Bukan untuk membandingkan. Sebab kedua metode itu
merupakan kedua alternatif yang bisa dipilih para orang tua untuk mendidik
anak-anaknya. Termasuk juga dengan saya. Saya ini produk sekolahan yang
beberapa waktu terakhir menggunakan metode homeschooling untuk mendidik
anak-anak. Lain kali, saya akan bahas
alasan lebih rincinya. Kali ini, saya ingin berbagi tentang
"nasib" metode pendidikan yang saya pilih untuk tahun 2023.
Ada yang sama di antara kedua metode pendidikan
itu, yaitu fokus pada pengembangan anak. Apapun metodenya, anak adalah titik
fokusnya. Kurikulum dan metode yang bisa mengembangkan potensi anak, dan yang
baik untuk anaklah yang harus saya pilih. Setiap anak berbeda, maka saya sebagai
orang tua harus selalu mengevaluasi pilihan ini.
Imajinasi dan Eksekusi
Di antara kunci keberhasilan homeschooling adalah
pada imajinasi dan kemampuan mengeksekusinya. Jika anak sekolah, saya tentu
tidak terlalu pusing dengan detail aktivitas yang harus dilakukan setiap
harinya demi stimulasi optimal. Sementara, untuk homeschooling ini, saya harus
menyusun aktivitas apa saja yang perlu dan boleh dikerjakan anak. Termasuk,
melatih diri saya berinisiatif kemudian mengeksekusi ide tersebut.
Tidak boleh malas membuat inisiatif baru, mencari
ide baru, sehingga saya (dan anak-anak) tidak terlalu jenuh dengan rutinitas
yang itu itu saja. Menjalankan berbagai amalan yang sudah didapat ilmunya,
menjadi salah satu hal yang harus dilakukan. Mendapat ilmu tentang doa makan,
langsung dipraktikkan saat makan malam. Mendapat ilmu baru tentang adab di
majelis tentang mencatat ilmu, langsung dipraktikkan dengan membimbing anak
(dan kita) mencatat faedah ilmu di kajian malamnya. Dengan begitu, tentu
aktivitas tidak terasa membosankan karena kami melaksanakan "hal
baru" setiap harinya. Selain daripada kegiatan lain yang sifatnya
kreativitas, atau bebas.
Dalam HS kami, fokus utama kami memang
"belum" pada minat dan bakat. Kami ingin fokus terlebih dahulu pada
penanaman agama dan keimanan pada anak. Kami melakukan demikian sebab
menganggap pondasi ini lebih penting untuk kehidupan masa depan anak. Memang,
secara teknis di lapangan, pengembangan minat tentu sangat berguna bagi
kehidupannya kelak - untuk mencari pekerjaan, atau menciptakan peluang ekonomi,
misalnya. Namun, pondasi keimanan inilah yang kami pilih untuk menjadi fokus HS
keluarga kami untuk menunjang kehidupan dunia-akhirat anak.
Saya teringat pesan Ust Arif. Beliau berpesan
bahwa jika kita fokus pada mengejar kebutuhan akhirat anak, dunia akan
mengikuti. Tetapi jika kita mengejar perkara duniawi anak, dunia belum tentu
dapat - akhirat pun lepas. Tentu, dalam aqidah kami, inilah yang menjadi fokus
HS kami. Tujuan menghindarkan keluarga dari api neraka menjadi goal besarnya.
Dan inilah yang akan kami turunkan menjadi berbagai aktivitas keseharian
anak-anak.
Menyusun Kembali Rutinitas
Rutinitas pagi menjadi kunci yang sedang kami
usahakan setiap harinya. Memang, harus merelakan sebagian besar target pribadi
kami, demi kami bersama mengusahakan targetan anak-anak tercapai. Ya, emmang
menjadi orang tua tidak boleh egois. Mengejar target sendiri lalu melalaikan
anak, membiarkan mereka berbuat seenaknya. Apa artinya peran kita, dan kita pun
akan ditanya tentang keputusan kita.
Rutinitas kami sesuaikan dengan pause time sesuai
waktu sholat, misalnya murojaah hafalan lama asetelah dhuhur, tilawah 2 halaman
setelah sholat maghrib, bersiap mengaji dengan guru setelah ashar, read aloud
setelah sholat isya, olahraga setelah sholat subuh dan dzikir pagi. Ini
merupakan pause time yang kami terapkan. Simpel, tapi dengan memasukkan sholat
sebagai bagian kehidupan anak akan membuat anak terbiasa dengan sholat di
kehidupannya nanti.
Bukan Memindahkan Sekolah ke Rumah
Homeschooling itu bukan memindahkan sekolah ke
rumah. Maka, pola pikir tentang nilai, duduk di hadapan meja, mengerjakan
worksheet, ujian, dan sejenisnya, sering membuat kami salah fokus. Proses
belajar terlalu terstruktur sehingga bisa dikatakan anak - dan kami terlalu
berat menjalaninya. Rumah berbeda dengan sekolah. Tidak mungkin menjalankan
proses ynag biasa kami jalani di sekolah lalu diterapkan begitu saja di rumah.
Rumah tempat pengasuhan utama, bukan pengajaran utama. Porsi yang ini yang
terus kami evaluasi.
PR-nya Masih Banyak
Masih banyak PR yang harus saya penuhi. Masih
banyak ilmu yang perlu saya pelajari. Rasanya banyak sekali. Maka di tahun
kesekian ini, pertanyaan yang muncul sekali lagi sama, "Bagaimana nasib
homeschooling ini, lanjut atau tidak?" sementara kadang merasa sendiri
menjalaninya. Proses HS memang lebih berat daripada saat menyekolahkan anak.
Mudah saja mengantar anak ke sekolah, lalu sudah selesai urusan - ibaratnya demikian.
Namun, di HS, semuanya seolah dihandle sendiri. Tentu berat. Utamanya mengurus
emosional diri sendiri yang akan berpengaruh juga pada kondisi jiwa anak.
Sampai urusan dokumentasi hasil yang sebenarnya pertanggungjawabannya akan
ditanyakan kepada diri sendri - dan tentu siap untuk disalahkan pihak lain jika
dirasakan anak tidak optimal.
Bagaimana nasib homeschooling ini? Apakah
lanjut?
Jika lanjut, tentu ada yang perlu saya
perhattikan lebih, misalnya merapikan kembali jadwal keseharian, to do list
bersama yang sebaiknya disepakati sebelum tidur malam. Hal ini penting agar
besoknya anak lebih bisa mengantisipasi dan mengetahui apa saja yang akan dan
harus dikerjakan. Selain itu, perlu bagi saya membuat perencanaan pekanan.
Untuk harian memang perlu, targetan setiap hari. Namun seringkali meleset, dan
baru bisa dicapai keesokan harinya. Weekly plan membuat saya lebih fleksibel
untuk mengganti waktu capaian target satu dan lainnya. Saya pun perlu membuat
agenda field trip untuk anak - berkunjung ke tempat baru, melakukan hal seru
yang baru di akhir pekan, demi membangun hubungan yang lebih baik dengan anak.
Sharing dengan komunitas pun perlu saya lakukan lebih intens. Mengetahui ada
orang-orang yang berjuang bersama itu membuat langkah menjadi lebih ringan.
Saya bisa mengambil ilmu dari pengalaman yang mereka bagikan selama ini.
Jadi, simpulannya apa? Mungkinkah sanggup saya
lanjutkan?
Post a Comment