulisan, yang manfaatnya bisa dirasakan sampai sekarang. Berkah itu memang makin besar, jika makin susah payah mendapatkannya.

Di jaman itu, orang orang pun akan lebih bisa menepati Sunnah nabi, sepertinya : tidak banyak ngobrol selepas shat isya. Ya, wong udah gelap. Obrolan dengan tetangga sebelah rumah paling juga mentok satu jam. Paling yang sampai malam ya itu, bapak bapak yang mendapat giliran jaga ronda. Selebihnya : istirahat malam. Tidak seperti sekarang : karena lampu nyala 24 jam, malam pun tidak lagi terasa gelapnya. Saya sendiri, kalau udah di dalam rumah, dan jendela lagi tertutup gorden, antara malam atau pagi suasana sama saja. Sampai harus mencari-cari jam supaya yakin dengan waktu. Ya paling bedanya hanya ditambah kokok ayam jago, itupun kalau beruntung tinggal di perumahan yang memelihara ayam.

Mungkin, orang juga bisa lebih meyakini apa yang difirmankan oleh Allah, "malam untuk menyelimuti" malam waktu untuk tidur, malam dicipta untuk istirahat, dsb. Ya, karena tidak ada lampu yang menyilaukan mata, yang membuatnya tak ingin terpejam meski telah larut karena tertipu dengan cahaya yang menyerupai siang itu. Sehingga malam tak sempurna digunakan untuk istirahat.

Gelap malam juga digunakan untuk bersendiri, dengan Allah. Bagi hamba-hamba pilihan. Keberadaan lampu, terkadang mengurangi khusyuk juga mengaburkan ikhlas karena menjadi mudah terlihat hamba lainnya. Namun, gelap malam -tanpa lampu- itu seolah menjadi ujian bagi siapa yang benar taat, dan siapa yang hanya pura-pura. Dua sholat yang berat dikerjakan oleh orang munafik : sholat isya, dan subuh. Karena tidak ada yang bisa melihat siapa yang ada di sebelah kanan kiri, depan belakangnya. Ya, mungkin begitu.

Lampu. Lampu memang membawa ketenangan, baik ketika dia tiada, maupun dia ada. Ketenangan ketika dia tiada? Ya, sebagaimana yang sudah saya tuliskan di atas. Banyak kan? Kebahagiaan permaian anak-anak, keseruan obrolan seisi rumah, hehe. Ketenangan ketika dia ada? Iya.. kita jadi bisa melakukan banyak hal di malam hari, yang tidak selesai di siang hari; membaca, ngaji, belajar, mengajar, memasak, mendidik anak, melayani keluarga, melayani masyarakat, dan banyak lainnya. Tapi minimal, ketenangan yang sangat diharap oleh orang seperti saya, yang jika ada lampu : bisa tidur dengan tenang.


Selesai.

Post a Comment

Terimakasih udah mampir di blog ini, happy reading :)